Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis
tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup
pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu
duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat
melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku
mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum.
Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan.
Kamu, laki-laki.”
Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang
sangat kukenal.
”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya.
Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang
sesungguhnya.”
Pelayan
datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku,
beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu
lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.
”Apa yang dia
lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”
”Kami banyak
jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku
sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”
”Sekolah tidak
sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”
”Mana aku tahu?”
”Dan kamu tidak
memberitahuku.”
”Aku pikir ia
pergi dengan seizinmu.”
”Kamu bohong.
Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”
Aku diam. Tidak mau
memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga
perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.
Perempuan di
depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok,
menyulutnya.
”Ia kacau
sekali…”
”Ia boleh kacau,
tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”
Aku tertawa.
”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”
”Itu kamu. Setiap
keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu
memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku
tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan
sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”
”Apa?”
”Jangan terlalu
memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”
”Hey, kamu
hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”
”Aku tahu, dan
aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”
”Tapi kamu
seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”
Suaranya
terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa
saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.
”Jendra, anak
yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.
Aku mulai merasa
darahku naik.
”Ia penurut, dan
tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”
Darahku semakin
terasa naik.
”Aku tahu persis
karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”
Dengan suara
menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”
Perempuan di
depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku
gantian menyulut rokok.
”Risa, aku akan
membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan
menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi
buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi
tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”
Ia tertawa.
”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”
”Bukan itu
poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.
”Aku tidak suka
sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu
yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku
itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak
tok sepatu para guru…”
”Kamu memintaku
agar Jendra tidak sekolah?”
”Dengarkan dulu…
Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang
gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu
yang menyiksaku, yang kelak
kemudian tidak berguna.”
”Bagimu. Bagiku,
sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”
”Tapi kamu bukan
aku.”
”Kamu juga bukan
Jendra. Ingat itu!”
”Aku hanya sedang
menceritakan diriku!”
”Kupikir kamu
datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan
tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas
aku tahu…”
”Itulah
kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak
perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng
wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.
”Tahukah kamu,
kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”
Aku menarik napas
panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan
benda itu di mulut pedasnya.
”Dan tahukah kamu
kalau sifat itu bisa menular?”
Kali ini, kupikir
Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada
Jendra?”
”Aku tidak bilang
seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia
minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering
bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”
”Jadi kamu
menuduhku sebagai biangnya!”
Risa hanya
mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan
kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput,
dan menyulut lagi sebatang rokok.
”Jadi menurutmu,
kenapa dia bisa minggat?”
”Mungkin dia ada
masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke
tempatmu!”
Begitu mendengar
kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa
marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan
ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan
berhubungan dengan Jendra kepada Risa.
”Rif, kamu
menikah saja belum.”
”Ris, tidak ada
hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”
”Ada! Mengambil
beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu
ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya
untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa
mendidiknya!”
”Apa yang dia
katakan?”
”Dia ingin pindah
sekolah.”
”Itu sekolah
paling favorit.”
”Favorit
menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”
”Dia masih anak-anak…
Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”
”Itu
kesalahanmu…”
”Dia butuh
jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”
”Itu menurutmu…”
”Ya jelas
menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas
untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”
”Ia ingin kursus
bahasa Perancis.”
”Boleh. Tetapi
dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”
”Dia ingin kursus
main drum.”
”Boleh! Tapi dia
tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”
”Kenapa dia tidak
boleh memilih?”
”Karena dia belum
bisa memilih.”
”Dia terlalu
capek dengan itu semua…”
”Dia harus
belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan
menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”
”Kenapa kamu
menyuruhnya memutuskan pacarnya?”
”Dia masih kelas
satu SMA!”
”Kamu dulu
pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”
”Itu aku, bukan
dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa
lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”
”Aku, ibunya!
Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak
bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera
hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan
hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota
ini…”
”Aku tidak butuh informasi
itu.”
Kali ini, darahku
benar-benar mendidih.
”Aku khawatir
kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.
”Kamu urus saja
kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”
Pembicaraan
terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku
hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat
dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak
itu akan membeludak.
”Kamu langsung
pulang atau menginap?”
Aku diam.
”Aku masih ada
urusan kantor.”
Aku memberi
isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.
Ia bangkit, lalu
melangkah pergi.
”Risa…”
Ia menoleh.
”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”
Ia kembali
berjalan menuju pintu.
Aku bisa saja
mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah
terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu
mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia
mungkin hanya akan semakin membuatku marah.
Perasaanku kacau.
Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.
Aku bangkit,
berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia
melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.
”Kenapa belum
bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.
Aku hanya diam.
Mita memegang tanganku.
”Kita bisa
ketinggalan pesawat…”
Aku hanya bisa
menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”
”Kenapa bisa
begitu?”
Aku menatap wajah
pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”
”Kamu tidak boleh
begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”
”Mereka tahu
sifatku, jadi tidak usah khawatir.”
”Kamu yakin?”
Aku menganggukkan
kepala.
Mita bangkit dari
sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar,
meraih tasnya.
”Aku berangkat
ya…”
Aku mengangguk.
”Rif… Kenapa
Jendra bisa melakukan ini semua?”
Aku diam. Lalu
menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke
pemakamannya.”
Mita melangkah
pergi keluar.
Beberapa saat
kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan
di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku,
sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum
pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya.
Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan
takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar
omonganku.
Kini, aku tidak
berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku
sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika
kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?
Kini, aku
menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.
***