Jumat, 20 November 2020

PSIKOLINGUISTIK: Gangguan Berbahasa Oleh: Riska Mulyani

   Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Alat bicara yang baik akan mempermudah berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Inilah yang di sebut sebagai gangguan berbahasa.

          Gangguan-gangguan berbahasa tersebut sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian faktor-faktor tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Gangguan berbahasa itu dapat di bedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, (3) gangguan berpikir, dan (4) gangguan lingkungan sosial.

A. Gangguan Berbahasa

Dalam pembahasan kali ini penulis akan menjelaskan yaitu, (1) pengertian gangguan berbahasa (2) jenis gangguan berbahasa,  dan (3) faktor penyebab dan cara mengatasi gangguan berbahasa.  

1. Pengertian Gangguan Berbahasa

Menurut Maksan (1993:60) gangguan berbahasa adalah gangguan terhadap kemampuan untuk menghasilkan atau memahami konsep yang disampaikan oleh bahasa atau melalui bahasa itu sendiri. Seseorang yang mendapat gangguan berbahasa menghasilkan bahasa yang tidak jelas konsepnya bagi pendengar atau bisa juga seseorang tersebut dapat menangkap konsep yang berbeda dari bahasa yang didengar atau dibacanya. Sementara itu, Chaer (2009:154-155) berpendapat bahwa berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Bagaimana proses kemampuan berbahasa dikuasai manusia, berkaitan dengan perkembangan manusia yang baru lahir. Kanak-kanak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata menggunakan telinganya dengan baik dan akan dapat menirukan kata-kata tersebut. Seseorang memerlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata dalam berbahasa. Artinya, daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi dengan baik. Broca adalah gedung tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata di otak, sedangkan Wernicke adalah tempat menyimpan sandi komprehensi kata-kata. Apabila terjadi kerusakan pada dua daerah tersebut dan sekitarnya, maka akan menyebabkan gangguan bahasa yang disebut afasia (Broca menamainya dengan sebutan afemia).

2. Jenis Gangguan Berbahasa

a. Menurut Maksan (1993:63-66) jenis gangguan berbahasa sebagai berikut.

1. Disfasia

Disfasia adalah gangguan atau keterlambatan berbahasa atau berbicara dalam masa pemerolehan bahasa yang disebabkan bawaan sejak lahir. Hal ini dapat terjadi karena penyakit yang dibawa anak sejak dari kandungan ibunya.

Disfasia atau kelainan kemampuan berbahasa atau berbicara yang dibawa sejak lahir itu, dapat lagi dibagi atas dua bagian sebagai berikut.

a) Disfasia Reseptif

Disfasia reseptif  terjadi karena pemahaman atau penerimaan bahasanya yang terganggu. Pelahiran bahasa atau pengungkapan bahasanya yang terganggu. Pelahiran bahasa atau pengungkapan bahasanya normal saja. Karakteristik utama anak yang mengalami disfasia reseptif ini ialah ketidakmampuan anak dalam  menguasai bahasa lisan. Untuk gangguan yang bersifat ringan dia tidak memahami arti kata-kata abstrak, tetapi cukup paham dengan kata-kata yang kongkret. Dapat juga terjadi anak ini tidak mengerti dengan preposisi seperti, kalau ia disuruh misalnya: “Letakanlah tas papa ini di atas meja.” Barangkali ia akan binggung karena tidak mengerti dengan kata di atas itu, Ia mungkin saja meletakkannya di bawah meja tersebut. Kata-kata sejenis ini yang mungkin saja tidak diketahuinya itu seperti, di keliling, di samping, ke bawah, dan lain-lain. Tetapi anak-anak yang mengalami gangguan disfasia reseptif ini, biasanya cukup baik bahkan baik dalam bidang-bidang seperti melukis, menggambar, dan membuat bermacam-macam konstruktif, atau dalam hal-hal yang nonverbal lainnya.

b) Disfasia Ekspresif

Anak yang mendapat gangguan disfasia ekspresif dapat memahami tutur atau bahasa lisan orang lain, tetapi ia mengalami kesulitan atau gangguan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan baik. Barangkali daerah Broca si anak telah mendapat gangguan atau penyakit sewaktu ia masih dalam kandungan ibunya. Atau mungkin daerah  Broca itu normal kemungkinan gangguan menimpa daerah Korteks Superior/Motor. Korteksnya atau juga mungkin terjadi bahwa gangguan itu terjadi pada daerah Penggerak Alat Ucap. Kemungkinan lain yang dapat saja terjadi ialah gangguan itu terletak pada alat ucap anak itu sendiri yang mendapat gangguan atau penyakit atau kelainan, seperti gangguan atau kelainan pada pita suara, lidah, dan lain-lain.

2. Afasia

Afasia terjadi setelah anak lahir da masih berada pada masa pemerolehan bahasa atau pun sudah berada dalam masa pembelajaran bahasa. Kemampuan berbahasa atau berbicara si anak mendapat gangguan setelah lahir, yang  besar kemungkinan disebabkan oleh penyakit-penyakit yang menyerang salah satu atau lebih bagian yang ada dalam otaknya. Afasia  merupakan gangguan atau kelainan yang terkadi disebabkan oleh hal-hal yang datangnya setelah anak lahir ke dunia. Beberapa jenis afasia yang dikenal antara lain.

a) Anomia (Afasia Amnestik)

Bagi anak yang mengalami  afasia amnestik ini ia mengalami kesulitan waktu mengungkapkan kembali apa-apa yang sebenarnya sudah diketahuinya sebelumnnya. Hal ini disebabkan karena ia mengalami kesukaran dalam mencari atau menemukan kata-kata untuk itu. Dengan begitu, ia lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa peragaan ayau bahasa isyarat, pantonim, atau vokalisasai yang sederhana. Kereta api disebutnya saja dengan tut tut misalnya. Anak ini akan kesulitan dalam membca secara oral, tetapi ia masih dapat membaca dalam hati dengan baik.

b) Autisme

Autisme terjadi bila anak mengalami hambatan berat dalam kemampuan verbal dan interaksi nonverbal. Penyakit ini biasanya ditimbulkan oleh karena kedua belahan (hemisfir) otak kiri dan kanan terganggu. Jembatan serat yang menghubungkan hemisfir kiri dan kanan (yang bernama korpus kalosum) mungkin saja mendapat gangguan atau terkena infeksi. Anak yang mendapat autisme ini ditandai dengan tidak adanya kontak mata waktu mengadakan komunikasi. Waktu dia berbicara dengan seseorang mungkin sekali ia tidak melihat kepada lawan bicaranya itu, atau melihat ke samping orang itu, dan sebagainya. Di samping itu, ia sering mengeluarkan suara-suara yang tidak bermakna. Namun demikian, kemampuan sintaksis, semantik, dan pragmatik.

c) Afasia Broca

Afasia Broca terjadi apabila daerah Broca mendapat gangguan atau penyakit. Sudah dapat ditafsirkan bahwa bila daerah Broca yang mendapat gangguan maka akibat yang ditimbulkannya adalah gangguan dalam berbicara, sesuai dengan fungsi daerah Broca itu.

d) Afasia Wernicke

Afasia Wernicke adalah penyakit yang mempunyai gejala bahwa ia mampu untuk berbicara dengan normal. Tetapi dalam hal ini, pemahamannya yang terganggu. Dengan kata lain, kemampuan untuk memahami pembicaraan orang lainlah yang terganggi.

e) Afasia Anomik

Afasia anomik ini terbagi atas beberapa antara lain sebagai berikut.

1. Word Production Anomia adalah  penyakit yang tidak dapat menyebutkan nama-nama benda, kecuali kalau diberi pertolongan dengan jalan menyebutkan suku kata pertama dari benda tersebut. Misalnya ia tidak mengetahui nama kursi. Kata kursi itu baru teringat olehnya setelah diberi bantuan dengan menyebutkan kur saja.

2. Word Selection Anomia adalah penyakit yang juga tidak dapat menyebutkan nama-nama benda di sekitarnya, kecuali jika dibantu oleh orang lain.  Jika pada Word Production Anomia bantuan orang lain itu berupa suku kata awal dari nama benda itu, maka di sini bantuan itu berupa diberikan pilihan beberapa kata seperti dalam tes objektif pilihan ganda. Dia akan dapat memilih nama benda itu dengan benar.

3. Semantic Anomia. Dalam kasus penyakit ini, orang tersebut tidak mengetahui nama benda, walaupun diberikan suku kata pertama dari benda tersebut ataupun kalau ia diberikan pilihan beberapa nama. Jadi Semantic Anomia merupakan penyakit anomia yang berarti “tidak mengetahui nama suatu benda” yang paling parah dibandingkan dengan kedua jenis anomia di atas.

f) Afasia Global

Afasia global adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada semua modalitas bahasa. Hal ini disebabkan karena kalainan-kelainan yang terjadi meluas di beberapa daerah yang berada  dalam hemisfir kiri otak manusia.

g) Alexia Without Agraphia 

Alexia without agraphia adalah penyakit gangguan membaca, tetapi untuk menulis ia mampu mengerjakannya secara normal.

h) Alexia With Agrafia

Alexia with agrafia adalah penyakit gangguan dalam membaca juga tetapi diikuti pula dengan gangguan dalam menulis (dalam arti mengarang). Dengan kata lain, penyakit ini menganggu baik membaca maupun menulis.

b. Menurut Dardjowidjojo (2003: 214-216) jenis gangguan berbahasa adalah Afasia.

Ada berbagai macam afasia, tergantung pada daerah mana di hemisfir kita yang kena stroke. Berikut adalah beberapa macam yang umum ditemukan (Kaplan dan Dardjowidjojo, 2003:214).

1) Afasia Broca

Afasia Broca kerusakan (yang umumnya disebut lesion) terjadi pada daerah Broca. Karena daerah ini berdekatan dengan jalur korteks motor maka yang sering terjadi adalah bahwa alat-alat ujaran, termasuk bentuk mulut, menjadi terganggu, kadang-kadang mulut bisa mencong. Afasia Broca menyebabkan gangguan pada perencanaan dan pengungkapan ujaran. Kalimat-kalimat yang diproduksi terpatah-patah. Alat penyuara juga terganggu maka seringkali lafalnya juga tidak jelas. Kata-kata dari kategori sintaktik utama seperti nomina, verba, dan adjektiva tidak terganggu, tetapi pasien kesukaran dengan kata-kata fungsi. Pasien bisa mengingat dan mengucapkan nomina bee atau nomina witch, tetapi dia kesukaran mengingat dan mengatakan be atau which.

2) Afasia Wernicke

Afasia wernicke letak kerusakan adalah pada daerah Wernicke, yakni bagian agak ke belakang dari lobe temporal. Korteks-korteks lain yang berdekatan juga bisa ikut kena. Penderita afasia ini lancar dalam berbicara, dan bentuk sintaksisnya juga cukup baik. Hanya saja, kalimat-kalimatnya sukar dimnegerti karena banyak kata yang tidak cocok maknanya dengan kata-kata lain sebelum dan sesudahnya. Hal ini disebabkan karena pnderita afasia ini sering keliru dalam memilih kata-kata fair bisa digantikan dengan chair, carrot dengan cabbage, dsb. Penderita afasia Wernicke juga mengalami gangguan dala komprehensi lisan. Dia tidak mudah dapat memahami apa yang kita katakana.

3) Afasia Anomik

Afasia anomik kerusakan otak terjadi pada bagian depan dari lobe parietal atau pada batas antara lobe parietal dengan lobe temporal. Gangguan wicaranya tampak pada ketidak-mampuan penderita untuk mengaitkan konsep bunyi atau kata yang mewakilinya. Jadi, kalau kepada pasien ini diminta untuk mengambil benda yang bernama gunting, dia akan bisa melakukannya. Akan tetapi, kalau kepadanya ditunjukkan gunting, dia tidak akan dapat mengatakan nama benda itu.

4) Afasia Golbal

Afasia golbal pada afasia ini kerusakan terjadi tidak pada satu atau dua daerah saja tetapi di beberapa daerah yang lain; kerusakan bisa menyebar dari daerah Broca, melewati korteks motor, menuju ke lobe parietal, dan sampai ke daerah Wernicke. Luka yang sangat luas ini tentunya mengakibatkan gangguan fisikal dan verbal yang sangat besar. Dari segi fisik, penderita bisa lumpuh di sebelah kanan, mulut bisa mencong, dan lidah bisa menjadi tidak cukup fleksibel. Dari segi verbal, dia bisa kesukaran memahami ujaran orang, ujaran dia tidak mudah dimengerti orang, dan kata-kata dia tidak diucapkan dengan cukup jelas.

5) Afasia Konduksi

Afasia konduksi merupakan bagian otak yang rusak pada afasia macam ini adalah fiber-fiber dengan lobe temporal. Karena hubunga daerah Broca di lobe frontal yang menangani produksi dengan daerah Wernicke di lobe temporal yang menangani komprehensi terputus maka pasien afasia konduksi tidak dapat mengulang kata yang baru saja diberikan kepadanya. Dia dapat memahami apa yang dikatakan orang. Mislanya, dia akan dapat mengambil pena yang terletak di meja, kalau disuru demikian, dia juga akan dapat berkata  Pena itu di meja, tetapi dia tidak akan dapat menjawab secara lisan pertanyaan Dimana penanya? Bisa terjadi, dia ditanya tentang A, yang dijawab adalah tentang B, atau C.

3. Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Gangguan Berbahasa

Menurut Maksan (1993:60) terdapat perbedaan antara gangguan berbahasa dengan gangguan berbicara. Namun, gejala yang dapat diamati dalam dua kasus tersebut hampir sama. Gangguan berbahasa adalah gangguan terhadap kemampuan untuk menghasilkan atau memahami konsep yang disampaikan oleh/melalui bahasa. Artinya, seseorang yang mendapat gangguan berbahasa menghasilkan bahasa yang tidak jelas konsepnya bagi pendengarnya atau dia menangkap konsep yang berbeda dari bahasa yang didengar atau dibacanya. Tetapi, gangguan berbicara tidak berhubungan dengan konsep bahasa yang dimilikinya itu. Konsep bahasanya tidak mengalami kelainan yang berarti konsep bahasanya normal seperti orang lain. Namun, dalam hal ini, ia tidak mampu mengucapkan apa-apa yang ada dalam pikirannya dengan ucapan yang normal. Gangguan-gangguan tersebut tentu disebabkan oleh berbagai hal. Faktor penyebab dan cara mengatasi gangguan tersebut dapat dilihat dari pendapat Maksan (1993: 61) yang mengategorikan gangguan tersebut ke dalam lima jenis gangguan sebagai berikut.

a. Gangguan berbicara/berkomunikasi karena gangguan motorik. Gangguan berbicara ini disebabkan oleh kerusakan pada alat ucap, baik itu selaput suara, saluran udara ke hidung atau mulut, kelainan-kelainan yang dijumpai pada mulut (seperti bibir, gigi, lidah, langit-langit, anak tekak), dan lain-lain. Apabila gangguan tersebut masih dini, ada kemungkinan dapat diobati oleh seorang neurolog atau ahli penyakit THT.

b. Gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dapat mengakibatkan terjadinya gangguan berbahasa atau gangguan berbicara. Apabila gangguan pendengaran yang paling berat (total deafness), seperti tuli total, sudah pasti penderita bukan hanya mengalami gangguan berbicara (bisa jadi sesungguhnya bicaranya normal), tetapi ia tidak dapat berbahasa karena tidak pernah mendengarkan orang lain berbahasa sama sekali. Namun, bagi orang yang mendapat gangguan ringan (masih dapat mendengar, tapi pendengarannya kurang baik) dan hal-hal lain dalam keadaan normal, maka orang tersebut hanya mendapat gangguan berbicara saja. Dia tidak dapat mengulang pembicaraan orang lain secara normal kerana menurut pendengarannya apa yang diucapkannya sudah normal. Jadi, bukan karena ia tidak tahu cara mengucapkannya, tapi karena begitu suara yang didengarnya akibat gangguan pendengaran yang diderita. Bagi penderita gangguan ringan dapat menggunakan alat bantu pendengaran, sehingga bisa mendengar cukup jelas dan membuatnya dapat mengucapkan apa yang didengar dengan cukup jelas juga.

c. Gangguan yang terjadi akibat Central Cephalic System mengalami kelainan. Gangguan ini berakibat lebih berat karena sistem pusat otak merupakan daerah yang mengontrol fungsi daerah Broca, Wernicke, pengatur alat ucap, dan motor korteks. Gangguan ini masih dapat diketahui oleh alhi neurolog dengan foto rontgen khusus yang disebut scanning. Apabila gangguan tersebut dapat dideteksi dengan pasti di bagian mana yang mendapat kelainan, maka biasanya dapat ditanggulangi (minimal dikurangi).

d. Gangguan fungsi emosional-sosial yang berat. Gangguan ini sama sekali bukan gangguan fisik, melainkan gangguan mental. Gangguan emosional-sosial ini biasanya diperoleh seorang anak yang dibesarkan dalam kondisi lingkungan sosial yang tidak normal. Misalnya, sejak kecil ia dididik oleh keluarga yang sangat keras, sehingga menimbulkan perasaan takut untuk melakukan sesuatu. Selain itu, gangguan ini dapat juga disebabkan oleh dirinya sendiri. Misalnya, ia dibesarkan dalam keluarga yang normal, namun pembawaannya sejak lahir sudah mengalami kelainan-kelainan. Hal tersebut dapat diatasi oleh pertolongan dari ilmu jiwa.

e. Gangguan kognitif. Gangguan ini bukanlah gangguan yang diakibatkan oleh hal-hal dari luar diri penderitanya. Gangguan kognitif umumnya dibawa sejak lahir karena gangguan ini berupa gangguan keterbelakangan mental. Anak-anak ketebelakangan mental (retarded children) tidak hanya mengalami kelainan berbicara saja, tapi juga kelainan berbahasa, bahkan ada yang bahasanya sama sekali tidak dipahami orang lain, kecuali oleh lingkungannya sendiri yang sangat terbatas. Gangguan kognitif ini umumnya berupa rendahnya tingkat kecerdasan, seperti anak idiot, debil, dan embisiel yang memiliki IQ di bawah 60. Penderita gangguan ini hanya perlu melakukan pendidikan di Sekolah Luar Biasa untuk membantu kemampuan kognitifnya bersama dengan anak-anak lain yang mengalami hal serupa.

 

B. Gangguan Berbicara

Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Chaer (2009:149-154) mengelompokkan gangguan berbicara menjadi tiga kategori yaitu, (1) gangguan mekanime, (2) gangguan multifaktorial, dan (3) gangguan psikogenik.

1. Gangguan Mekanisme

Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut, serta kerongkongan dan paru-paru. Gangguan berbicara berdasarkan mekanisme ini dapat dibagi atas empat jenis sebagai berikut.

a. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal

Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada  yang monoton, volume suara yang sangat kecil, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.

b. Gangguan Akibat Laringal

Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang.

c. Gangguan Akibat Faktor Lingual

Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih jika digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih itu ketika berbicara, maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya.

d. Gangguan Akibat Faktor Resonansi

Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau.

2. Gangguan Multifaktorial

Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan bericara sebagai berikut.

a. Berbicara Serampangan

Berbicara serampangan adalah berbicara dengan cepat sekali dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami.

b. Berbicara Propulsif

Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah). Para penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan gerakan-gerakan. Namun, bila bergerak maka ia dapat terus-menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu disebut propulsif.

c. Berbicara Mutis (Mutisme)

Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yaitu memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat. Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu-tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-ujaran bahasa, tetapi alat dengarnya normal, sehingga dia dapat mendengar suara-bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa dan juga tidak bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan, tetapi alat pendengarannya rusak.

3. Gangguan Psikogenik

Gangguan berbicara psikogenik sebenarnya tidak  bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Gangguan psikogenik terbagi atas empat macam sebagai berikut.

a. Berbicara Manja

Berbicara manja karena ada kesan anak yang melakukannya meminta perhatian untuk dimanja. Gejala ini memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat serebral. Namun, bagaimana struktur organisasinya belum jelas dan masih dalam penelitian.

b. Berbicara Kemayu

Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama jika yang dilanda adalah kaum pria.

c. Berbicara Gagap

Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ngulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Faktor-faktor yang menyebabkan gagap terdiri atas empat hal, yaitu (1) faktor-faktor “stres” dalam kehidupan berkeluarga, (2) pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat jangan membentak-bentak, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah, (3) adanya kerusakan pada hemisfer yang dominan, dan (4) faktor neuroti famial.

d. Berbicara Latah

Latah sering disamakan dengan ekolalla, perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain, tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.

C. Gangguan Berpikir

Dalam memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis, dan semantik tertentu seseorang menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya pada kata-kata dan kalimat-kalimat yang dibuatnya. Artinya, setiap orang memproyeksikan kepribadiannya pada gaya bahasanya. Lalu, jika diingat bahwa ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran, maka yang bisa disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal akibat gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut.

1. Demensia (Pikun)

Orang yang pikun menunjukkan banyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan itu menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat.

Menurut Dr. Martina Wiwie S. Nasrun dalam Chaer (2009:159) kepikunan adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan mengecil atau menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh penyakit stroke, tumor otak, depresi, dan gangguan sistemik. Pikun yang disebabkan oleh depresi dan gangguan sistemik dapat pulih kembali, tetapi kebanyakan kasus demensia lainnya tidak dapat kembali ke kondisi sebelumnya. Selanjutnya Dr. Martina menjelaskan, hal pertama yang harus dilakukan untuk mengobati demensia adalah mencari tahu penyebab gangguan perilaku tersebut. Penanggulangan gangguan perilaku pada demensia dapat dilakukan melalui metode nonobat ataupun dengan obat.

2. Sisofrenik

Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu para penderita sisofrenik kronik juga dikenal dengan istilah schizophrenik word salad. Para penderita dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar, dengan volume yang cukup, ataupun lemah sekali, curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.

Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus-menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit-sedikit atau dikurangi beberapa kalimat. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria, yaitu diferensiasi dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pascahalusinasi. Sebelum diganggu halusinasi (biasanya halusinasi auditorik), bahasa para penderita sisofrenik tampak terganggu. Pada tahap awal penderita sisofreni ini mengisolasi pikirannya. Tidak hanya berkomunikasi dengan dunia luar, tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal sangat ramai. Pada tahap prahalusinasi gaya bahasa verbal dan tulisnya dicoraki dengan penggunaan kata ganti “aku” yang berlebihan. Lalu, dia mengalami kesulitan dalam mencari kosakata yang tepat. Pada tahap berikutnyam penderita malah mendeteksi bahwa kata-kata yang tidak hendak digunakan justru secara tidak sengaja digunakannya.

3. Depresif

Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan napas dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi, dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirnya.

D. Gangguan Lingkungan Sosial

faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang serigala (Chauchard dalam Chaer, 2009:161).

Anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Oleh karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa. Otaknya mejadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak terasing, yang tidak punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia, tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia (Chauchard dalam Chaer, 2009:162). Berikut kasus-kasus anak yang terasing.

1. Kasus Kamala

Kasus adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala menurut catatan Zingg sejak tahun 1344 telah ada 31 kasus (Chauchard, dalam Chaer, 2009:162). Salah satunya kasus Kamala dan adiknya, kanak-kanak perempuan India yang ditemukan oleh seorang misionaris di Midnapore, India. Ketika baru ditemukan, Kamala diperkirakan berumur 8 tahun dan adiknya berumur 2 tahun. Kamala masih bisa hidup sampai 9 tahun kemudian, sedangkan adiknya tak lama setelah ditemukan meninggal. Akibat hidup di tengah serigala, ia sangat mirip denga serigala.

Demikianlah hidup di tengah binatang membuat manusia bukan manusia lagi. Namun, hal itu membuktikan kemampuan anak manusia dapat menyelaraskan diri hidup dengan serigala secara mengagumkan. Tingkat kecerdasan Kamala sampai ia meninggal tidak diketahui, sebab dia tidak pernah dites dengan tes-tes objektif yang memungkinkan untuk mengetahui apakah kecerdasan praktis dari Kamala yang tak terbahasakan itu lebih tinggi atau tidak dari kecerdasan seorang anak yang tidak bercakap (berbicara karena bisu) atau dari seekor kera. Namun, bagaimanapun Kamala tidak dapat dibantahkan dengan kecerdasan manusia karena Kamala tidak lagi mempunyai bahasa batin.

2. Kasus Genie

Seorang anak yang bernama Genie tetap berada dalam “asuhan” orangtuanya, tetapi dengan cara yang terlepas dari kehidupan yang wajar. Sejak berusia 20 bulan sampai berusia 13 tahun 9 bulan, Genie hidup terkucil dalam ruangan yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal. Tidak ada suara dan ayah Genie membenci suara apa pun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa pun, dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Satu-satunya orang yang sering dijumpai adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal lama-lama dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa-apa si ibu memberi makan Genie dengan selalu tergesa-gesa.

Ketika ditemukan pada tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia dikirim ke rumah anak-anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang gizi yang parah. Ketika pertama kali mendapat perawatan, Genie tidak mampu menggunakan bahasa, meskipun telah berumur hampir 14 tahun. Untuk mengetahui apakah dia sudah mengenal bahasa Inggris sebelum dikucilkan, ia diberikan serangkaian tes. Dari tes awal dapat diketahui bahwa Genie memahami sejumlah kata-kata lepas yang diucapkan orang lain, tetapi dia hanya memahami sedikit sekali kaidah gramatikal.

Bahasa antara Genie dengan kanak-kanak normal memiliki perbedaan. Perbedaan antara bahasa Genie dengan bahasa kanak-kanak normal, yaitu (a) kosakata Genie lebih banyak daipada kosakata anak-anak normal yang memiliki kerumitan sama dengan Genie,  (b) Genie tidak dapat membuat kalimat pasif, padahal kanak-kanak normal dapat menyusunnya sewaktu berumur tiga tahun, (c) performansi kebahasaan Genie setara dengan kemampuan otak normal anak berusia antara dua sampai dua setengah tahun, dan (d) kemampuan Genie dalam berbahasa lebih lamban daripada kemampuan kanak-kanak normal.

Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak memiliki fasilitas bahasa pada hemisfer kiri, melainkan menggunakan hemisfer kanan, baik untuk fungsi bahasa maupun fungsi nonbahasa. Dalam tes menyimak rangkap, ia mempunyai keunggulan telinga kiri yang sangat kuat untuk isyarat-isyarat verbal maupun nonverbal. Hasil tes menyimak rangkap ini memperkuat hipotesis bahwa Genie menggunakan hemisfer kanak untuk berbahasa. Temuan itu juga memperkuat hipotesis mengenai adanya hemisfer yang dominan dan yang tidak dominan.

 

KEPUSTAKAAN

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang Press.

Cari Blog Ini