Senin, 24 Oktober 2022

Analisis Fenomenologi Puisi "Malam Lebaran" Karya Sitor Situmorang

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

Karya: Sitor Situmorang

A.    LAPIS BUNYI

Bunyi-bunyi yang terdapat dalam puisi ini bersumber dari rima antara judul puisi dan lariknya. Rima tersebut dapat dilihat pada kata malam dengan bulan dan kata lebaran dengan kuburan. Rima yang terdapat pada puisi ini termasuk kepada jenis rima tidak sempurna (lam pada kata malam dengan lan pada kata bulan) dan rima sempurna (-an pada lebaran dan an pada kata kuburan. Di samping itu, jika melihat dari liriknya. puisi ini berima datar yaitu terdapat kata-kata berima pada baris yang sama, yaitu bunyi an pada kata bulan dan kuburan dalam satu larik yang sama. Dalam puisi ini ada kesamaan bunyi vokal “a” dalam kata malam lebaran, bulan, atas, dan kuburan serta bunyi “-an” dalam kata lebaran, bulan, dan kuburan. Kuatnya bunyi vokal “a” dan konsonan “n” dalam puisi ini memberi efek kesedihan yang terpendam.

B.    LAPIS ARTI

Frasa Malam Lebaran mempunyai makna konotasi malam sebelum hari raya tiba yang akan jatuh pada esok harinya. Dalam kepercayaan agama islam malam lebaran merupakan malam yang istimewa sebab pada malam itu manusia kembali menjadi fitrah dan bersih dari dosa-dosa. Semua kebahagian bertumpah ruah sebab besok adalah hari kemenangan bagi mereka yang menjalankan. Sebagai imbalan atas ketaatan itu Tuhan menghapus semua dosa-dosa mereka seperti bayi yang baru lahir ke dunia. Pada puisi ini frasa malam lebaran digunakan sebagai penanda waktu, yaitu waktu saat malam lebaran. Atau juga bisa digunakan sebagai penanda suasana yaitu suasana gembira yang luar biasa.

Penggunaan kata Bulan dalam puisi ini jelas merupakan simbol, sebab pada malam lebaran biasanya bulan masih belum nampak (bulan baru). Pada saat itu bulan tidak bisa dilihat dengan mata kosong, apalagi di atas kuburan. Penggunaan kata bulan lebih dimaksudkan sebagai bentuk penerang, petunjuk, suatu ilham atau hidayah dari Sang Pencipta untuk pengarang. Pengarang seolah ingin mengambarkan bahwa ia baru saja mendapatkan petunjuk dan penerang secerah sinar bulan. Terkait petunjuk, penerang dan pencerahan yang didapatkan penggarang kemudian dapat kita temukan pada kalimat berikutnya yakni di atas kuburan.

Kuburan kerap kali digunakan untuk mengambarkan tempat yang sepi dan sunyi.  Dalam puisi ini pengarang seakan ingin mengambarkan suasana hatinya yang sepi di tengah ingar bingar malam lebaran. Kuburan juga identik dengan kematian, yaitu proses berpulangnya seorang hamba kepada tuhannya. Penggarang seolah diingatkan kembali tentang kematian yang bisa menimpa siapa saja dan kapan saja, termasuk saat malam lebaran. Hal ini membuat malam lebaran yang seharusnya ramai mendadak menjadi sepi dan sunyi bagi pengarang.

            Dengan penggunaan frasa malam lebaran dan rembulan di atas kuburan secara tidak langsung tergambar sebuah pertentangan. Malam lebaran yang didentik dengan kegembiraan dan suka cita sangat berlawanan dengan rembulan di atas kuburan yang menyiratkan kesepian dan kesunyian.

C.    LAPIS DUNIA TERSURAT

Meski hanya terdiri dari satu larik, puisi ini menyuratkan sebuah dunia yang bertentangan. Kegembiraan dan keceriaan dari suasana malam lebaran berbanding terbalik dengan suasana sunyi, sepi, dan kehilangan dari kuburan. Pembaca akan langsung membayangkan malam lebaran yang penuh kembang api dan gelak tawa serta sebuah kuburan yang disinari oleh cahaya rembulan di tengah malam yang sepi dan sunyi.

D.    LAPIS DUNIA TERSIRAT

Makna dari puisi ini lebih mengarah pada kehidupan sosial bermasyarakat sesuai tema yang ingin disampaikan oleh penulis yaitu rasa kemanusiaan.

Kata “Bulan” yang dimaksud dalam puisi di atas adalah bulan di malam lebaran. Lebaran sebagaimana dipahami banyak orang, merupakan saat penuh kebahagiaan setelah sebulan lamanya berhasil menjalankan ibadah puasa hampir semua orang tenggelam dalam hiruk-pikuk kemeriahan menyambut saat-saat lebaran itu, semua orang dari semua kalangan tak melewatkan momentum berkah dan maghfirah.

Namun, ada yang lupa bahwa di balik kemeriahan dan kebahagiaan di malam lebaran itu ada juga ketragisan hidup, tidak sedikit saudara-saudari kita yang masih akan harus “berpuasa” dan mengalami kelaparan pada saat hari lebaran itu, dan ada juga orang yang tidak bisa berlebaran dengan anggota keluarganya. Situasi dan keadaan ini sangat jauh dari nilai lebaran yang penuh dengan kebahagiaan mereka hanya bisa mendengar suara takbir yang terdengar pilu. Itu penulis maknai dari frasa “ di atas kuburan”. Jadi jika begitu kejadiannya memang benar yang dikatakan Sitor dalam puisinya yaitu Bulan di atas kuburan, yakni kebahagiaan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain.

 


Minggu, 23 Oktober 2022

KAJIAN SURAH AL-ANBIYA AYAT 47: MENYIAPKAN PERTANGGUNGJAWABAN AMAL PERBUATAN DI HADAPAN ALLAH SWT

Resume Kajian Subuh
Oleh: Riska Mulyani (2208149)
Kelas: Pendidikan Bahasa Indonesia S2-A

 

KAJIAN SURAH AL-ANBIYA AYAT 47:
MENYIAPKAN PERTANGGUNGJAWABAN AMAL PERBUATAN DI HADAPAN ALLAH SWT
Pembicara: Prof. Dr. Sofyan Sauri, M.Pd.
Hari/Tanggal:Ahad,
23 Oktober 2022/27 Rabiul Awal 1444 H
Pukul: 05.00 s.d. 06.00 WIB

A. Surah Al-Anbiya Ayat 47 dan Terjemahan

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا ۗ  وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ

Artinya:Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.” (Q.S. Al-Anbiya: 47)

B. Interpretasi Para Musafir

1. Tafsir Tahlili dengan tegas Allah Swt. menyatakan pada ayat ini, dalam menilai perbuatan hamba-Nya kelak di hari kiamat, Allah Swt. akan menegakkan neraca keadilan yang benar-benar adil sehingga tidak seorang pun akan dirugikan dalam penilaian itu. Maksudnya penilaian itu akan dilakukan setepat-tepatnya, sehingga tidak akan ada seorang hamba yang amal kebaikannya dikurangi sedikit pun, sehingga menyebabkan pahalanya dikurangi dari yang semestinya dia terima. Demikian juga dalam Tafsir Tahlili dikatakan bahwa memberikan pahala yang berlipat ganda dari jumlah kebaikannya atau menimpakan azab yang lebih ringan dari kejahatannya adalah terserah kepada kehendak Allah Swt., dan Allah  SWT adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

2. Tafsir Munir bahwa yang dimaksud dengan  kalimat wanado'ulmawaziina adalah Allah memperlihatkan perhitungan yang akurat serta balasan sesuai dengan amal perbuatan dengan adil dan objektif, tanpa ada yang dizalimi sedikit pun. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan timbangan adalah keadilan di antara semua makhluk, hal itu diilustrasikan dengan membuat neraca untuk menimbang hal-hal yang ditimbang.

 

3. Hasan Al-Basri menandaskan: itu adalah neraca yang memiliki dua daun timbangan dan batang. Barangsiapa yang amalan kebaikannya lebih berat dari amalan jeleknya, ia termasuk orang yang selamat. Barangsiapa yang amalan jeleknya lebih berat dari amal baiknya, ia termasuk orang yang celaka.

C. Nilai-Nilai Pendidikan

1.     Mendidik hambanya agar senantiasa mawas diri dalam segala perbuatan

2.     Senantiasa mengajarkan melaksanakan amal saleh sebagai bekal kehidupan

3.     Mendidik hambanya untuk selalu bermuhasabah dan menghisab diri sebelum dihisab di akhirat kelak

4.     Mengajarkan agar senantiasa bertaubat atas apa yang telah diperbuat

D. Semua Perbuatan akan Dimintai Pertanggungjawaban

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Qiyamah: 36. Selain itu, dalam Q.S. Luqman: 16 Allah menegaskan bahwa setiap perbuatan pasti akan ada balasannya meski hanya sebesar biji sawi. Manusia akan melewati neracanya Allah dan semua amalnya akan dimintai pertanggungjawaban. Mereka akan ditimbang  sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Melalui Q.S. Al-Haqqah: 18 Allah Swt. Mengingatkan bahwa semua perbuatan hambanya akan terbuka tanpa ada sesuatu pun yang dapat disembunyikan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dan Imam ath-Thabrani Nabi Muhammad saw. bersabda Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama sampai yang terakhir, pada waktu hari tertentu dalam keadaan berdiri selama empat puluh tahun. Pandangan-pandangan mereka menatap (ke langit), menanti pengadilan Allah.” Melalui hadist ini dapat kita pahami berapa lama semua manuasia menanti Pengadilan Allah.

Dalam HR. Tirmidzi Nabi Muhammad saw. bersabda “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”.

Dalam penjelasan para ulama ada beberapa pendapat yang ditimbang dalam mawazin (timbangan) pada hari kiamat, yaitu 1) amal itu sendiri, 2) catatan amal, 3) pahala dari amalan, dan 4) pelaku amal itu sendiri.

 Amalan yang dapat memperberat timbangan menurut H.R. Bukhari 7/168 dan Muslim 4/2072 adalah bacaan سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيم yang berarti Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya, Mahasuci Allah Yang Maha Agung.

Menurut Q.S. Al-Kahf: 49 semua perbuatan manusia tercatat dengan baik dalam Catatan Amal. Tidak ada yang tertinggal sedikitpun dalam catatan amal tersebut. Semua tertulis dengan detail setiap apa-apa yang telah dikerjakan oleh manusia.

Selanjutnya, menurut Q.S. Yasin: 65 semua anggota tubuh manusia akan berbicara kecuali mulit. Pada anggota tubuh tersebut akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

 

E. Mempersiapkan Bekal Pertanggungjawaban

Melalui Q.S. Al-Baqarah: 197 Allah Swt. memperingatkan umat manusia untuk membawa bekal, dan sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Selain itu, melalui  Q.S. Al-A’raf: 26 Allah Swt. berfirman bahwa pakaian terbaik dan lebih baik adalah takwa. Menurut Q.S. Al- Baqarah: 3 tanda orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah dianugerahkan kepada mereka (dalam hal ini bersedekah).

Berikut ini adalah hal-hal yang dilakukan untuk mempersiapkan bekal untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

1.     Mengusahakan amal saleh dan ibadah terbaik (Q.S. An-Najm: 39). 

2.   Janganlah mengikuti sesuatu yang tidak kita ketahui  (Q.S. Al-Isra’: 36).

3.     Menginfakkan harta di jalan Allah dan berbuat baik (Q.S. Al-Baqarah: 195).

4.     Bertakwa dan memperhatikan perbuatan yang akan dilakukan (Q.S. Al-Hasyr: 18).

5.     Memohon pertolongan dengan sabar dan salat (Q.S. Al-Baqarah: 45-46).

6.     Bertakwa dan tidak menyombongkan diri (Q.S. Al-Qashash: 83).

7.     Menyiapkan amalan yang terus mengalir pahalanya (HR. Muslim no. 1631).

Kamis, 13 Oktober 2022

Analisis Nilai Budaya Dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis

  



ABSTRAK
Cerpen ”Robohnya Surau Kami” merupakan cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim (hanya beribadah melulu) justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Dalam cerpen ini pengarang ‘meminjam kacamata’ Tuhan untuk menyampaikan idenya, bahwa Tuhan telah menciptakan manusia bukan hanya untuk menyembah-Nya saja karena seperti yang Tuhan katakan Dia tidak mabuk pujian dan sembahan dari manusia. Dia memang seharusnya Yang Maha Agung (tidak mengurangi kemahaagungan-Nya) walaupun tak ada yang menyembahnya, begitupun tidak akan menambah keagungan-Nya walaupun manusia seluruhnya beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, manusialah yang seharusnya sensitif pada keadaan sekitarnya dan berusaha untuk menjadi lebih efektif dalam merubah keadaan dirinya.

A.   PENDAHULUAN
 Cerpen atau cerita pendek adalah karya fiksi berbentuk prosa yang isinya merupakan kisahan pendek dan mengandung kesan tunggal. Masalah kehidupan yang disuguhkan pengarang dalam cerpennya tentu saja merupakan refleksi realitas, yaitu penafsiran mengenai kehidupan manusia atau merupakan suatu bentuk penyaluran ide pengarang untuk menyindir suatu realita yang ada dalam masyarakat. Melalui cerpen yang dikarangnya, pengarang juga dapat mengembangkan ide-ide baru yang terlintas dalam pikiran pengarang sehingga dapat diperhatikan oleh pembaca dan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan.
      Dalam penulisannya cerpen tentu berbeda dengan karangan ilmiah. Menulis cerpen tidak hanya menuangkan gagasan atau merangkai cerita saja, tetapi juga kalimat-kalimat yang digunakan harus memiliki jiwa yang membuat pembaca seolah-olah mengalami sendiri peristiwa atau konflik yang ada dalam cerita.
      Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.
      
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan makna karya sastra melalui pengungkapan singkatan isi cerita, tema, amanat, dan analisis nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita. Pengungkapan semua itu saling terkait untuk menjelaskan makna karya sastra. Di dalam tema dan amanat tercermin tujuan penulisan cerita sedangkan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra digunakan sebagai alat pendukung tema dan amanat cerita. Sesuai dengan tujuan tulisan ini, metode yang digunakan dalam analisis adalah metode deskriptif. Tema, amanat, dan nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra itu dipaparkan sebagaimana adanya dalam teks cerita dan didukung dengan kutipan teks cerita untuk meyakinkan kebenaran pernyataan nilai budaya yang dimaksudkan.
B.   PEMBAHASAN
1.      Ringkasan Cerita Robohnya Surau Kami
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak  ingin bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Ajo Sidi menceritakan kisah Haji Saleh seorang yang taat beribadah dan di akhiratnya dimasukkan ke nraka. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang cukup menegangkan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
2.      Inti  Cerita Robohnya Surau Kami
Seorang kakek penjaga surau (yang disebut garin) yang seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Inilah yang menjadi ejekan Ajo Sidi kepada kakek tersebut, sehingga sang kakek merasa sangat terhina dan akhirnya bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri. Ajo Sidi membual sebuah cerita bahwa nanti di akhirat, Haji Soleh (tokoh rekaan Ajo Sidi) dan orang-orang alim yang taat beribadah akan diadili Tuhan dan akhirnya masuk neraka. Orang-orang yang taat beribadah tersebut melakukan protes kepada Tuhan, namun tetap saja diseret ke neraka. Kepada Tuhan  mereka bertanya apa kesalahan mereka sehingga dimasukkan ke neraka. Jawaban Tuhan sungguh mengejutkan, karena mereka dianggap telah egois mementingkan diri sendiri dalam beribadah tanpa memikirkan kehidupan dunia sedikitpun.
3.      Tema Dan Amanat Cerpen Robohnya Surau Kami
            Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin Kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
               Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya.
              Amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “jangan hidup hanya untuk beribadah tetapi juga harus bermasyarakat.” Hal ini terdapat pada kutipan::
“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).
Pada kutipan di atas di jelaskan tentang sikap yang malas dan fanatik, akan tetapi sikap tersebut sangat tepat digunakan untuk memperjelas dari sang tokoh terhadap amanat yang akan disampaikan oleh pengarang
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.” (hlm 16)
              Seperti kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hidup tidak hanya untuk ibadah, tetapi harus seimbang antara beragama dan bermasyarakat. Dalam penyampaiannya pengarang menyampaikan amanat dengan memberikan watak kakek yang cukup jelas dipahami maksud amanat tersebut.

4.      NILAI BUDAYA DALAM CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI
Dalam cerpen Robohnya Surau Kami  ini ditemukan nilai-nilai budaya manusia yang berhubungan Tuhan, alam, masyarakat, dan diri sendiri. Di bawah ini di bahas nilai-nilai budaya yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami.
a.      Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan
      Dalam cerpen Robohnya Surau Kami nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang menonjol adalah ketaatan beribah kepada Tuhan. Tokoh Kakek Garin diceritakan sebagai seorang yang sangat taat beribah kepada Tuhannya sehingga ia tak menghiraukan lagi kehidupannya di akhirat. Kutipan berikut adalah buktinya :
“...  Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

b.      Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Alam
      Manusia memanfaatkan alam sebagai salah satu sumber kehidupan. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami ini alam dimanfaatkan manusia untuk beternak ikan. Tokoh Kakek Garim selain menjadi penjaga surau, ia juga menjadi penjaga kolam di samping surau itu. Keadaan yang demikian dapat diketahui dari kutipan berikut.
“...Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu.”

c.       Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat
      Dalam cerpen Robohnya Surau Kami ini terdapat nilai-nilai yang menunjukkan hubungan manusia dengan masyarakat seperti, tolong-menolong. Hal ini tergambar pada sikap tokoh Kakek yang mau menolong orang-orang di seekitarnya tanpa pamrih. Hal itu terbukti dari kutipan berikut ini.
“... Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.”
      Selain itu sikap saling tolong-mrnolong juga tergambar pada saat Kakek meninggal, orang-orang di lingkungan Kakek tinggal beramai-ramai mengurus jenazah Kakek. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“... Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
d.      Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
      Manusia adalah makhluk individual yang sekaligus sebagai makhluk social. Manusia sebagai makhluk pribadi mempunyai hal untuk menetukan pandangan hidup, sikap, dan prilakunya yang membedakannya dengan pribadi lainnya sesuai dengan cita-citanya, kebutuhannya, dan emosinya. Dalam kehidupan makhluk pribadi dihadapkan pada pilihan untuk mementingkan diri atau memilih mementing keperluan orang lain. Pilihan yang diberikan individu tersebut sangat tergantung pada pengendalian diri. Di dalam cerpen Robohnya Surau Kami ini terdapat nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan diri sendiri. Di antara nilai itu adalah
1)        nilai kepasrahanan dan kemalasan yang terlihat dari tokoh Kakek yang pasrah dalam menerima kehidupannya, dan tidak mau berusaha untuk mencari pekerjaan yang layak untuk memperbaiki nasibnya.
2)         nilai ketaatan dan fanatik yang terlihat dari sikap Kakek yang taat menunaikan ibadah kepada Tuhan dan tidak mau tau lagi urusan dunia, 
3)         nilai keterampilan hal ini terlihat dari kemahiran Kakek dalam mengasah pisau dan terlihat dari keterampilan Ajo Sidi dalam mengarang cerita atau membual,
4)          nilai perenungan terlihat dari sikap Kakek yang sedang merenungkan bualan Ajo Sidi tentang Haji Saleh.

C.   KESIMPULAN
      Setelah dilakukan analisis terhadap nilai-nilai budaya yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami ternyata cerita ini mengandung nilai budaya berkaitan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat, serta dengan diri sendiri. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang menonjol adalah nilai budaya berserah diri dan berdoa kepada Allah. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam yang menonjol adalah manusia mengelola alam dan selaras dengan alam untuk dimanfaatkan dalam meraih harapan dan menghidupi dirinya. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yang menonjol adalah sikap tolong menolong. Nilai budaya dalam hubungan manusia denga diri sendiri yang menonjol adalah kepasrahan, ketaatan,  terampil, dan sikap merenungi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cerpen Robohnya Surau Kami sarat dengan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman bagi pembacanya. Bedasarkan kesimpulan di atas sudah sewajarnya lah cerpen ini dibaca oleh generasi sekarang untuk dipahami nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya. Menggunakan gaya bahasa sederhana namun lantang menuju isi sebenarnya membuat cerpennya A.A Navis ini layak dihargai sastra terbaik yang berkala.

PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PENDEKATAN POSITIVISTIK

 

 

PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
PENDEKATAN POSITIVISTIK

 

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.

 



 

Oleh:

Riska Mulyani (2208149)

Nelita Indah Islami (2208153)

 

 

 

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

TAHUN AJARAN 2022/2023

 

 

ABSTRAK

Filsafat merupakan usaha seseorang untuk mengetahui segala sesuatu yang berawal dari rasa ingin tahu dan sikap ragu. Rasa ingin tahu dan sikap ragu inilah yang kemudian memunculkan teori-teori ilmiah yang pada akhirnya akan berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia, sampailah pada pemikiran bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah alam yang realistis. Pengetahuan harus bersumber dari hal-hal faktual yang bersifat empiris. Aliran ini disebut dengan aliran filsafat positivisme. Positivisme merupakan aliran pemikiran yang menekankan validitas data secara empirik-verifikatif, sehingga pengetahuan inderawi dijadikan sebagai satu-satunya norma bagi kegiatan ilmiah. Meski banyak menuai kritik, tidak dapat dipungkiri bahwa aliran positivisme memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu-ilmu alam. Filsafat positivisme selain memaparkan tiga tahap perkembangan pemikiran manusia yaitu teologis, metafisis, dan positif, di sisi lain membagi ilmu pengetahuan menjadi enam golongan berdasarkan taraf positivisme dan tahap kompleksitas dari masing-masing ilmu pengetahuan. Aliran ini juga mendorong para filsuf untuk membedakan pengetahuan yang bersifat ilmiah dan non-ilmiah. Melalui aliran ini jugalah muncul paham falsifikasionisme yang menentang keras teori verifikasi aliran positivisme.

Kata Kunci: positivisme, verifikasi, falsifikasi

PENDAHULUAN

Filsafat merupakan sebuah aktivitas berfikir, yang melibatkan pemikiran kritis dan
komprehensif. Filsafat juga termasuk menghilangkan ketidaktahuan, memperkaya pemahaman,
memperluas wawasan, serta mengeksplorasi nilai-nilai dengan memperbaiki keyakinan dengan
penyelidikan yang rasional. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran umat manusia dari
pola fikir yang selalu tergantung pada dewa dan keyakinan pada hal-hal mitos lainnya diubah
pada pola fikir yang tergantung pada rasio.

Filsafat memegang peranan penting dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan manusia. Salah satunya dalam hal keilmuan. Problematika dalam keilmuan yang acap kali dihadapi adalah dalam menentukan garis demarkasi antara kebenaran. Hal ini telah memunculkan banyak teori dan konsep yang membahas mengenai batas-batas kebenaran ilmu pengetahuan. Salah satunya ialah aliran positivisme. Aliran ini berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah alam dan menyingkirkan hal yang berkenaan dengan metafisik. Sehingga, data empiris sangat diutamakan oleh aliran ini dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat dari metodologi berpikir positivisme ini memberi kontribusi yang sangat besar terhadap proses pendidikan. Pemikiran August Comte yang sangat menekan-kan pada aspek empiris ternyata dipakai dalam perjalanan pendidikan sampai sekarang.

A. ALIRAN FILSAFAT POSITIVISME

Filsafat positivisme dikenal sebagai bentuk baru dari ilmu pengetahuan yang meyakini bahwa realitas ada (exist) sejalan dengan hukum alam (natural laws). Filsafat positivisme dipelopori oleh sosiolog Auguste Comte pada awal abad ke-19. Dalam ilmu filsafat positivisme, filsafat digunakan sebagai sistem umum mengenai konsep pada manusia, sedangkan positif diyakini Comte sebagai teori untuk menyusun fakat-fakta yang diamati. Comte juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat melampau fakta sehingga dalam positivisme menolak adanya metafisika akan tetapi menerima adanya “das Ding an Sich” (objek yang tidak bisa diselediki oleh pengetahuan ilmiah) (Hardiman, 2004:197).

Sebagai bentuk aliran yang menolak adanya metafisik, aliran filsafat ini menolak segala sesuatu yang tidak faktual untuk dijadikan sebagai objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Fakta-fakta harus diperoleh menggunakan metode keilmuan, khusunya metode ilmu alam, data harus diukur secara kuantitatif, dan ilmu harus bersifat positivistik, termasuk ilmu sosial seperti sosiologi. Menurut Comte ilmu sosial bersifat positivistik, sehingga objek dalam ilmu sosial seperti manusia, masyarakat, dan kebudayaan dapat dideskripsikan secara matematis menggunakan angka-angka statistik.

Positivisme merupakan pembeharuan dalam sejarah pemikiran barat modern melalui rasionalisme dan empirisme. Dalam positivisme kedudukan pengetahuan diganti dengan metodologi, dan ilmu-ilmu pengetahuan yang terus berkembang secara terus menerus adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Sehingga positivism menempatkan metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi kajian epistemology, yaitu pengetahuan mengenai kenyaataan (Budi Hardiman, 2003: 54).

Secara jelas, dalam bukunya yang berjudul Discour sur lèsprit positif (1984), yang telah dikutip oleh Koento Wibisono, Comte menjelaskan mengenai pengertian “positif” adalah sebagai berikut: a) “Positif” merupakan lawan dari “khayal” artinya positif bersifat nyata, kemudian lebih lanjut menjelaskan bahwa objek filsafat positivisme adalah hal-hal yang dapat dijangkau akal. b) “Positif” lawan dari sesuatu yang “tidak bermanfaat”. Artinya positif dapat diartikan bahwa tujuan dari adanya pemikiran filsafat positivism tidak hanya didasari pada pemenuhan rasa keingintahuan manusia, akan tetapi segala pemikiran harus berlandaskan pada kemajuan ilmu pengetahuan umat manusia. c) “Positif” sebagai lawan dari “keraguan”, artinya positif adalah keyakinan, sehingga dapat diartikan sebagai hal-hal yang sudah pasti. d) “Positif” sebagai lawan “kabur”, maka positif disifati sebagai sesuatu yang jelas atau tepat. Artinya sifat filsafat ini harus dapat memberikan sesuatu yang jelas dan tepat atas apa yang dibutuhkan manusia. e) “Positif” sebagai lawan “negatif”, sehingga pemikiran ini mengarah pada penataan pola berpikir. (Wibisono, 1983:37).

Filsafat positivisme hadir dalam sejarah perkembangan cara berfikir manusia. Aliran ini berpendapat pada salah satu bidang ilmu yang popular hingga kini, yaitu matematika. Bahwasannya matematika bukanlah ilmu, melainkan alat berfikir logik. Comte juga membagi sejarah perkembangan berifikir manusia menjadi beberapa jenjang, yaitu: teologik, metaphisik, dan positif. Oleh sebab itu, baginya ketika seseroang telah mencapai cara berpikir positivisme maka ia telah berada di tahap cara berfikir modern dalam mencapai ilmu pengetahuan.

B. TEORI PERKEMBANGAN AUGUSTE COMTE DAN HIERARKI ILMU

1. Teori Perkembangan

Perkembangan merupakan proses berlangsungnya sejarah manusia dalam suatu gerak menuju kearah yang tingkatnya lebih maju (Nugroho, 2016:170). Hal itu juga terjadi pada akal budi manusia yang berevolusi atau berkembang dari tahap terendah menuju tahap modern. Proses perkembangan itulah yang diyakini Comte terjadi secara spontan dan otomatis, tak dapat dihindari dan berlaku universal (Veerger, 1985:20).

Perkembangan akal budi akan terjadi pada setiap manusia, hal itu dikarenakan setiap manusia memiliki struktur akal budi dan penginderaan yang sama, sehingga dapat menghasilkan persepsi yang sama pula. Persepsi yang sama itulah yang kemudian membentuk hukum universal pada semua tempat dan waktu. Hal itu sejalan dengan pernyataan Comte (Lubis, 2014:143) menganggap jika penginderaan dan akal budi yang sama di mana saja dan dikuasai oleh hukum universal (tahap-tahap) sama pula.

Selanjutnya Comte membagi proses perkembangan pada akal budi manusia ke dalam tiga tahap. Ketiga tahap ini  tejadi pada seluruh umat manusia. Berikut tahapan perkembangan pemikiran pada manusia.

a. Tahap Teologi

Tahap teologi, manusia belum memiliki akal kemampuan akal budi baik untuk menjelaskan objek yang ada pada dirinya maupun objek di luar dirinya.Tahap teologi, manusia memercayai kekuatan supranatarual, manusia menganggap bahwa yang terjadi di muka bumi ini sejalan dengan adanya kekuatan supranatural itu.Segala yang mengatur dirinya dan objek di luar dirinya adalah kekuatan yang mereka percayai.Kepercayaan teologi menurut Comte kemudian dibagi lagi menjadi tiga yaitu fetisisme/animisme yang memercayai kekuatan supranatural itu datang dari makhluk halus atau roh yang tentunya didasari oleh kepercayaannya sebelum manusia mengenal agama.

Menurut keyakinan ini, segala sesuatu di bumi yang memiliki fisik seperti gunung, pohon, sungai memiliki roh/jiwa sehingga ia memercayai bahwa segala bentuk fisik itu bertindak dan memiliki kekuatan kepada manusia. Oleh sebab itu, manusia memercayai kekuatan roh yang spade akhirnnya sebagai bentuk kecil pada sesuatu yang besar (roh), manusia melakukan sesembahan dan memberikan penghormatan dalam bentuk sesajen kepada roh-roh agar terus dapat dilindungi di muka bumi ini (Bakker, 1970:28).

Politeisme, pada kepercayaan ini manusia telah mampu mengelompokkan roh/jiwa dari benda-benda fisik sesuai dengan kesamaan.Sehingga pada keyakinan ini manusia memercayai keyakinan lebih dari satu, dan juga menyembah para dewa sesuai dengan bidang hasil abstraksinya. Monoteisme, merupakan perkembangan lebih lanjut dari politeisme yang beranggapan bahwa hanya ada satu tuhan yang bertahta di muka bumi. Segala yang terjadi di muka bumi adalah kekuatan mutlak sang Maha Pencipta yang kemudian mereka percayai sebagai Tuhan.

b. Tahap Metafisik

Pada tahap ini, kecenderungan manusia untuk berpikir secara animistis telah ditinggalkan.Sehingga berakhirnya masa monoteisme merupakan awal dari tahap metafisik.Manusia mulai dapat menggunakan akal budi untuk dapat menjawab pertanyaan mengenai gejala-gejala alam. Manusia pada tahap ini telah berhasil membuat konsep abstrak dari kejadian konkrit seperti “hukum alam”, “kodrat manusia”, “keharusan mutlak” yang kemudian dianggap sebagai penyebab. Penyebab terhadap gejala dikembalikan pada penyebab tadi (Veerger, 1985, hlm. 21).Pada tahap ini kekuatan para dewa diganti oleh entitas metafisik berupa (substansi esensi, roh, dan ide).Masa ini juga disebut sebagai masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa sehingga ketidakpercayaan seseorang terhadap kodrat mengharuskan menggunakan akal budi sebagai sumber untuk mencari kebenaran.

c. Tahap Positif

Pada tahap ini kemampuan akal budi telah menyentuh tahap paling tinggi.Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi dapat dijelaskan sesuai dengan akal budi.Tahap ini tercapao pada semua problema dapat dijawab secara permanen sebagai sesuatu yang berguna dan ilmu positif diterima sebagai gudang pengetahuan dari manusia itu (Zaprulkhan, 2018, hlm. 114).Kebenaran dalam menjelaskan dalam teori ini harus dibuktikan secara empiris.Pada tahap ini juga kekuatan agama telah diambil oleh ilmu pengetahuan secara empiris.

Comte berusaha mewujudkan kehidupan masyarakat bisa diatur oleh akal budi berdasarkan prikemanusiaan.Pada tahap ini juga memberikan sebuah teori bahwa pemikiran ilmiah harus melalui tahap observasi sebagai suatu yang sangat penting karena dalam tahap validasi tidak boleh sembarangan mengambil hipotesisnya.Tahap ini juga ditandai sebagai zaman rasionalitas, zaman modern sebagai manifestasi dari ilmu pengetahuan yang terus berkembang.

2. Hierarki Ilmu Menurut August Comte

Perkembangan pemikiran manusia menuju ke puncak kemajuan ilmu pengetahuan menurut Comte adalah untuk mencapai kekuasaan, selain itu tujuan ilmu pengetahuan juga harus dapat memberikan kebermanfaatan bagi manusia.Dalam mengukur kemajuan ilmu pengetahuan Comte mengklasifikasikan beberapa cabang sejalan dengan gejala-gejala pengetahuan yang hadir terlebih dahulu.

Berikut ini klasifikasi ilmu pengetahuan menurut August Comte. Pertama ilmu matematika atau sains karena dapat diterapkan untuk semua hal dan bersifat universal. Kedua astronomi yang didasari pada matematika terapan pada benda fisik di angkasa. Ketiga fisika yang berkaitan dengan unsur-unsur yang ditemukan di bumi dan dunia fisik yang lain. Keempat kimia yang lingkupnya tekah dibatasi akan tetapi dapat diterapkan di area yang sama dengan ilmu fisika. Kelima biologi yang menyelidiki dengan makhluk hidup. Keenam sosiologi, dikembangkan untuk menyelidiki perilaku manusia sebagai makhluk sosial.

a. Ilmu Matematika

Menurut pandangan filsafat positivisme terhadap ilmu pengetahuan bertujuan untuk menyelesaikan masalah sehingga ilmu pengetahuan bersifat pragmatik. Comte mengklasifikasikan ilmu matematika di urutan pertama karena ia meyakini bahwa ilmu pasti dapat menujukkan kuantitas gejala apapun, tentunya dengan metode yang benar. Hal inilah yang kemudian menjadikan ilmu matematika sebagai dasar ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak, tetap, dan pasti.

b. Ilmu Astronomi

Setiap ilmu tentunya saling berkaitan satu dengan yang lainnya, ilmu astronomi menggunakan dasar-dasar ilmu matemtika dalam menyusun benda-benda langit.Dapat dijelaskan pula bahwa ilmu perbintangan dapat dilakukan dengan pengamatan langsung sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bersifat nyata.

c. Ilmu Fisika

Ilmu fisika pun kaitan erat dengan kedua ilmu sebelumnya yaitu dengan ilmu matematika dan ilmu astronomi. Pengetahuan mengenai benda-benda langit merupakan dasar untuk memahami ilmu fisika, karena dalam ilmu fisika mempelajari gejala yang komplek yang tidak akan dapat dipahami kecuali setelah mempelajari ilmu mengenai astronomi. Ilmu fisik juga mempelajari mengenai eksperiman, berat benda, massa jenis yang kesemuannya memerlukan bekal ilmu matematika sehingga ilmu fisika tidak dapat terlepas dari keduanya.

d. Ilmu Kimia

Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari ilmu fisika tidak hanya melalui pengamatan dan percobaan namun juga dengan perbandingan sehingga gejala yang digunakan untuk meneliti ilmu kimia lebih komplek dari ilmu matemtika.Untuk itu harus keterikatan dengan ilmu biologi bahkan juga dengan sosiologi.

e. Ilmu Biologi

Mengenai ilmu ini, Comte berpendapat bahwa dalam perkembangannya masih belum sampai pada tahap ilmu positif karena pada penggolongan ilmu biologi telah berhadapan dengan unsur-unsur yang lebih kompleks disertai dengan adanta perubahan yang sedemikian rupa.

f. Ilmu Sosiologi

Dalam klasifikasinya, Comte mengklasifikasikan ilmu sosiologi pada kategori terakhir.Tentunya hal itu disebabkan ilmu ini berhadapan dengangejala yang paling kompleks dan kongkret yaitu hubungan antara manusia dan kelompok. Ilmu ini timbul karena adanya hubungan individu satu dengan individu lain.

Penggolongan ilmu pengetahuan yang telah dipaparkan Comte didasari oleh gejala yang bersifat sederhana dan umum serta secara bertingkat gejala menjadi kompleks dan khusus. Tentunya semakin kompleks dan khusus gejala tersebut semakin bermacam pada batasan dan panduan yang beragam (Koento, 1983, hlm. 25-32).

C. DEMARKASI PENGETAHUAN ILMIAH DAN NON-ILMIAH

Salah satu upaya untuk mencari batasan pengetahuan yang benar, dalam tradisi pemikiran di Barat bukan saja telah melahirkan berbagai asumsi dasar serta paradigma beragam, tetapi
juga telah melahirkan berbagai metodologi yang diyakini dapat
memberi jaminan bagi kebenaran pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bacon, pengetahuan yang benar atau ilmiah akan
diperoleh melalui penerapan metode induksi berdasarkan
eksperimen dan observasi (Muslih, 2005 : 90).

Bagi kaum positivisme, kebenaran suatu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; observable (teramati), repeatable (terulang), measurable (terukur), testable (teruji), dan predictable (terramalkan) (Muslih, 2005 : 79). Apa yang dilakukan oleh positivisme ini tidak lain untuk melanjutkan proses induksi yang digagas Bacon, serta para eksponen empirisme. Proses penerapan metode induksi inilah yang terlihat paling dominan dalam pengembangan ilmu lebih lanjut.

Di antara pandangan tentang kesahihan pengetahuan seperti di atas, pandangan kaum positivismelah yang paling dominan. Ia memiliki pengaruh sangat besar bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu-ilmu alam (Muslih, 2005 :
98). Perkembangan pandangan ini semakin pesat semenjak munculnya positivisme logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna Circle). Mereka terdiri atas para ahli filsafat dan saintis yang menunjukkan kecenderungan anti terhadap metafisik, anti spekulatif, realistis dan materialistis, kritis dan skeptis. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah Rudolf Carnap (1891-1970) (Bertens dalam Komarudin, 2014:446).

Bagi kaum positivisme logis, filsafat harus bertindak sebagai abdi bagi ilmu pengetahuan. Fungsi pokok filsafat menurut mereka adalah melakukan kajian tentang metodologi
ilmu pengetahuan dan melakukan penjernihan konsep-konsep
ilmiah (Adian, 2002 : 71). Terkait dengan hal ini, fokus perhatian dari para filosuf yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna
Circle) ini adalah berusaha mencari garis pemisah atau garis demarkasi antara pernyataan yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) dengan berdasarkan
prinsip kemungkinan untuk diverifikasi (Muslih, 2005 : 100). Artinya
jika suatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia bermakna, sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi berarti ia tidak bermakna. Prinsip verifikasi ini menegaskan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip ini, pandangan filsafat tradisional, termasuk teologi dan metafisika pada umumnya, harus ditolak karena ungkapan- ungkapannya melampaui pengalaman.

Keberadaan “keberhasilan” verifikasi melalui eksperimen dan observasi begitu penting bagi kaum positivism logis untuk menentukan kebermaknaan suatu proposisi atau penyataan yang kerap dipakai dalam membangun proposisi-proposisi keilmuan atau pengetahuan. Sejumlah besar verifikasi, baik melalui eksperimen atau observasi, dijadikan dasar oleh kaum positifisme logis (kaum induktifis) (Chalmers dalam Komarudin, 2014:447)) untuk menentukan keabsahan generalisasi serangkaian hasil observasi yang terbatas menjadi hukum yang bersifat umum atau universal. Dengan cara inilah, menurut mereka bangunan proposisi-proposisi keilmuan menjadi kokoh.

Namun dibalik kokohnya bangunan proposisi-proposisi keilmuan yang diformulasi kaum positivism seperti itu, ternyata tidak lepas dari kritik beberapa tokoh seperti Karl Raymond
Popper. Popper
terutama, menolak penerapan prinsip verifikasi, yakni pembuktian teori melalui fakta-fakta, yang dijadikan oleh kaum positifisme logis sebagai garis demarkasi antara pengetahuan dan non- pengetahuan (Adian, 2002 : 83).

Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali (non sense). Popper menolak identifikasi antara kriteria demarkasi dan logika induktif karena dapat mengaburkan kedua-duanya. Popper juga menolak identifikasi antara ilmu pengetahuan dengan pernyataan dasar empiris yang bercorak tangguh. Popper lantas mengusulkan kriteria demarkasi yang baru. Prinsip falsifikasi digunakan Popper dalam membedakan argumen ilmiah dan non ilmiah. Prinsip itu sendiri muncul dalam teori epistemologi yang dikembangkannya dalam filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of science).

D. VERIFIKASIONISME DAN FALSIFIKASIONISME

1. Verifikasionisme

Aliran positivisme ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna atau tidaknya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah. Tugas filsafat adalah melakukan analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah. Untuk maksud itu, mereka mengembangkan prinsip yang disebut verifikasi atau kriteria kebermaknaan.

Berikut ini adalah beberapa prinsip verifikasi sebagai elaborasi, yaitu :

a. Suatu proporsi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris.

b. Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan yang musti benar. Proposisi “Di rumah itu ada tiga orangg pencuri” adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “John tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan ketidakbenaranya secara empiris. Sebaliknya ungkapan “hari ini cuaca lebih baik daripada diluar” tidak bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat kontradiksi.

c. Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara empirik tidak dapat diverifikasi atau tidak dapat dianalisis secara empirik. Kalimat metafisik God Exist bukanlah kalimat yang secara faktual bermakna. Demikian pula halnya kalimat God does not exist.

Alfred Jules Ayer dengan karyanya yang terkenal Language, Truth, and Logic (1939), membedakan dua jenis verifikasi, yakni verifikasi keras dan verifikasi lunak. Suatu proposisi dapat dikatakan “verifiable” dalam arti yang keras, hanya jika kebenarannya dapat dibuktikan dalam pengalaman secara meyakinkan. Suatu proposisi “verifiable” dalam arti lunak adalah proposisi yang pengalaman hanya dapat menjadikannya “sangat mungkin (probable)” (Titus dkk., 1984 : 374).

2. Falsifikasionisme

Falsifikasi merupakan cara pandang terhadap sesuatu berdasarkan dari sisi kesalahan. Jika memandang suatu teori tersebut salah, maka berbagai upaya yang dilakukan untuk membuktikan teori tersebut memang salah, hingga akan dibuatkan teori baru untuk
menggantikannya.
Popper telah membuktikan falsifikasi (sebuah teori untuk membuktikan kesalahan suatu hal atau kejadian), hal ini bertolak belakang dengan konsep verifikasi (pembuktian kebenaran). Sebuah teori jika tidak pernah terbukti salah, maka ia akan mengalami
penguatan (koroborasi) namun akan tetap dapat dijatuhkan jika terdapat satu perbedaan data
yang dapat menjatuhkan teori tersebut (Bakhtiar dalam Riski, 2021: 264).

Popper memandang ilmu dari dua hal, yaitu: kriteria pemisah antara ilmu dan metafisika, dan deskripsi tentang hakikat metodologi ilmiah. Hal pertama berhubungan dengan isu status ilmu dalam spektrum luas dari pengetahuan khususnya dalam memandang ilmu-ilmu sosial. Unsur kedua berkaitan dengan isu tentang hakikat ilmu dan bagaimana kemajuan ilmu. Popper memandang metode ilmiah sebagai sebuah rancangan dari teori-teori mapun praduga (conjectures) dan penolakan-penolakan (refutations) teori-teori tersebut. Konsep falsifiability yang dihadirkan Popper merupakan suatu cara untuk membedakan teori ilmiah asli (genuine scientific theories) dari teori ilmiah-semu (pseudoscience). “Rasionalisme Kritis” (critical rationalism) merupakan istilah yang dipakai Popper untuk mendeskripsikan filsafatnya (Subekti, 2015:40).

Inti dari pemikiran Filsafat Ilmu Poper adalah pendapatnya tentang asimetri logis (logical asymmetry) antara verification dan falsifiability. Itu juga yang menginspirasi beliau untuk mengambil falsifiability sebagai kriteria demarkasi antara ilmiah asli, dan yang bukan: “satu teori harus dipandang ilmiah jika, dan hanya jika, ia dapat difalsifikasi”.  Falsifikisai merupakan suatu upaya untuk mencari data tandingan dari suatu teori melalui eksperimen ilmiah. Hal yang demikian tersebut merupakan inti dari “prinsip falsibilitas”. Suatu teori yang bekerja dengan cara mengekslusikan kemungkinan-kemungkinan yang ada demi mendapatkan teori baru yang dapat menentang atau menjatuhkan teori sebelumnya, menurut Popper suatu hal yang pasti tidak bersifat ilmiah (Muslih, 2005:123-125).

Popper mencoba merumuskan suatu  langkah untuk menguji sebuah teori, semua langkah tersebut harus dilakukan tahap demi tahapan, langkah-langkah yang dimaksud dijelaskan oleh Popper sebagai berikut.

a) Melakukan perbandingan-perbandingan secara logis dan ilmiah terhadap teori-teori yang
ada, sehingga diketahui konsistensi internal dari teori tersebut.

b) Selanjutnya melakukan penyelidikan atas valitas atau pun kesesuaian teori tersebut dengan
logika berfikir, sehingga akan diketahui apakah terdapat ciri empiris atau ilmiah dari teori
tersebut.
c) Melakukan perbandingan antara teori satu dengan teori yang lain untuk mengetahui apakah
teori tersebut telah tahan uji atau belum.

d) Langkah terakhir adalah penerapan empiris, setelah seluruh langkah sebelumnya telah
diterapkan.

Tahapan seperti yang dijabarkan di atas merupakan suatu usaha untuk mengetahui
sejauh mana berbagai konsekuensi-konsekuensi baru teori itu bertahan terhadap tuntutan-
tuntutan praktis, baik yang muncul karena eksperimen ilmiah, ataupun penerapan praktis dari
suatu teknologi. Sebuah kesimpulan tunggal (acceptable) atau terbukti (verivied) akan didapatkan
ketika telah dilakukan pengujian, sehingga teori tersebut dapat dikatakan lolos untuk sementara waktu. Namun demikian, jika nanti kesimpulan-kesimpulan tersebut dapat diuji kesalahannya (falsified) maka falsifikasinya juga memfalsifikasi teori yang dari sana ia disimpulkan secara logis.

Falsifikasi Popper adalah teori penyangkalan atas pembenaran dari suatu verifikasi
terhadap sebuah keilmuan atau teori. Singkatnya falsifikasi merupakan kebalikan dari verifiaksi.
Popper menyatakan bahwa suatu teori tidak mutlak kebenarannya hanya jika dapat diverifikasi
saja,
tetapi akan semakin kuat dan kokoh sebuah teori jika mampu bertahan dari penyangkalan
(falsifikasi). Popper berpendapat bahwa tidak ada yang namanya verifikasi, yang dapat diakui
keabsahannya hanyalah falsifikasi, artinya pencarian fakta yang memastikan bahwa sebuah
hipotesis tidak dapat dipertahankan. Pendekatan ini menyangkal bahwa pernyataan-pernyataan
tentang realitas alami lebih rasional dari pada pernyataan-pernyataan lain
(Suseno dalam Ulum,
2020
:76).

Popper juga berpendapat bahwa falsiability merupakan alasan pertama untuk mengetahui
hitam putihnya sebuah ilmu, hingga dapat menetapkan apakah ilmu tersebut ilmiah atau tidak
ilmiah. Jika sebuah ilmu tanpa melalui verifikasi tanpa melalui falsifikasi maka menjadi tidak
ilmiah. Suatu teori harus dapat dipastikan validitasnya, hingga tidak berada diantara persepsi
benar atau salah.

Berdasarkan gambaran dari siklus relative tersebut, sangat jelas bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salahnya. Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui uji-hipotesis sehingga bisa ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu itu akan dibuang atau diabaikan jika memang salah. Begitu seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru akan dilakukan uji-hipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan diabaikan dan diganti dengan teori yang baru.

Dengan demikian, pada dasarnya aktifitas keilmuan hanya bersifat mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang obyektif. Oleh karrena itu pengembangan ilmu dilakukan dengan merontokkan teori karena terbukti salahnya, untuk kemudian digantikan dengan teori baru. Untuk itu, falsifikasi menjadi alat penentu demarkasi, yakni pembeda, antara
genuine science (ilmu asli) dan pseudo science (ilmu tiruan). Jadi, kriteria keilmiahan sebuah ilmu atau
teori adalah ilmu atau teori itu harus bisa disalahkan (falsibility), bisa disangkal (refutability), dan bisa diuji (testability). Gagasannya seperti ini telah mengantarkannya dikenal sebagai seorang epistemology rasional-kritis dan empirisis modern.

KESIMPULAN

Aliran filsafat positivisme merupakan aliran yang digagas oleh August Comte.
Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah alam yang
realistis. Sehingga aliran ini sangat mengutamakan metode ilmiah dan aspek faktual
pengetahuan. Menurut Comte, ada tiga tahap perkembangan manusia, puncak tertingginya ialah tahap positif. Tahapan tersebut berupa tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik.

Aliran positivisme menggunakan prinsip verifikasi untuk memisahkan antara pernyataan bermakna atau tidak bermakna. Prinsip verifikasi ini menegaskan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Jika suatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia bermakna, sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi berarti ia tidak bermakna (sia-sia). Sebagai akibat dari prinsip ini, pandangan filsafat tradisional, termasuk teologi dan metafisika pada umumnya, harus ditolak karena ungkapan- ungkapannya melampaui pengalaman.

Kemudian Popper menawarkan gagasan falsifikasi sebagai penentu demarkasi antara proposisi atau teori yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurutnya, suatu proposisi atau teori empiris harus dilihat potensi kesalahannya. Selama suatu teori mampu bertahan dalam upaya falsifikasi, maka selama itu pula teori tersebut tetap dipandang kokoh, meski ciri kesementaraannya tetap tidak pernah hilang. Suatu teori bersifat ilmiah, jika terdapat kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Inilah yang dimaksud dengan prinsip falsifikasi menurut Popper. Sebaliknya, jika suatu proposisi atau teori secara prinsipil tidak menerima kemungkinan untuk menyatakan salahannya, maka proposisi atau teori tersebut tidak bersifat ilmiah.

Menurut Popper, kemajuan ilmu pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salahnya. Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui uji-hipotesis sehingga bisa ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu itu akan dibuang atau diabaikan jika memang salah. Begitu
seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru akan dilakukan uji-hipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan
diabaikan dan diganti dengan teori yang baru.

Dengan demikian, pada dasarnya aktifitas keilmuan hanya bersifat mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang obyektif. Oleh karena itu pengembangan ilmu dilakukan dengan merontokkan teori karena terbukti salahnya, untuk kemudian digantikan dengan teori baru.

KEPUSTAKAAN

Bakhtiar, A. (2014). Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada.

Bakker, Y.W.M. (1970). Indonesia 70. Majalah Impack. Jilid V. No. 11.

Hardiman, F. B. (2004).  Fislafat Modern Dari Machievelli Sampai Niestzshe. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Heribdp. (2021). Post-Modernism: Krusialitas Falsifikasi Karl Popper. Artikula.id.
https://artikula.id/heribdp/falsifikasi-karl-popper/#

Husaini, A. (2002). Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Depok: Gema Insani

Koento, W. (1983). Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Augustem Comte. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Komarudin, K. (2014). Falsifikasi Karl Raimund Popper dan Kemungkinan Penerapannya dalamnKeilmuan Islam. At-Taqaddum, 6(2), 444–465.

Lubis, Y. A. (2014). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Muslih, M. (2005). Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.

Nugroho, I. (2016). Positivisme Auguste Comte Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains.Cakrawala,11(2), 167-177.

Riski, M.A. (2021). “Teori Falsifikasi Karl Raimund Popper:Urgensi Pemikiranya dalam Dunia Akademik”. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(3), 261-272.

Subekti, S. (2015). Filsafat Ilmu Karl R. Popper Dan Thomas S. Kuhn Serta Implikasinya Dalam Pengajaran Ilmu. Humanika, 22(2), 39-46.

Ulum, B. (2020). Inklusifitas Pemikiran dan Pendidikan Islam terhadap Persfektif Karl R.
Popper
. Jurnal At-Tajdid: jurnal pendidikan dan pemikiran islam, 4(1), 75-84.

Veerger, K.J. (1985). Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia.    

Zaprulkhan.(2018). Filsafat Modern Barata Sebuah Kajian Tematik. Yogyakarta: IRCiSoD.

Cari Blog Ini