BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra pada dasarnya
merupakan ungkapan penulis terhadap keadaan dan pengalaman hidup yang
menggunakan media bahasa sebagai perantara atau pengungkapan ekspresi. Oleh
sebab itu, karya sastra pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang
melingkupi dalam kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi
adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
Karya sastra yang
perkembangannya sangat pesat yaitu puisi. Bahkan sebelum Indonesia merdeka,
masyarakat Indonesia sebenarnya telah bersastra yaitu dengan mantra, doa-doa
untuk dewa atau nenek moyang. Hal ini
menunjukkan bahwa peran puisi dalam kehidupan merupakan sesuatu yang dominan
dalam menunjukkan jati diri hidup.
Jika melihat hakikat dari puisi yaitu salah satu bentuk karya sastra yang diungkapkan
dengan menggunakan bahasa yang padat, mendobrak dan
penuh dengan makna. Puisi dibentuk oleh
kata-kata yang benar-benar terpilih, terseleksi dan melalui proses yang ketat. Puisi merupakan hasil ungkapan
perasaan penyair yang dituangkan melalui kata-kata atau bahasa yang sengaja
dipilih penyair untuk mewakili perasaannya. Dalam pengertian ini, maka makna
dalam puisi menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan sesuatu
hal dengan arti yang lain atau makna dibalik susunan kata-kata dan
tipografinya.
Sebagai salah satu jenis sastra, puisi
merupakan pernyataan sastra yang paling utama. Segala unsur sastra mengental
dalam puisi. Puisi mengandung karya estetis yang bermakna, mengekspresikan
pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang panca indra dalam susunan
yang berirama. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang
diubah dalam wujud yang paling berkesan.
Melalui puisi
kita dapat merasakan tawa, tangis,
senyum, berfikir, merenung, terharu bahkan emosi dan marah. Sampai saat ini,
puisi selalu mengikat hati dan digemari oleh semua lapisan masyarakat karena
keindahan dan keunikannya. Oleh karena kemajuan masyarakat dari masa kemasa
selalu meningkat, maka corak, sifat dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti
perkembangan konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang
selalu meningkat.
Kondisi pengajaran sastra di sekolah
saat ini sangat memprihatinkan, pengajaran sastra termasuk puisi hanya
dipandang sebagai mata pelajaran yang monoton. Hal ini dikarenakan daya
apresiasi sastra hanya menekankan pada aspek afektif yang berkutat dengan rasa,
nurani, nilai-nilai dan seterusnya. Selain itu, kesulitan dalam memaknai sebuah
karya sastra, juga menjadi masalah yang dominan. Tentunya dibutuhkan sebuah
cara atau teknik yang baru dalam mengajarkan puisi atau sastra. Melalui makalah
ini, kami mencoba untuk membahas tentang hakikat puisi dan beberapa cara atau
teknik dalam pengajaran puisi.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana kedudukan bunyi dalam puisi?
2. Apa sajakah fungsi bunyi dalam puisi?
3. Apa saja jenis bunyi dalam puisi?
C. Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dengan adanya makalah
ini, yaitu sebagai berikut.
1. Mengetahui kedudukan bunyi dalam puisi
2. Mengetahui fungsi bunyi dalam puisi
3. Mengetahui jenis bunyi dalam puisi
D. Manfaat
1. Sumbangan pemikiran dalam peningkatan
pengajaran sastra pada umumnya dan puisi pada khususnya.
2. Bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang
bermaksud mengadakan penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang sastra
pada umumnya dan puisi pada khususnya.
3. Memberi gambaran bahwa analisis bunyi di dalam
sajak puisi merupakan sesuatu yang bermanfaat di mana kita dapat mengetahui
kelebihan dan kekurangan, serta kepuitisan sebuah puisi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Bunyi
Dalam puisi, bunyi
bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga
ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya
lagu, melodi, irama dan sebagainya.
Menurut kamus istilah sastra
(Laelasari,2006:58) Bunyi merupakan nada, laras, suara yang ditangkap atau
diterima oleh alat indera, terutama alat-alat bicara.
B. Kedudukan
Bunyi dalam Sajak
Bunyi adalah sesuatu yang
sangat penting dalam sajak karena bunyi mempunyai efek dan kesan tersendiri. Ia memberikan
penekanan, menyarankan makna, dan suasana tertentu (Atmazaki, 2008:72).
Bunyi dalam sajak memegang
peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur
kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di
dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi- bunyi berperan
menentukan makna, maka didalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan
makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di
dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan yang penting. Bunyi
begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada
unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi
di dalam puisi tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat
diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat
puisi ketika berhadapan dengan puisi yang diciptakannya. Dengan demikian,
sugesti di dalam diri pembaca dan penikmat puisi juga tidak akan muncul.
Unsur yang menonjol dari puisi
yang mementingkan unsur bunyi adalah aspek musikalitasnya. Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja
berasal dari perulangan bunyi yang sama bisa juga dari pemanfaatan bunyi dengan
cara mempolakannnya secara teratur. Cara-cara semacam ini mampu membangkitkan,
mengarahkan asosiasi pembaca atau penikmat puisi untuk bisa sampai pada suasana
haru.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi
mampu memberikan penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu.
Mendengar bunyi jengkerik malam hari akan menimbulkan efek semakin terasa
sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan
di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan mendengar suara
lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang
membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut
secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari
suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya.
Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan
yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk
suasana yang mempertajam makna. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang
efektif dan memancing sugestif.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi
vokal dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu
menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama. Bunyi berirama ini menimbulkan
tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi musik dan melodi.
C. Fungsi Bunyi dalam Puisi
Bunyi dalam sajak adalah salah satu sarana kepuitisan di
samping sarana-sarana lain. Sebagian keindahan sajak terletak pada bunyi.
Adapun fungsi bunyi dalam puisi sebagai berikut:
a. Untuk penyair, bunyi dapat lebih kuat mengungkapkan perasaan yang
akan di sampaikan.
b. Untuk pembaca, bunyi dapat menolong mencari kejelasan kesan serta kemerduan puisi.
b. Untuk pembaca, bunyi dapat menolong mencari kejelasan kesan serta kemerduan puisi.
c. Bunyi mempunyai
fungsi tenaga ekspresif, sementara nilai sebuah sajak sebagai karya seni
terletak pada kekuatan ekspresinya yang total dan tandas. Ekspresi yang penuh
itu adalah ekspresi yang memanfaatkan segala potensi bahasa dengan maksimal.
Salah satu potensi itu adalah potensi bunyi.
d. Bunyi berfungsi
sebagai sarana musikalitas dalam sajak yang diciptakan dengan sadar oleh
penyair. Maksudnya, bunyi yang muncul secara teratur dan berulang itu,
sebenarnya, diakibatkan oleh kemampuan penyair secara sadar dalam mencari,
menemukan, memilih, dan bahkan menciptakan kata-kata yang mempunyai persamaan
atau pertentangan bunyi.
e. Bunyi dapat berfungsi mengarahkan perhatian
orang yang membaca atau mendengarnya.
D. Jenis-Jenis Bunyi dalam Sajak
Ada tiga ciri umum puisi, yang pertama adalah pola bunyi atau rima. Rima adalah penataan unsur bunyi yang ada dalam kata.
Penataan ini berupa pengulangan bunyi yang sama pada satuan baris atau pada
baris-baris berikutnya dalam bait. Contohnya puisi lama seperti pantun dan syair, pola bunyi sifatnya tetap.
Contohnya pantun berima ab-ab dan syair berima aa-aa. Yang kedua adalah irama. Irama terlihat sangat jelas saat puisi dibacakan. Intonasi, penekanan kata, tempo, dan
penataan rima memunculkan
irama puisi. Yang ketiga adalah pilihan
kata atau diksi.
Kata-kata pilihan berfungsi untuk menyampaikan
makna puisi. Kata-kata
juga dipilih berdasarkan efek bunyi yang ditimbulkan jika dibacakan. Kata-kata
yang dipilih dapat berupa kata-kata yang objektif maupun emotif.
Menurut Hasanuddin (2002:56) terdapat berbagai beberapa unsur bunyi yaitu irama, kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora.
Selanjutnya,
menurut Atmazaki (2008:76) terdapat beberapa macam bunyi dalam sajak. Di
antaranya rima dan irama, aliterasi dan asonansi, efoni dan kakafoni, anafora,
onomatope, dan metrum.
Sedangkan
menurut Waluyo
(1995:90) bunyi terbagi
menjadi rima dan ritma.
1. Irama
Irama merupakan bunyi yang
teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan
suasana. Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta didalam sajak dengan
pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tecipta. Suasana melankolis akan menyebabkan tempo
lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak akan menyebabkan tekanan
dinamik tinggi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa irama
terbagi atas dua bagian: rima dan metrum.
a. Metrum
Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola
tertentu. Metrum
bersandar atau bergantung pada suku-suku kata yang bertekanan dan suku-suku
kata yang tidak bertekanan. Bahasa-bahasa Barat seperti bahasa Inggris adalah
bahasa yang mempunyai tekanan pada bagian-bagian suku kata. Lain halnya dengan bahasa Indonesia, yang tidak mempunyai aturan
dalam persoalan tekanan kata. Karena metrum disandarkan pada suku kata,
sementara sajak Indonesia bersandar pada kata, maka metrum hampir tidak
terdapat dalam sajak Indonesia, hanya ada dalam sajak bahasa Barat. Dalam sajak
berbahasa Indonesia, yang kedengaran seperti metrum adalah sajak yang terikat
kepada suatu pola penulisan sajak, yang fungsi kesatuan bahasa di dalamnya
tunduk kepada pola tertentu. Pengucapan sajak tersebut terikat kepada
pemenggalan sajak, tidak kepada pemenggalan bahasa. Hal itu terdapat pada
pantun dan syair seperti diturunkan oleh Junus (1981:32):
Pulau pandan jauh di tengah,
Di balik pulau si angsa dua.
Hancur badan dikandung tanah,
Budi baik dikenang juga.
Dalam
pengucapannya, pantun di atas dipenggal setelah kata pandan, pulau, badan dan
baik, padahal kesatuan bahasa menghendaki agar pemenggalan dilakukan setelah
kata balik. Demikian juga pantun di bawah ini:
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
(Hamzah, 1985:8)
Pemenggalan
secara kebahasaan menghendaki agar perhentian dilakukan setelah kata teriak dan
redam dan setelah kata dalam. Akan tetapi, karena ia terikat kepada pola
pengucapan pantun, maka pemenggalan dilakukan setelah kata riuh dan gagap.
b. Ritme
Ritme adalah irama yang disebabkan
pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur,
tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan halnya menjadi gema,
dendang penyair (Semi 1984:109). Ritme sangat
berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata,
frasa, dan kalimat.
2. Rima
Pengulangan
bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas. dengan pengulangan bunyi
itu,puisi menjadi merdu jika dibaca. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk
intern pola bunyi, intonasi, repetisi bunyi, dan persamaan bunyi. Menurut Kamus
Istilah Sastra (Laelasari, 2006:213) Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi
yang berfungsi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi. Dengan adanya rima
itulah, efek bunyi, makna yang dikehendaki penyair semakin indah dan makna yang
ditimbulkannyapun lebih kuat; pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam
larik sajak maupun akhir larik sajak yang berdekatan. Biasanya rima ditandai
dengan abjad.
Berdasarkan jenisnya, rima (persajakan)
dibedakan menjadi:
a. Rima
sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b. Rima tak sempurna, yaitu persamaan
bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c. Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang
terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak suku kata sebunyi)
d. Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi
yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e. Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi
yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f. Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi
yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang
berlainan.
g. Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi
yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h. Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi
yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan:
a. Rima
awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b. Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang
terdapat di tengah baris pada bait puisi
c.
Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait
puisi.
d. Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang
terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal.
e. Rima datar yaitu persamaan bunyi yang
terdapat pada baris puisi secara horizontal
f. Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi
yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang
mengandung kesejajaran maksud.
g. Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi
yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua
dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h. Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi
yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik
kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i. Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan
bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j. Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan
bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k. Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang
tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d)
3. Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan Efoni adalah pemanfaatan bunyi
sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan didalam sajak dapat
menimbulkan kesan yang cerah atau sebaliknya, suatu kesan keburaman. Kesan ini
tercermin dari keseluruhan sajak. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang
melingkupinya. Menurut Pradopo (2007:27) menyatakan bahwa kombinasi-kombinasi
bunyi yang merdu biasanya disebut Efoni sedangkan kombinasi bunyi yang tidak
merdu, parau, penuh bunyi /k/, /p/, /t/, /s/, ini disebut Kakafoni.
Sekalipun
bunyi-bunyi efoni berarti merdu dan musikal, sedangkan bunyi-bunyi kakafoni
kasar dan parau, namun tidak berarti bahwa efoni lebih baik dari pada kakafoni.
Pembedaan kedua bunyi itu tidak sekaligus membedakan kualitasnya. Masing-masing
jenis itu mempunyai fungsi dan peranan karena keduanya sengaja diciptakan
penyair. Kombinasi bunyi-bunyi efoni biasanya digunakan untuk menimbulkan kesan
indah, damai, perasaan senang, kasih sayang, mesra, dan lain-lain. Sebaliknya,
kombinasi bunyi-bunyi kakafoni digunakan untuk menimbulkan kesan takut, garang,
tidak menyenangkan, kacau-balau, dan lain-lain.
Tidak
ada kepastian bunyi huruf apa yang tergolong efoni dan bunyi huruf apa pula
yang tergolong kakafoni. Hurf yang sama dapat saja menimbulkan kesan efoni dan
pada tempat lain menimbulkan kesan kesan kakafoni. Hal yang menentukan adalah
penempatan huruf itu dalam kata dan kemunculannya secara berulang-ulang pada
tempat yang berdekatan.
Namun, bunyi huruf /k/, /p/, /t/, /s/ dan /f/
adalah kombinasi bunyi bunyi parau dan tidak merdu walau masih ringan dari pada
huruf /b/, /d/, /g/, /z/, /v/, /w/, dan /j/. Bunyi huruf /o/, /a/, dan /u/
lebih berat daripada bunyi huruf /i/ dan /e/. Bunyi-bunyi berat dan parau
digunakan untuk suasana gundah, gelisah, dan takut; sementara bunyi ringan dan
merdu digunakan untuk suasana riang, gembira dan sejenisnya.
4. Onomatope
Onomatope salah satu pemanfaatan unsur
bunyi yang cukup dominan dalam sajak. Menurut Kridalaksana (1982:116),
onomatope adalah penamaan benda atau perbuatan dengan peiruan bunyi yang
diasosiasikan dengan benda dan perbuatan itu, misalnya : berkokok, deru, desau,
cicit, dengung, ngiau, dan lain-lain. Istilah lain untuk onomatope ini adalah tiruan bunyi.
5. Aliterasi dan Asonansi
Menurut
Atmazaki (2008: 79) pengulangan bunyi dalam satu rangkai kata-kata yang
berdekatan (dalam satu baris) berupa bunyi konsonan disebut aliterasi,
sedangkan persamaan bunyi vokal disebut asonansi. Keduanya baru dapat disebut
sebagai aspek bunyi yang penting dalam sajak kalau keduanya muncul secara
terpola dan dominan. Misalnya:
Dikau
sambur limbur pada senja
Dikau
alkamar purnama raya
Asalkan
kanda bergurau senda
Dengan
adinda tajuk mahkota
(Hamzah,
1985:11)
Potongan
“mbur“ pada baris pertama sajak di atas merupakan persamaan bunyi, tetapi yang
disebut dengan aliterasi hanyalah pengulangan bunyi /r/. Di samping itu, bunyi
/a/ juga dominan. Bahkan hampir pada keempat baris sajak itu terdapat asonansi
/a/.
Aliterasi
atau asonansi berfungsi sebagai sarana untuk menimbulkan kesan tertentu dan
bahkan merupakan style bagi seorang penyair. Di samping itu, keduanya juga
untuk memberikan hubungan ritmis tertentu terhadap kata-kata dalam sebaris
terlepas dari hubungan semantik biasa. Tujuan lainnya adalah untuk menekankan struktur irama sebuah
baris dan tekanan tambahan terhadap kata-kata bersangkutan (Luxemburg, 1984:
196). Dengan adanya bunyi-bunyi yang sama, maka sajak terdengar merdu dan
menyenangkan.
6. Anafora dan Epifora
Anafora adalah pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada
larik-larik atau kalimat-kalimat yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu
(Kridalaksana, 1982: 10). Menurut Shipley yang dikutip Sayuti (1985:35),
anafora ialah suatu ulangan pola bunyi di awal baris. Penciptaan anafora
bertujuan untuk mempertegas efek retorik dalam sajak, memberikan penekanan
bahwa yang diulang itu adalah suatu yang penting dalam konteks sajak
Contoh:
SONET X
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandanganku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
siapa Aku
(Sapardi Djoko Damono:1968)
Epifora
adalah pengulang sebuah kata atau lebih pada akhir beberapa larik sajak atau
pada akhir beberapa frase yang berurutan untuk mencapai kesedapan bunyi atau
keefektifan bahasa; pengulangan kata-kata untuk penegasan dalam puisi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Apabila kita mendengarkan pembacaan
puisi, maka yang ditangkap oleh telinga kita pada dasarnya adalah rentetan
bunyi, yaitu bunyi suara secara artikulatif. Bunyi-bunyi itu muncul secra
berganti-ganti dalam kelompok-kelompok tertentu yang membentuk kata,. Walaupun
bunyi membentuk kata, namun tidak setiap bunyi dapat membentuk kata. Bunyi
adalah sesuatu yang sangat penting dalam sajak karena bunyi mempunyai efek dan
kesan tersendiri.
KEPUSTAKAAN
Atmazaki.2008.Analisis Sajak Teori, Metodologi, dan Aplikasi.Padang;UNP Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta: UGM Press.
Hasanudin WS. 2002. Membaca dan Menilai Sajak: Pengantar
Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar