Rabu, 23 November 2016

Makalah: Kedudukan, Fungsi dan Jenis Bunyi Dalam Puisi


BAB I

PENDAHULUAN
 
A.     Latar Belakang
Karya sastra pada dasarnya merupakan ungkapan penulis terhadap keadaan dan pengalaman hidup yang menggunakan media bahasa sebagai perantara atau pengungkapan ekspresi. Oleh sebab itu, karya sastra pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi dalam kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
Karya sastra yang perkembangannya sangat pesat yaitu puisi. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia sebenarnya telah bersastra yaitu dengan mantra, doa-doa untuk dewa  atau nenek moyang. Hal ini menunjukkan bahwa peran puisi dalam kehidupan merupakan sesuatu yang dominan dalam menunjukkan jati diri hidup.
Jika melihat hakikat dari puisi yaitu salah satu bentuk karya sastra yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa yang padat, mendobrak dan penuh dengan makna. Puisi dibentuk oleh kata-kata yang benar-benar terpilih, terseleksi dan melalui proses yang ketat. Puisi merupakan hasil ungkapan perasaan penyair yang dituangkan melalui kata-kata atau bahasa yang sengaja dipilih penyair untuk mewakili perasaannya. Dalam pengertian ini, maka makna dalam puisi menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan sesuatu hal dengan arti yang lain atau makna dibalik susunan kata-kata dan tipografinya.
Sebagai salah satu jenis sastra, puisi merupakan pernyataan sastra yang paling utama. Segala unsur sastra mengental dalam puisi. Puisi mengandung karya estetis yang bermakna, mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang panca indra dalam susunan yang berirama. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang diubah dalam wujud yang paling berkesan.
Melalui puisi kita dapat merasakan tawa, tangis, senyum, berfikir, merenung, terharu bahkan emosi dan marah. Sampai saat ini, puisi selalu mengikat hati dan digemari oleh semua lapisan masyarakat karena keindahan dan keunikannya. Oleh karena kemajuan masyarakat dari masa kemasa selalu meningkat, maka corak, sifat dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat.
Kondisi pengajaran sastra di sekolah saat ini sangat memprihatinkan, pengajaran sastra termasuk puisi hanya dipandang sebagai mata pelajaran yang monoton. Hal ini dikarenakan daya apresiasi sastra hanya menekankan pada aspek afektif yang berkutat dengan rasa, nurani, nilai-nilai dan seterusnya. Selain itu, kesulitan dalam memaknai sebuah karya sastra, juga menjadi masalah yang dominan. Tentunya dibutuhkan sebuah cara atau teknik yang baru dalam mengajarkan puisi atau sastra. Melalui makalah ini, kami mencoba untuk membahas tentang hakikat puisi dan beberapa cara atau teknik dalam pengajaran puisi.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1.      Bagaimana kedudukan bunyi dalam puisi?
2.      Apa sajakah fungsi bunyi dalam puisi?
3.      Apa saja jenis bunyi dalam puisi?
C.     Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dengan adanya makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1.      Mengetahui kedudukan bunyi dalam puisi
2.      Mengetahui fungsi bunyi dalam puisi
3.      Mengetahui jenis bunyi dalam puisi
D.    Manfaat
1. Sumbangan pemikiran dalam peningkatan pengajaran sastra pada umumnya dan puisi pada khususnya.
2. Bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang bermaksud mengadakan penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang sastra pada umumnya dan puisi pada khususnya.
3. Memberi gambaran bahwa analisis bunyi di dalam sajak puisi merupakan sesuatu yang bermanfaat di mana kita dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan, serta kepuitisan sebuah puisi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bunyi

            Dalam puisi, bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya lagu, melodi, irama dan sebagainya.
Menurut kamus istilah sastra (Laelasari,2006:58) Bunyi merupakan nada, laras, suara yang ditangkap atau diterima oleh alat indera, terutama alat-alat bicara.
B. Kedudukan Bunyi dalam Sajak
Bunyi adalah sesuatu yang sangat penting dalam sajak karena bunyi mempunyai  efek dan kesan tersendiri. Ia memberikan penekanan, menyarankan makna, dan suasana tertentu (Atmazaki, 2008:72).
Bunyi dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi- bunyi berperan menentukan makna, maka didalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam puisi tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat puisi ketika berhadapan dengan puisi yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti di dalam diri pembaca dan penikmat puisi juga tidak akan muncul.
Unsur yang menonjol dari puisi yang mementingkan unsur bunyi adalah aspek musikalitasnya. Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja berasal dari perulangan bunyi yang sama bisa juga dari pemanfaatan bunyi dengan cara mempolakannnya secara teratur. Cara-cara semacam ini mampu membangkitkan, mengarahkan asosiasi pembaca atau penikmat puisi untuk bisa sampai pada suasana haru.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi  jengkerik malam hari akan menimbulkan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi  yang berasal dari hewan tersebut secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya.
 Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk suasana yang mempertajam makna. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama. Bunyi berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi musik dan melodi.
C. Fungsi Bunyi dalam Puisi
Bunyi dalam sajak adalah salah satu sarana kepuitisan di samping sarana-sarana lain. Sebagian keindahan sajak terletak pada bunyi.
Adapun fungsi bunyi dalam puisi sebagai berikut:
a. Untuk penyair, bunyi dapat lebih kuat mengungkapkan perasaan yang akan di sampaikan.
b. Untuk pembaca, bunyi dapat menolong mencari kejelasan kesan serta kemerduan puisi.
c. Bunyi mempunyai fungsi tenaga ekspresif, sementara nilai sebuah sajak sebagai karya seni terletak pada kekuatan ekspresinya yang total dan tandas. Ekspresi yang penuh itu adalah ekspresi yang memanfaatkan segala potensi bahasa dengan maksimal. Salah satu potensi itu adalah potensi bunyi.
d. Bunyi berfungsi sebagai sarana musikalitas dalam sajak yang diciptakan dengan sadar oleh penyair. Maksudnya, bunyi yang muncul secara teratur dan berulang itu, sebenarnya, diakibatkan oleh kemampuan penyair secara sadar dalam mencari, menemukan, memilih, dan bahkan menciptakan kata-kata yang mempunyai persamaan atau pertentangan bunyi.
e. Bunyi dapat berfungsi mengarahkan perhatian orang yang membaca atau mendengarnya.
D. Jenis-Jenis Bunyi dalam Sajak
Ada tiga ciri umum puisi, yang pertama adalah pola bunyi atau rima. Rima adalah penataan unsur bunyi yang ada dalam kata. Penataan ini berupa pengulangan bunyi yang sama pada satuan baris atau pada baris-baris berikutnya dalam bait. Contohnya puisi lama seperti pantun dan syair, pola bunyi sifatnya tetap. Contohnya pantun berima ab-ab dan syair  berima aa-aa. Yang kedua adalah irama. Irama terlihat sangat jelas saat puisi dibacakan. Intonasi, penekanan kata, tempo, dan penataan rima memunculkan irama puisi. Yang ketiga adalah pilihan kata atau diksi. Kata-kata pilihan berfungsi untuk menyampaikan makna puisi. Kata-kata juga dipilih berdasarkan efek bunyi yang ditimbulkan jika dibacakan. Kata-kata yang dipilih dapat berupa kata-kata yang objektif maupun emotif.
            Menurut Hasanuddin (2002:56) terdapat berbagai beberapa unsur bunyi yaitu irama, kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora.
            Selanjutnya, menurut Atmazaki (2008:76) terdapat beberapa macam bunyi dalam sajak. Di antaranya rima dan irama, aliterasi dan asonansi, efoni dan kakafoni, anafora, onomatope, dan metrum.
            Sedangkan menurut Waluyo (1995:90) bunyi terbagi menjadi rima dan ritma.
1. Irama
Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana. Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta didalam sajak dengan pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tecipta. Suasana melankolis akan menyebabkan tempo lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak akan menyebabkan tekanan dinamik tinggi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian: rima dan metrum.
a. Metrum
Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu. Metrum bersandar atau bergantung pada suku-suku kata yang bertekanan dan suku-suku kata yang tidak bertekanan. Bahasa-bahasa Barat seperti bahasa Inggris adalah bahasa yang mempunyai tekanan pada bagian-bagian suku kata. Lain halnya dengan  bahasa Indonesia, yang tidak mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Karena metrum disandarkan pada suku kata, sementara sajak Indonesia bersandar pada kata, maka metrum hampir tidak terdapat dalam sajak Indonesia, hanya ada dalam sajak bahasa Barat. Dalam sajak berbahasa Indonesia, yang kedengaran seperti metrum adalah sajak yang terikat kepada suatu pola penulisan sajak, yang fungsi kesatuan bahasa di dalamnya tunduk kepada pola tertentu. Pengucapan sajak tersebut terikat kepada pemenggalan sajak, tidak kepada pemenggalan bahasa. Hal itu terdapat pada pantun dan syair seperti diturunkan oleh Junus (1981:32):
Pulau pandan jauh di tengah,
Di balik pulau si angsa dua. 
Hancur badan dikandung tanah,
Budi baik dikenang juga.
            Dalam pengucapannya, pantun di atas dipenggal setelah kata pandan, pulau, badan dan baik, padahal kesatuan bahasa menghendaki agar pemenggalan dilakukan setelah kata balik. Demikian juga pantun di bawah ini:
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
(Hamzah, 1985:8)
            Pemenggalan secara kebahasaan menghendaki agar perhentian dilakukan setelah kata teriak dan redam dan setelah kata dalam. Akan tetapi, karena ia terikat kepada pola pengucapan pantun, maka pemenggalan dilakukan setelah kata riuh dan gagap.
b. Ritme
Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan halnya menjadi gema, dendang penyair (Semi 1984:109). Ritme sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.
2. Rima
Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas. dengan pengulangan bunyi itu,puisi menjadi merdu jika dibaca. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, intonasi, repetisi bunyi, dan persamaan bunyi. Menurut Kamus Istilah Sastra (Laelasari, 2006:213) Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi yang berfungsi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi. Dengan adanya rima itulah, efek bunyi, makna yang dikehendaki penyair semakin indah dan makna yang ditimbulkannyapun lebih kuat; pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun akhir larik sajak yang berdekatan. Biasanya rima ditandai dengan abjad.
Berdasarkan jenisnya, rima (persajakan) dibedakan menjadi:
a. Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b. Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c. Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak suku kata sebunyi)
d. Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e. Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f. Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
g. Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h. Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan:
a. Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b. Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c. Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d. Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal.
e. Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horizontal
f. Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g. Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h. Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i. Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j. Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k. Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d)
3. Kakafoni dan Efoni
            Kakafoni dan Efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan didalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah atau sebaliknya, suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya. Menurut Pradopo (2007:27) menyatakan bahwa kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut Efoni sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi /k/, /p/, /t/, /s/, ini disebut Kakafoni.
            Sekalipun bunyi-bunyi efoni berarti merdu dan musikal, sedangkan bunyi-bunyi kakafoni kasar dan parau, namun tidak berarti bahwa efoni lebih baik dari pada kakafoni. Pembedaan kedua bunyi itu tidak sekaligus membedakan kualitasnya. Masing-masing jenis itu mempunyai fungsi dan peranan karena keduanya sengaja diciptakan penyair. Kombinasi bunyi-bunyi efoni biasanya digunakan untuk menimbulkan kesan indah, damai, perasaan senang, kasih sayang, mesra, dan lain-lain. Sebaliknya, kombinasi bunyi-bunyi kakafoni digunakan untuk menimbulkan kesan takut, garang, tidak menyenangkan, kacau-balau, dan lain-lain.
            Tidak ada kepastian bunyi huruf apa yang tergolong efoni dan bunyi huruf apa pula yang tergolong kakafoni. Hurf yang sama dapat saja menimbulkan kesan efoni dan pada tempat lain menimbulkan kesan kesan kakafoni. Hal yang menentukan adalah penempatan huruf itu dalam kata dan kemunculannya secara berulang-ulang pada tempat yang berdekatan.
Namun, bunyi huruf /k/, /p/, /t/, /s/ dan /f/ adalah kombinasi bunyi bunyi parau dan tidak merdu walau masih ringan dari pada huruf /b/, /d/, /g/, /z/, /v/, /w/, dan /j/. Bunyi huruf /o/, /a/, dan /u/ lebih berat daripada bunyi huruf /i/ dan /e/. Bunyi-bunyi berat dan parau digunakan untuk suasana gundah, gelisah, dan takut; sementara bunyi ringan dan merdu digunakan untuk suasana riang, gembira dan sejenisnya.
4. Onomatope
            Onomatope salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak. Menurut Kridalaksana (1982:116), onomatope adalah penamaan benda atau perbuatan dengan peiruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda dan perbuatan itu, misalnya : berkokok, deru, desau, cicit, dengung, ngiau, dan lain-lain. Istilah lain untuk onomatope ini adalah tiruan bunyi.
5. Aliterasi dan Asonansi
            Menurut Atmazaki (2008: 79) pengulangan bunyi dalam satu rangkai kata-kata yang berdekatan (dalam satu baris) berupa bunyi konsonan disebut aliterasi, sedangkan persamaan bunyi vokal disebut asonansi. Keduanya baru dapat disebut sebagai aspek bunyi yang penting dalam sajak kalau keduanya muncul secara terpola dan dominan. Misalnya:
            Dikau sambur limbur pada senja
            Dikau alkamar purnama raya
            Asalkan kanda bergurau senda
            Dengan adinda tajuk mahkota
            (Hamzah, 1985:11)
            Potongan “mbur“ pada baris pertama sajak di atas merupakan persamaan bunyi, tetapi yang disebut dengan aliterasi hanyalah pengulangan bunyi /r/. Di samping itu, bunyi /a/ juga dominan. Bahkan hampir pada keempat baris sajak itu terdapat asonansi /a/.
            Aliterasi atau asonansi berfungsi sebagai sarana untuk menimbulkan kesan tertentu dan bahkan merupakan style bagi seorang penyair. Di samping itu, keduanya juga untuk memberikan hubungan ritmis tertentu terhadap kata-kata dalam sebaris terlepas dari hubungan semantik biasa. Tujuan lainnya  adalah untuk menekankan struktur irama sebuah baris dan tekanan tambahan terhadap kata-kata bersangkutan (Luxemburg, 1984: 196). Dengan adanya bunyi-bunyi yang sama, maka sajak terdengar merdu dan menyenangkan.
6. Anafora dan Epifora
            Anafora adalah pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada larik-larik atau kalimat-kalimat yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu (Kridalaksana, 1982: 10). Menurut Shipley yang dikutip Sayuti (1985:35), anafora ialah suatu ulangan pola bunyi di awal baris. Penciptaan anafora bertujuan untuk mempertegas efek retorik dalam sajak, memberikan penekanan bahwa yang diulang itu adalah suatu yang penting dalam konteks sajak
Contoh:
                        SONET X
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandanganku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
siapa Aku
(Sapardi Djoko Damono:1968)
Epifora adalah pengulang sebuah kata atau lebih pada akhir beberapa larik sajak atau pada akhir beberapa frase yang berurutan untuk mencapai kesedapan bunyi atau keefektifan bahasa; pengulangan kata-kata untuk penegasan dalam puisi.

 BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Apabila kita mendengarkan pembacaan puisi, maka yang ditangkap oleh telinga kita pada dasarnya adalah rentetan bunyi, yaitu bunyi suara secara artikulatif. Bunyi-bunyi itu muncul secra berganti-ganti dalam kelompok-kelompok tertentu yang membentuk kata,. Walaupun bunyi membentuk kata, namun tidak setiap bunyi dapat membentuk kata. Bunyi adalah sesuatu yang sangat penting dalam sajak karena bunyi mempunyai efek dan kesan tersendiri.
 
 KEPUSTAKAAN

Atmazaki.2008.Analisis Sajak Teori, Metodologi, dan Aplikasi.Padang;UNP Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.
Hasanudin WS. 2002. Membaca dan Menilai Sajak: Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini