Jumat, 04 Maret 2022

Ulasan Novel The White Masai: Kisah Nyata tentang Dua Insan Berbeda Ras yang Bersatu karena Cinta Karya Corinne Hofmann

Judul: The White Masai
Penulis: Corinne Hofmann
Penerbit: Pustaka Alvabet
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Tahun Terbit: 2010

Alasan pertama saya membaca buku ini karena pada kover buku ini terdapat tulisan terjual lebih dari 4 juta eksemplar dan telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa. Saya yakin bukan hanya saya yang ingin membaca novel ini karena "tulisan" itu. The White Masai ini merupakan buku pertama Corinne Hofmann yang populer dan merupakan novel yang diangkat dari kisah hidupnya sendiri. 

Novel ini dimulai ketika Corinne berlibur ke Kenya bersama Marco, kekasihnya pada tahun 1986. Di sanalah ia bertemu dengan Lketinga, seorang pria suku Masai. Dilihat dari tingkahnya, Corinne telah jatuh cinta kepada Lketinga pada pandangan pertama. Ia mulai terobsesi dengan Lketinga hingga ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya, Marco. Corinne pun memutuskan pindah dari Swiss dan menetap di Kenya pada tahun 1987. Pada tahun itu pula Corinne menikah dengan Lketinga dan petualangan Corinne sebagai istri seorang Masai pun dimulai. Sungguh suatu perjalanan yang tidak mudah, menginat bahwa Corinne seorang wanita Eropa modern  harus menjalani kehidupan sebagai istri dari seorang Masai yang mempunyai peradaban dan budaya yang jauh berbeda. Kurang lebih empat tahun Corinne bertahan merasakan manis getir kehidupan perkawinan bersama Lketinga.

Corinne mengisahkan dirinya dengan begitu sederhana dan apa adanya. Kemandirian dan kekuatan prinsip yang dimiliki Corinne membawanya menemui Lketinga, di pedalaman Barsaloi, Kenya. Sebagai wanita berkulit putih dengan latar belakang yang berbeda dengan suku Masai membuat Corinne harus mengikuti adat istiadat dan budaya di tempat dia berada. Tak hanya itu. Birokrasi di Kenya juga memaksanya untuk tetap bertahan dengan pilihannya agar bisa menikah dengan kekasihnya. Meski sudah memiliki anak, perbedaan antara Corinne dan Lketinga tetap tak dapat melebur. Seperti kisah cinta lainnya, konflik-konflik selalu terjadi. Namun dari semua rentetan cerita tersebut, kegigihan, konflik batin, serta kehidupan di Barsaloi adalah garis besar yang membuat pembaca ikut menyelami kehidupan seorang Corinne Hofmann.

Sebagai pembaca, saya kagum dengan cara Corinne menceritakan kisahnya. Banyak ilmu dan pengetahuan yang didapatkan setelah membaca novel ini terutama terkait kebudayaan masyarakat pedalaman Kenya. Saya tidak dapat berhenti membaca buku ini karena penasaran bagaimana akhir kisah ini. Awalnya saya pikir kisah dalam novel ini terlalu mendramatisir kehidupan yang dialami Corinne. Namun, setelah membaca lebih jauh, saya paham bahwa perbedaan adat, budaya, dan pola pikirlah yang menjadi muara dari segala konflik dalam kisah ini.  Tebakan saya pun benar, kisah dalam buku ini berakhir sesuai prediksi saya dan mungkin hampir semua pembaca novel ini. Meski begitu, saya salut dengan ketangguhan Corinne karena ia sanggup bertahan sejauh itu.

Bagi penikmat buku dengan kisah cinta penuh petualangan dan perjuangan, buku “The White Masai” sangat saya rekomendasikan. Meski buku ini telah lama terbit, saya pikir tidak ada kata terlambat untuk membaca buku ini. Pada akhirnya, para pembaca akan menyadari, kenapa buku ini terjual lebih dari 4 juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam 33 bahasa.

“Inilah kisahku selama empat tahun tinggal di pedalaman Kenya. Dengan obsesif, aku mengejar cinta terbesar dalam hidupku dan menjalani manis getirnya kehidupan di sana. Benar-benar sebuah petualangan besar yang mengujiku sampai batas maksimal secara fisik ataupun mental. Namun bagiku, itu juga satu pertarungan mempertahankan hidup yang akhirnya bisa kumenangkan bersama putriku, Napirai.”-Corinne Hofmann

Diulas oleh: Riska Mulyani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini