Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Jumat, 25 Februari 2022
Resensi Buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api Oleh: Riska Mulyani
CHAIRIL
YANG TETAP HIDUP
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan :
Pertama, Oktober 2016
Tebal :
x + 152 halaman
Siapa yang tak kenal Chairil Anwar si “Binatang Jalang” yang ingin hidup 1000 tahun lagi, pelopor kesusastraan angkatan 45 yang
mendobrak angkatan sebelumnya. Dalam
Perayaan tujuh belas agustusan, puisi-puisi cemerlang Chairil selalu dibacakan dari Sabang sampai
Merauke. Rasanya tak akan pernah
habis pembicaraan tentang Chairil Anwar baik
individunya maupun sajak-sajaknya. Chairil seperti bagian dari bangsa
Indonesia yang pernah ada, dan terus dirindukan.
Chairil
Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api merupakan hasil penelusuran tim majalah
Tempo dalam rangka menyambut hari Kemerdekaan RI tahun 2016. Sama seperti edisi
khusus tokoh-tokoh sebelumnya. Buku ini
menceritakan berbagai sisi kehidupan sang tokoh dan juga pandangan dari
orang-orang di sekitarnya.
Buku ini mengungkap kehidupan Chairil
Anwar dengan lengkap, mulai dari kehidupan masa kecilnya di Medan, kepindahannya ke
Jakarta, inspirasinya dalam menulis hingga peristiwa kematiannya. Chairil
Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922 .
Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes bin Manam dan Siti Saleha,
keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS), sekolah
dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda.
Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia
Belanda, tetapi kuluar sebelum lulus.
Pada tahun 1942, setelah perceraian orang tuanya,
Chairil bersama ibunya pindah ke Jakarta
dan mulai mengenal dunia sastra. Yang membuat Chairil Anwar bersinar adalah
kemampuannya melahirkan karya yang tidak sekadar memotret dan menggelorakan
jiwa perjuangan kemerdekaan RI, namun juga kemampuannya mengolah bahasa
Indonesia, yang pada saat itu belum semaju sekarang. Pada masa ia hidup, bahasa
Melayu dan Belanda masih lebih familier digunakan. Kegilaan Chairil terhadap
buku sastra dunia dan perjuangannya mencari kata, diksi, bentuk dan isi terbaik
dalam lirik-lirik puisinya membuat karyanya menjadi unggul dan berbeda dari
karya-karya Angkatan Pujangga Baru saat itu.
Mengenai puisi-puisi perjuangannya, ia tidak hanya merenung
dan berimajinasi di balik meja saja, melainkan terlibat langsung dalam
pertempuran yang kemudian dituangkannya ke dalam sajak. Hal ini dapat dilihat
dari salah satu puisinya yang berjudul “Krawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan
Bung Karno”, “Aku” dan “Diponegoro”. Selain puisi perjuangan, ada juga
puisi-puisi cinta yang terinspirasi dari beberapa perempuan yang pernah singgah
dihidupnya.
Chairil Anwar meninggal pada tanggal 28
April 1949,
karena penyakit tifus, infeksi dan usus pecah. Chairil dimakamkan di Pemakaman
Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Chairil mati muda pada usia 27 tahun dan
sejarah akan terus mencatat, ia seorang pemberontak yang tak beranjak tua. Mati
muda telah mengekalkan imaji dirinya selaku pemberontak terhadap adat-istiadat,
nilai, dan kemapanan Pujangga Baru. Walau telah tiada, sampai hari ini Chairil adalah
sebuah inspirasi. Inspirasi tentang bagaimana seorang pengarang menciptakan
karakter bahasa yang mampu menembus dominasi bahasa pejabat, bahasa politikus,
bahasa pengacara dan bahasa preman sekaligus.
Buku ini disarankan untuk mahasiswa yang belajar
kesusastraan, dan juga tenaga edukatif untuk menambah referensi dalam proses
pembelajaran serta khalayak umum yang ingin lebih tahu lebih dalam tentang
Chairil Anwar. Terlepas dari pemaparan orang-orang di sekitar Chairil yang
terlalu luas, dan sering terjadi pengulangan informasi di beberapa bagian, buku
ini bagus untuk dibaca karena disajikan dengan bahasa yang ringan, dilengkapi
foto dan gambar, serta beberapa karya Chairil yang terkenal serta beberapa tulisan
lain yang belum pernah terbit sebagai kumpulan puisi. Sampul buku yang sederhana namun terkesan mendalam menjadi nilai tambah buku ini.
Resensiator: Riska Mulyani
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Sastra
Indonesia TM 2015
Perbedaan Surat Dinas dan Surat Pribadi
Perbedaan surat pribadi dan surat dinas berdasrkan ciri-cirinya sebagai berikut.
ASPEK PEMBEDA | SURAT PRIBADI | SURAT DINAS |
Kepala Surat/Kop Surat | Surat pribadi tidak memiliki kepala/kop surat | Surat dinas memiliki kepala/kop surat yang memuat nama instansi ataupun lembaga |
Nomor surat | Surat pribadi tidak memiliki nomor surat | Surat dinas memiliki nomor surat |
Salam pembuka | Salam pembuka yang bervariasi | Salam pembuka yang baku |
Sistematika surat | Surat pribadi tidak terikat dengan sistematika surat, formatnya sesuai keinginan penulis | Surat dinas harus sesuai dengan sistematika surat |
Bahasa surat | Surat pribadi menggunakan bahasa tidak resmi dan cenderung menggunakan bahasa sehari-hari | Surat dinas menggunakan bahasa resmi dan baku. |
Dirangkum dari berbagai sumber.
Langganan:
Postingan (Atom)