PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
PENDEKATAN POSITIVISTIK
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H.
Sofyan Sauri, M.Pd.
Oleh:
Riska Mulyani (2208149)
Nelita Indah
Islami (2208153)
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
TAHUN AJARAN 2022/2023
ABSTRAK
Filsafat merupakan usaha
seseorang untuk mengetahui segala sesuatu yang berawal dari rasa ingin tahu dan
sikap ragu. Rasa ingin tahu dan sikap ragu inilah yang kemudian memunculkan teori-teori ilmiah yang
pada akhirnya akan berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Seiring dengan perkembangan
pemikiran manusia, sampailah pada pemikiran bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah
alam yang realistis. Pengetahuan harus bersumber dari hal-hal faktual yang bersifat empiris. Aliran
ini disebut dengan aliran filsafat positivisme. Positivisme merupakan aliran pemikiran yang menekankan
validitas data secara empirik-verifikatif, sehingga pengetahuan inderawi
dijadikan sebagai satu-satunya norma bagi kegiatan ilmiah. Meski
banyak menuai kritik, tidak dapat dipungkiri bahwa aliran positivisme memiliki
pengaruh yang sangat
besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, terutama bagi ilmu-ilmu alam. Filsafat
positivisme selain memaparkan tiga tahap perkembangan pemikiran manusia
yaitu teologis, metafisis, dan positif, di sisi lain membagi ilmu
pengetahuan menjadi enam golongan
berdasarkan taraf positivisme dan tahap kompleksitas dari masing-masing ilmu pengetahuan. Aliran ini juga mendorong para filsuf untuk
membedakan pengetahuan yang bersifat ilmiah dan non-ilmiah. Melalui aliran ini
jugalah muncul paham falsifikasionisme yang menentang keras teori verifikasi
aliran positivisme.
Kata Kunci: positivisme,
verifikasi, falsifikasi
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan sebuah aktivitas
berfikir, yang melibatkan pemikiran kritis dan
komprehensif. Filsafat juga termasuk menghilangkan ketidaktahuan, memperkaya
pemahaman,
memperluas wawasan, serta mengeksplorasi nilai-nilai dengan memperbaiki
keyakinan dengan
penyelidikan yang rasional. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran
umat manusia dari
pola fikir yang selalu tergantung pada dewa dan keyakinan pada hal-hal mitos
lainnya diubah
pada pola fikir yang tergantung pada rasio.
Filsafat
memegang peranan penting dalam memecahkan
berbagai masalah dalam kehidupan manusia. Salah satunya dalam hal keilmuan. Problematika
dalam keilmuan yang acap kali dihadapi adalah dalam menentukan
garis demarkasi antara kebenaran. Hal ini telah memunculkan
banyak teori dan konsep yang membahas mengenai batas-batas
kebenaran ilmu pengetahuan. Salah satunya ialah aliran
positivisme. Aliran ini berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan
adalah alam dan menyingkirkan hal yang berkenaan dengan metafisik. Sehingga, data
empiris sangat diutamakan oleh aliran ini dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang didapat dari metodologi berpikir positivisme ini memberi kontribusi
yang sangat besar terhadap proses pendidikan. Pemikiran August Comte yang sangat menekan-kan
pada aspek empiris ternyata dipakai dalam perjalanan pendidikan sampai
sekarang.
A. ALIRAN FILSAFAT
POSITIVISME
Filsafat positivisme dikenal sebagai bentuk baru dari
ilmu pengetahuan yang meyakini bahwa realitas ada (exist) sejalan dengan hukum alam (natural laws). Filsafat
positivisme
dipelopori oleh sosiolog Auguste Comte pada awal abad
ke-19. Dalam
ilmu filsafat positivisme, filsafat digunakan sebagai sistem umum mengenai
konsep pada manusia, sedangkan positif diyakini Comte sebagai teori untuk
menyusun fakat-fakta yang diamati. Comte juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan
tidak dapat melampau fakta sehingga dalam positivisme menolak adanya metafisika
akan tetapi menerima adanya “das Ding an
Sich” (objek yang tidak bisa diselediki oleh pengetahuan ilmiah) (Hardiman,
2004:197).
Sebagai bentuk aliran yang menolak adanya metafisik,
aliran filsafat ini menolak segala sesuatu yang tidak faktual untuk dijadikan
sebagai objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Fakta-fakta harus
diperoleh menggunakan metode keilmuan, khusunya metode ilmu alam, data harus
diukur secara kuantitatif, dan ilmu harus bersifat positivistik, termasuk ilmu
sosial seperti sosiologi. Menurut
Comte ilmu sosial bersifat positivistik, sehingga objek dalam ilmu sosial
seperti manusia, masyarakat, dan kebudayaan dapat dideskripsikan secara
matematis menggunakan angka-angka statistik.
Positivisme merupakan pembeharuan dalam sejarah
pemikiran barat modern melalui rasionalisme dan empirisme. Dalam positivisme
kedudukan pengetahuan diganti dengan metodologi, dan ilmu-ilmu pengetahuan yang
terus berkembang secara terus menerus adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Sehingga positivism menempatkan
metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi kajian epistemology, yaitu
pengetahuan mengenai kenyaataan (Budi Hardiman, 2003: 54).
Secara jelas, dalam bukunya yang berjudul Discour sur lèsprit positif (1984), yang
telah dikutip
oleh Koento Wibisono, Comte menjelaskan mengenai pengertian “positif” adalah sebagai
berikut: a) “Positif” merupakan lawan dari “khayal” artinya positif bersifat
nyata, kemudian lebih lanjut menjelaskan bahwa objek filsafat positivisme
adalah hal-hal yang dapat dijangkau akal. b) “Positif” lawan dari sesuatu yang
“tidak bermanfaat”. Artinya positif dapat diartikan bahwa tujuan dari adanya
pemikiran filsafat positivism tidak hanya didasari pada pemenuhan rasa
keingintahuan manusia, akan tetapi segala pemikiran harus berlandaskan pada
kemajuan ilmu pengetahuan umat manusia. c) “Positif” sebagai
lawan dari “keraguan”, artinya positif adalah keyakinan, sehingga dapat
diartikan sebagai hal-hal yang sudah pasti. d) “Positif” sebagai lawan “kabur”,
maka positif disifati sebagai sesuatu yang jelas atau tepat. Artinya sifat
filsafat ini harus dapat memberikan sesuatu yang jelas dan tepat atas apa yang
dibutuhkan manusia. e) “Positif” sebagai lawan “negatif”, sehingga pemikiran
ini mengarah pada penataan pola berpikir. (Wibisono, 1983:37).
Filsafat positivisme hadir dalam sejarah perkembangan
cara berfikir manusia. Aliran ini berpendapat pada salah satu bidang ilmu yang
popular hingga kini, yaitu matematika. Bahwasannya matematika bukanlah ilmu,
melainkan alat berfikir logik. Comte juga membagi sejarah perkembangan
berifikir manusia menjadi beberapa jenjang, yaitu: teologik, metaphisik, dan
positif. Oleh sebab itu, baginya ketika seseroang telah mencapai cara berpikir
positivisme maka ia telah berada di tahap cara berfikir modern dalam mencapai
ilmu pengetahuan.
B. TEORI PERKEMBANGAN
AUGUSTE COMTE DAN HIERARKI ILMU
1. Teori
Perkembangan
Perkembangan
merupakan proses berlangsungnya sejarah manusia dalam suatu gerak menuju kearah
yang tingkatnya lebih maju (Nugroho, 2016:170). Hal itu juga terjadi pada akal budi
manusia yang berevolusi atau berkembang dari tahap terendah menuju tahap
modern. Proses perkembangan itulah yang diyakini Comte terjadi secara spontan
dan otomatis, tak dapat dihindari dan berlaku universal (Veerger, 1985:20).
Perkembangan
akal budi akan terjadi pada setiap manusia, hal itu dikarenakan setiap manusia
memiliki struktur akal budi dan penginderaan yang sama, sehingga dapat
menghasilkan persepsi yang sama pula. Persepsi yang sama itulah yang kemudian
membentuk hukum universal pada semua tempat dan waktu. Hal itu sejalan dengan
pernyataan Comte (Lubis, 2014:143)
menganggap jika penginderaan dan akal budi yang sama di mana saja dan dikuasai
oleh hukum universal (tahap-tahap) sama pula.
Selanjutnya Comte membagi proses perkembangan pada
akal budi manusia ke dalam tiga tahap. Ketiga tahap ini tejadi pada seluruh umat manusia. Berikut
tahapan perkembangan pemikiran pada manusia.
a. Tahap
Teologi
Tahap teologi, manusia belum memiliki
akal kemampuan akal budi baik untuk menjelaskan objek yang ada pada dirinya
maupun objek di luar dirinya.Tahap teologi, manusia memercayai kekuatan supranatarual,
manusia menganggap bahwa yang terjadi di muka bumi ini sejalan dengan adanya
kekuatan supranatural itu.Segala yang mengatur dirinya dan objek di luar
dirinya adalah kekuatan yang mereka percayai.Kepercayaan teologi menurut Comte
kemudian dibagi lagi menjadi tiga yaitu fetisisme/animisme
yang memercayai kekuatan supranatural itu datang dari makhluk halus atau roh
yang tentunya didasari oleh kepercayaannya sebelum manusia mengenal agama.
Menurut keyakinan ini, segala sesuatu
di bumi yang memiliki fisik seperti gunung, pohon, sungai memiliki roh/jiwa
sehingga ia memercayai bahwa segala bentuk fisik itu bertindak dan memiliki
kekuatan kepada manusia. Oleh sebab itu, manusia memercayai kekuatan roh yang
spade akhirnnya sebagai bentuk kecil pada sesuatu yang besar (roh), manusia
melakukan sesembahan dan memberikan penghormatan dalam bentuk sesajen kepada
roh-roh agar terus dapat dilindungi di muka bumi ini (Bakker, 1970:28).
Politeisme,
pada kepercayaan ini manusia telah mampu mengelompokkan roh/jiwa dari
benda-benda fisik sesuai dengan kesamaan.Sehingga pada keyakinan ini manusia
memercayai keyakinan lebih dari satu, dan juga menyembah para dewa sesuai
dengan bidang hasil abstraksinya. Monoteisme,
merupakan perkembangan lebih lanjut dari politeisme yang beranggapan bahwa
hanya ada satu tuhan yang bertahta di muka bumi. Segala yang terjadi di muka
bumi adalah kekuatan mutlak sang Maha Pencipta yang kemudian mereka percayai
sebagai Tuhan.
b. Tahap Metafisik
Pada tahap ini, kecenderungan manusia untuk berpikir
secara animistis telah ditinggalkan.Sehingga berakhirnya masa monoteisme
merupakan awal dari tahap metafisik.Manusia mulai dapat menggunakan akal budi
untuk dapat menjawab pertanyaan mengenai gejala-gejala alam. Manusia pada tahap
ini telah berhasil membuat konsep abstrak dari kejadian konkrit seperti “hukum
alam”, “kodrat manusia”, “keharusan mutlak” yang kemudian dianggap sebagai
penyebab. Penyebab terhadap gejala dikembalikan pada penyebab tadi (Veerger,
1985, hlm. 21).Pada tahap ini kekuatan para dewa diganti oleh entitas metafisik
berupa (substansi esensi, roh, dan ide).Masa ini juga disebut sebagai masa
peralihan dari anak-anak ke masa dewasa sehingga ketidakpercayaan seseorang
terhadap kodrat mengharuskan menggunakan akal budi sebagai sumber untuk mencari
kebenaran.
c. Tahap Positif
Pada tahap ini kemampuan akal budi telah menyentuh
tahap paling tinggi.Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi dapat dijelaskan
sesuai dengan akal budi.Tahap ini tercapao pada semua problema dapat dijawab
secara permanen sebagai sesuatu yang berguna dan ilmu positif diterima sebagai
gudang pengetahuan dari manusia itu (Zaprulkhan, 2018, hlm. 114).Kebenaran
dalam menjelaskan dalam teori ini harus dibuktikan secara empiris.Pada tahap ini
juga kekuatan agama telah diambil oleh ilmu pengetahuan secara empiris.
Comte berusaha mewujudkan kehidupan masyarakat bisa
diatur oleh akal budi berdasarkan prikemanusiaan.Pada tahap ini juga memberikan
sebuah teori bahwa pemikiran ilmiah harus melalui tahap observasi sebagai suatu
yang sangat penting karena dalam tahap validasi tidak boleh sembarangan
mengambil hipotesisnya.Tahap ini juga ditandai sebagai zaman rasionalitas,
zaman modern sebagai manifestasi dari ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
2. Hierarki
Ilmu Menurut August Comte
Perkembangan pemikiran manusia menuju ke puncak
kemajuan ilmu pengetahuan menurut Comte adalah untuk mencapai kekuasaan, selain
itu tujuan ilmu pengetahuan juga harus dapat memberikan kebermanfaatan bagi
manusia.Dalam mengukur kemajuan ilmu pengetahuan Comte mengklasifikasikan
beberapa cabang sejalan dengan gejala-gejala pengetahuan yang hadir terlebih
dahulu.
Berikut ini
klasifikasi ilmu pengetahuan menurut August Comte. Pertama ilmu matematika
atau sains karena dapat diterapkan untuk semua hal dan bersifat universal. Kedua astronomi yang
didasari pada matematika terapan pada benda fisik di angkasa. Ketiga fisika
yang berkaitan dengan unsur-unsur yang ditemukan di bumi dan dunia fisik yang
lain. Keempat kimia yang lingkupnya tekah dibatasi akan tetapi dapat diterapkan
di area yang sama dengan ilmu fisika. Kelima biologi yang menyelidiki dengan
makhluk hidup. Keenam
sosiologi, dikembangkan untuk menyelidiki perilaku manusia sebagai makhluk
sosial.
a. Ilmu
Matematika
Menurut pandangan filsafat positivisme terhadap ilmu
pengetahuan bertujuan untuk menyelesaikan masalah sehingga ilmu pengetahuan
bersifat pragmatik. Comte mengklasifikasikan ilmu matematika di urutan pertama
karena ia meyakini bahwa ilmu pasti dapat menujukkan kuantitas gejala apapun,
tentunya dengan metode yang benar. Hal inilah yang kemudian menjadikan ilmu
matematika sebagai dasar ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak, tetap, dan
pasti.
b. Ilmu
Astronomi
Setiap ilmu tentunya saling berkaitan satu dengan yang
lainnya, ilmu astronomi menggunakan dasar-dasar ilmu matemtika dalam menyusun
benda-benda langit.Dapat dijelaskan pula bahwa ilmu perbintangan dapat
dilakukan dengan pengamatan langsung sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang
bersifat nyata.
c. Ilmu
Fisika
Ilmu fisika pun kaitan erat dengan kedua ilmu
sebelumnya yaitu dengan ilmu matematika dan ilmu astronomi. Pengetahuan
mengenai benda-benda langit merupakan dasar untuk memahami ilmu fisika, karena
dalam ilmu fisika mempelajari gejala yang komplek yang tidak akan dapat
dipahami kecuali setelah mempelajari ilmu mengenai astronomi. Ilmu fisik juga
mempelajari mengenai eksperiman, berat benda, massa jenis yang kesemuannya
memerlukan bekal ilmu matematika sehingga ilmu fisika tidak dapat terlepas dari
keduanya.
d. Ilmu
Kimia
Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari ilmu
fisika tidak hanya melalui pengamatan dan percobaan namun juga dengan
perbandingan sehingga gejala yang digunakan untuk meneliti ilmu kimia lebih
komplek dari ilmu matemtika.Untuk itu harus keterikatan dengan ilmu biologi
bahkan juga dengan sosiologi.
e. Ilmu
Biologi
Mengenai ilmu ini, Comte berpendapat bahwa dalam
perkembangannya masih belum sampai pada tahap ilmu positif karena pada
penggolongan ilmu biologi telah berhadapan dengan unsur-unsur yang lebih
kompleks disertai dengan adanta perubahan yang sedemikian rupa.
f. Ilmu
Sosiologi
Dalam klasifikasinya, Comte mengklasifikasikan ilmu
sosiologi pada kategori terakhir.Tentunya hal itu disebabkan ilmu ini berhadapan
dengangejala yang paling kompleks dan kongkret yaitu hubungan antara manusia
dan kelompok. Ilmu ini timbul karena adanya hubungan individu satu dengan
individu lain.
Penggolongan ilmu pengetahuan yang telah
dipaparkan Comte didasari oleh gejala yang bersifat sederhana dan umum serta
secara bertingkat gejala menjadi kompleks dan khusus. Tentunya semakin kompleks
dan khusus gejala tersebut semakin
bermacam pada batasan dan panduan yang beragam (Koento, 1983, hlm. 25-32).
C. DEMARKASI
PENGETAHUAN ILMIAH DAN NON-ILMIAH
Salah satu upaya untuk
mencari batasan pengetahuan yang benar,
dalam tradisi pemikiran di Barat bukan saja telah melahirkan
berbagai asumsi dasar serta paradigma beragam, tetapi
juga telah melahirkan berbagai metodologi yang diyakini
dapat memberi jaminan bagi kebenaran pengetahuan
yang diperoleh. Menurut Bacon, pengetahuan yang benar atau
ilmiah akan
diperoleh melalui penerapan metode induksi
berdasarkan eksperimen dan observasi (Muslih, 2005 :
90).
Bagi kaum positivisme,
kebenaran suatu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut; observable (teramati), repeatable (terulang),
measurable (terukur), testable (teruji), dan predictable (terramalkan)
(Muslih, 2005 : 79). Apa yang dilakukan oleh positivisme
ini tidak lain untuk melanjutkan proses induksi yang digagas
Bacon, serta para eksponen empirisme. Proses penerapan metode
induksi inilah yang terlihat paling dominan dalam pengembangan
ilmu lebih lanjut.
Di antara pandangan
tentang kesahihan pengetahuan seperti di atas,
pandangan kaum positivismelah yang paling dominan.
Ia memiliki pengaruh sangat besar bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu-ilmu alam
(Muslih, 2005 : 98). Perkembangan pandangan ini semakin
pesat semenjak munculnya positivisme logis yang tergabung
dalam Lingkaran Wina (Vienna
Circle). Mereka terdiri atas para ahli filsafat dan
saintis yang menunjukkan kecenderungan anti
terhadap metafisik, anti spekulatif, realistis dan materialistis, kritis
dan skeptis. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah
Rudolf Carnap (1891-1970) (Bertens dalam Komarudin, 2014:446).
Bagi kaum positivisme logis, filsafat harus bertindak sebagai
abdi bagi ilmu pengetahuan. Fungsi pokok filsafat menurut
mereka adalah melakukan kajian tentang metodologi
ilmu pengetahuan dan melakukan penjernihan
konsep-konsep ilmiah (Adian, 2002 : 71). Terkait dengan
hal ini, fokus perhatian dari para filosuf yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna
Circle) ini adalah
berusaha mencari garis pemisah atau garis demarkasi
antara pernyataan yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan
yang tidak bermakna (meaningless) dengan berdasarkan
prinsip kemungkinan untuk diverifikasi (Muslih, 2005
: 100). Artinya jika suatu pernyataan dapat diverifikasi,
maka ia bermakna, sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi
berarti ia tidak bermakna. Prinsip verifikasi ini menegaskan bahwa
suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan
pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi).
Sebagai akibat dari prinsip ini, pandangan filsafat
tradisional, termasuk teologi dan metafisika
pada umumnya, harus ditolak karena ungkapan- ungkapannya
melampaui pengalaman.
Keberadaan “keberhasilan”
verifikasi melalui eksperimen dan observasi begitu
penting bagi kaum positivism logis untuk menentukan
kebermaknaan suatu proposisi atau penyataan yang kerap
dipakai dalam membangun proposisi-proposisi keilmuan atau
pengetahuan. Sejumlah besar verifikasi, baik melalui eksperimen
atau observasi, dijadikan dasar oleh kaum positifisme logis (kaum
induktifis) (Chalmers dalam Komarudin,
2014:447)) untuk
menentukan keabsahan generalisasi serangkaian
hasil observasi yang terbatas menjadi hukum yang
bersifat umum atau universal. Dengan cara inilah, menurut
mereka bangunan proposisi-proposisi keilmuan menjadi
kokoh.
Namun dibalik kokohnya
bangunan proposisi-proposisi keilmuan yang diformulasi
kaum positivism seperti itu, ternyata tidak
lepas dari kritik beberapa tokoh seperti Karl Raymond
Popper. Popper terutama,
menolak penerapan prinsip verifikasi, yakni pembuktian teori
melalui fakta-fakta, yang dijadikan oleh kaum positifisme logis
sebagai garis demarkasi antara pengetahuan dan non- pengetahuan
(Adian, 2002 : 83).
Logika induktif dan prinsip verifiabilitas
mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama
sekali (non sense). Popper menolak
identifikasi antara kriteria demarkasi dan logika induktif karena dapat
mengaburkan kedua-duanya. Popper juga menolak identifikasi antara ilmu
pengetahuan dengan pernyataan dasar empiris yang bercorak tangguh. Popper
lantas mengusulkan kriteria demarkasi yang baru. Prinsip falsifikasi
digunakan Popper dalam membedakan argumen ilmiah dan non ilmiah. Prinsip itu
sendiri muncul dalam teori epistemologi yang dikembangkannya dalam filsafat
ilmu pengetahuan (philosophy of science).
D. VERIFIKASIONISME DAN
FALSIFIKASIONISME
1. Verifikasionisme
Aliran positivisme ini lebih menaruh perhatian pada
upaya menentukan bermakna atau tidaknya suatu pernyataan dalam filsafat dan
ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah. Tugas filsafat
adalah melakukan analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah. Untuk maksud itu,
mereka mengembangkan prinsip yang disebut verifikasi atau kriteria
kebermaknaan.
Berikut ini adalah
beberapa prinsip verifikasi sebagai elaborasi, yaitu :
a. Suatu proporsi dianggap
bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu pernyataan
adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris.
b. Yang mesti dilakukan itu
adalah verifikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan yang musti benar.
Proposisi “Di rumah itu ada tiga orangg pencuri” adalah bermakna walaupun
setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “John tidak akan
mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan
ketidakbenaranya secara empiris. Sebaliknya ungkapan “hari ini cuaca lebih baik
daripada diluar” tidak bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat
kontradiksi.
c. Setiap pernyataan yang
secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak
bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara
empirik tidak dapat
diverifikasi atau tidak dapat dianalisis secara empirik. Kalimat metafisik God Exist bukanlah kalimat yang secara
faktual bermakna. Demikian pula halnya kalimat God does not exist.
Alfred Jules Ayer dengan karyanya yang terkenal Language, Truth, and Logic (1939),
membedakan dua jenis verifikasi, yakni verifikasi keras dan verifikasi lunak. Suatu proposisi dapat
dikatakan “verifiable” dalam arti
yang keras, hanya jika kebenarannya dapat dibuktikan dalam pengalaman secara
meyakinkan. Suatu proposisi “verifiable” dalam
arti lunak adalah proposisi yang pengalaman hanya dapat menjadikannya “sangat
mungkin (probable)” (Titus dkk., 1984 : 374).
2. Falsifikasionisme
Falsifikasi merupakan
cara pandang terhadap sesuatu berdasarkan dari sisi kesalahan. Jika
memandang suatu teori tersebut salah, maka berbagai upaya yang dilakukan untuk membuktikan
teori tersebut memang salah, hingga akan dibuatkan teori baru untuk
menggantikannya. Popper telah membuktikan falsifikasi
(sebuah teori untuk membuktikan kesalahan suatu hal atau
kejadian), hal ini bertolak belakang dengan konsep verifikasi (pembuktian
kebenaran). Sebuah teori jika tidak pernah terbukti salah, maka ia akan
mengalami
penguatan (koroborasi) namun akan tetap dapat
dijatuhkan jika terdapat satu perbedaan data yang
dapat menjatuhkan teori tersebut (Bakhtiar dalam Riski, 2021: 264).
Popper memandang ilmu
dari dua hal, yaitu: kriteria pemisah antara ilmu dan metafisika, dan
deskripsi tentang hakikat metodologi ilmiah. Hal pertama berhubungan dengan isu
status ilmu dalam spektrum luas dari pengetahuan
khususnya dalam memandang ilmu-ilmu sosial. Unsur
kedua berkaitan dengan isu tentang hakikat ilmu dan bagaimana kemajuan ilmu.
Popper memandang metode ilmiah sebagai sebuah
rancangan dari teori-teori mapun praduga (conjectures) dan penolakan-penolakan (refutations)
teori-teori tersebut. Konsep falsifiability yang
dihadirkan Popper merupakan suatu cara untuk membedakan teori ilmiah asli (genuine scientific theories) dari teori
ilmiah-semu (pseudoscience). “Rasionalisme Kritis” (critical rationalism) merupakan istilah yang
dipakai Popper untuk mendeskripsikan
filsafatnya (Subekti, 2015:40).
Inti dari pemikiran
Filsafat Ilmu Poper adalah pendapatnya tentang asimetri logis (logical asymmetry) antara verification dan falsifiability.
Itu juga yang menginspirasi beliau untuk mengambil
falsifiability sebagai kriteria demarkasi antara ilmiah asli, dan yang bukan:
“satu teori harus dipandang ilmiah jika, dan hanya
jika, ia dapat difalsifikasi”. Falsifikisai merupakan suatu upaya untuk mencari
data tandingan dari suatu teori melalui eksperimen ilmiah. Hal yang
demikian tersebut merupakan inti dari “prinsip falsibilitas”.
Suatu teori yang bekerja dengan cara mengekslusikan kemungkinan-kemungkinan yang
ada demi mendapatkan teori baru yang dapat menentang atau menjatuhkan teori sebelumnya,
menurut Popper suatu hal yang pasti tidak bersifat ilmiah (Muslih, 2005:123-125).
Popper mencoba merumuskan
suatu langkah untuk menguji sebuah teori, semua
langkah tersebut harus dilakukan tahap demi
tahapan, langkah-langkah yang dimaksud dijelaskan oleh Popper
sebagai berikut.
a) Melakukan
perbandingan-perbandingan secara logis dan ilmiah terhadap teori-teori yang
ada, sehingga diketahui konsistensi internal dari
teori tersebut.
b) Selanjutnya melakukan
penyelidikan atas valitas atau pun kesesuaian teori tersebut dengan
logika berfikir, sehingga akan diketahui apakah
terdapat ciri empiris atau ilmiah dari teori
tersebut.
c) Melakukan perbandingan antara teori satu dengan
teori yang lain untuk mengetahui apakah teori
tersebut telah tahan uji atau belum.
d) Langkah terakhir
adalah penerapan empiris, setelah seluruh langkah sebelumnya telah
diterapkan.
Tahapan seperti yang
dijabarkan di atas merupakan suatu usaha untuk mengetahui
sejauh mana berbagai konsekuensi-konsekuensi baru
teori itu bertahan terhadap tuntutan-
tuntutan praktis, baik yang muncul karena eksperimen
ilmiah, ataupun penerapan praktis dari
suatu teknologi. Sebuah kesimpulan tunggal (acceptable)
atau terbukti (verivied) akan didapatkan ketika
telah dilakukan pengujian, sehingga teori tersebut dapat dikatakan lolos untuk
sementara waktu. Namun demikian, jika nanti
kesimpulan-kesimpulan tersebut dapat diuji kesalahannya (falsified)
maka falsifikasinya juga memfalsifikasi teori yang dari sana ia disimpulkan
secara logis.
Falsifikasi Popper adalah
teori penyangkalan atas pembenaran dari suatu verifikasi
terhadap sebuah keilmuan atau teori. Singkatnya
falsifikasi merupakan kebalikan dari verifiaksi.
Popper menyatakan bahwa suatu teori tidak mutlak kebenarannya
hanya jika dapat diverifikasi
saja, tetapi akan
semakin kuat dan kokoh sebuah teori jika mampu bertahan dari penyangkalan
(falsifikasi). Popper berpendapat bahwa tidak ada
yang namanya verifikasi, yang dapat diakui
keabsahannya hanyalah falsifikasi, artinya pencarian
fakta yang memastikan bahwa sebuah
hipotesis tidak dapat dipertahankan. Pendekatan ini
menyangkal bahwa pernyataan-pernyataan
tentang realitas alami lebih rasional dari pada pernyataan-pernyataan
lain (Suseno dalam Ulum,
2020:76).
Popper juga berpendapat bahwa falsiability merupakan
alasan pertama untuk mengetahui
hitam putihnya sebuah ilmu, hingga dapat menetapkan
apakah ilmu tersebut ilmiah atau tidak
ilmiah. Jika sebuah ilmu tanpa melalui verifikasi tanpa
melalui falsifikasi maka menjadi tidak
ilmiah. Suatu teori harus dapat dipastikan
validitasnya, hingga tidak berada diantara persepsi
benar atau salah.
Berdasarkan gambaran dari
siklus relative tersebut, sangat jelas bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi
terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan
salahnya. Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui
uji-hipotesis sehingga bisa ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu
itu akan dibuang atau diabaikan jika memang salah. Begitu seterusnya,
setiap ilmu atau teori yang baru akan dilakukan uji-hipotesis, dan jika semakin
menunjukkan kesalahannya akan diabaikan dan diganti
dengan teori yang baru.
Dengan demikian, pada
dasarnya aktifitas keilmuan hanya bersifat
mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran
yang obyektif. Oleh karrena itu pengembangan ilmu dilakukan
dengan merontokkan teori karena terbukti salahnya, untuk
kemudian digantikan dengan teori baru. Untuk itu, falsifikasi
menjadi alat penentu demarkasi, yakni pembeda, antara
genuine science (ilmu asli) dan pseudo science (ilmu
tiruan). Jadi, kriteria keilmiahan sebuah ilmu atau teori
adalah ilmu atau teori itu harus bisa disalahkan (falsibility), bisa disangkal (refutability), dan bisa
diuji (testability). Gagasannya seperti ini telah
mengantarkannya dikenal sebagai seorang epistemology
rasional-kritis dan empirisis modern.
KESIMPULAN
Aliran filsafat positivisme merupakan
aliran yang digagas oleh August Comte.
Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya
sumber ilmu pengetahuan adalah alam yang
realistis. Sehingga aliran ini sangat
mengutamakan metode ilmiah dan aspek faktual
pengetahuan. Menurut
Comte, ada tiga tahap perkembangan manusia, puncak tertingginya ialah
tahap positif. Tahapan tersebut berupa tahap
teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik.
Aliran positivisme
menggunakan prinsip verifikasi untuk memisahkan antara pernyataan bermakna atau
tidak bermakna. Prinsip
verifikasi ini menegaskan bahwa suatu proposisi adalah bermakna
jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi
dengan pengamatan (observasi). Jika
suatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia bermakna, sebaliknya
jika tidak dapat diverifikasi berarti ia tidak bermakna (sia-sia). Sebagai
akibat dari prinsip ini, pandangan filsafat
tradisional, termasuk teologi dan metafisika
pada umumnya, harus ditolak karena ungkapan- ungkapannya
melampaui pengalaman.
Kemudian Popper
menawarkan gagasan falsifikasi sebagai penentu
demarkasi antara proposisi atau teori yang ilmiah dan yang
tidak ilmiah. Menurutnya, suatu proposisi atau teori empiris harus dilihat
potensi kesalahannya. Selama suatu teori mampu bertahan dalam
upaya falsifikasi, maka selama itu pula teori tersebut tetap
dipandang kokoh, meski ciri kesementaraannya tetap tidak pernah hilang. Suatu
teori bersifat ilmiah, jika terdapat kemungkinan secara prinsipil
untuk menyatakan salahnya. Inilah yang dimaksud dengan
prinsip falsifikasi menurut Popper. Sebaliknya, jika suatu proposisi
atau teori secara prinsipil tidak menerima kemungkinan untuk
menyatakan salahannya, maka proposisi atau teori tersebut tidak
bersifat ilmiah.
Menurut Popper, kemajuan ilmu
pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi
terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan
salahnya. Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui
uji-hipotesis sehingga bisa ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu
itu akan dibuang atau diabaikan jika memang salah. Begitu
seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru akan
dilakukan uji-hipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan diabaikan
dan diganti dengan teori yang baru.
Dengan demikian, pada
dasarnya aktifitas keilmuan hanya bersifat
mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran
yang obyektif. Oleh karena itu pengembangan ilmu dilakukan
dengan merontokkan teori karena terbukti salahnya, untuk
kemudian digantikan dengan teori baru.
KEPUSTAKAAN
Bakhtiar, A. (2014). Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada.
Bakker,
Y.W.M. (1970). Indonesia 70. Majalah Impack. Jilid V. No. 11.
Hardiman, F. B. (2004). Fislafat
Modern Dari Machievelli Sampai Niestzshe. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Heribdp. (2021). “Post-Modernism: Krusialitas Falsifikasi
Karl Popper”.
Artikula.id.
https://artikula.id/heribdp/falsifikasi-karl-popper/#
Husaini, A. (2002). Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Depok: Gema Insani
Koento, W. (1983). Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Augustem Comte. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Komarudin, K. (2014). “Falsifikasi Karl Raimund Popper dan
Kemungkinan Penerapannya dalamnKeilmuan Islam”. At-Taqaddum, 6(2), 444–465.
Lubis, Y. A. (2014). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muslih, M.
(2005). Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi
Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Nugroho, I. (2016). “Positivisme Auguste Comte
Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains”.Cakrawala,11(2), 167-177.
Riski, M.A.
(2021). “Teori Falsifikasi Karl Raimund Popper:Urgensi Pemikiranya dalam Dunia
Akademik”. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(3), 261-272.
Subekti, S. (2015). “Filsafat Ilmu Karl R. Popper Dan Thomas S.
Kuhn Serta Implikasinya Dalam Pengajaran Ilmu”. Humanika, 22(2), 39-46.
Ulum, B. (2020). “Inklusifitas Pemikiran dan Pendidikan
Islam terhadap Persfektif Karl R.
Popper”.
Jurnal At-Tajdid: jurnal pendidikan dan pemikiran islam, 4(1), 75-84.
Veerger, K.J. (1985). Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia.
Zaprulkhan.(2018).
Filsafat Modern Barata Sebuah Kajian
Tematik. Yogyakarta: IRCiSoD.