Saat membaca cerpen ini, saya sempat merasa bingung. Saya bertanya-tanya: senja yang dikirim itu sebenarnya seperti apa? Apakah senja itu benar-benar ada? Atau hanya sekadar metafora? Cerita ini terasa tidak masuk akal, seperti gombalan yang terlalu indah untuk dipercaya, bahkan mendekati “bualan” yang puitis. Hal ini bisa kita lihat pada kutipan berikut ini.
"Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?"
Kutipan di atas adalah kalimat pembuka cerpen yang langsung membawa pembaca ke dunia yang tidak biasa. Tanpa penjelasan panjang, pembaca diminta untuk mempercayai bahwa tokoh utama telah benar-benar mengirimkan senja. Tidak ada keraguan dalam gaya penyampaiannya. Dan karena itulah saya sebagai pembaca justru dibuat ragu, apakah saya harus ikut percaya atau mempertanyakannya?
Kemudian ketika membaca cerpen ini, saya bisa membayangkan dengan jelas bagaimana tokoh utama memotong senja dengan pisau Swiss miliknya, lalu memasukkannya ke dalam amplop.
“Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos.”
Saya juga ikut berpikir keras bagaimana caranya Alina membuka amplop itu:
“Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.”
Gambaran itu sangat imajinatif, nyaris mustahil, tapi justru karena mustahil itulah cerpen ini menjadi unik dan bermakna. Saya menyadari bahwa kekuatan cerpen ini terletak pada absurditasnya. Ia tidak menawarkan realisme, melainkan dunia simbolik tempat cinta bisa dibungkus dalam senja, dan waktu bisa dilipat dalam amplop.
Cerpen ini mengingatkan saya bahwa dalam cinta, kadang kita melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Dan justru di sanalah letak keindahannya. Kisah ini mungkin tidak nyata, tetapi justru ketidaknyataannya adalah kekuatannya, karena ia dapat mengkombinasikan sisi terdalam dari imajinasi dan perasaan.
Selain sebagai kisah cinta yang imajinatif, saya merasa cerpen ini juga menyisipkan kritik sosial terhadap kehidupan kota yang serba sibuk dan dingin.
“Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.”
Kutipan ini seolah menggarisbawahi kontras antara dunia perasaan yang lembut dengan kenyataan sosial yang keras.
Pada bagian akhir cerita, saya merasa tokoh utama telah melakukan pengorbanan besar untuk kekasihnya, ia menyerahkan senja, sesuatu yang sangat berharga, hingga ia rela berada di tempat paling sunyi di dunia.
“Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.”
Bagi saya, itu adalah kalimat penutup yang menyayat dan ambigu. Apakah itu bentuk pengorbanan tertinggi dalam cinta? Atau bentuk keterasingan karena mencintai terlalu dalam? Pertanyaan-pertanyaan itu masih terngiang hingga saat ini.
Cerpen ini membuka ruang tafsir yang sangat luas. Ia bisa dibaca sebagai kisah cinta, sebagai kritik sosial, atau sebagai metafora atas absurditas hidup itu sendiri. Saya pribadi merasa bahwa "Sepotong Senja untuk Pacarku" berhasil mengajak pembaca mempertanyakan ulang tentang batas logika dan perasaan, tentang mana yang nyata dan mana yang ingin kita yakini sebagai nyata.
Dan mungkin, justru di sinilah letak keindahan sastra: ia tidak harus menjelaskan segalanya secara logis, karena kadang, yang tak masuk akal justru bisa terasa paling jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar