Jumat, 20 November 2020

HUBUNGAN BAHASA DENGAN PIKIRAN, INGATAN, DAN BUDAYA

A. HUBUNGAN BAHASA DENGAN PIKIRAN

Menurut Maksan (1993:72) pengembangan daya berpikir seseorang sama sekali tidak tergantung pada bahasa ataupun secara khusus lagi kepada berbicara. Orang bisu yang sama sekali tidak dapat menggunakan bahasa atau bahkan orang bisu tuli yang tidak pernah mendengar suara atau bahasa apapun serta tidak pula pernah dapat berbahasa tetap mempunyai pikiran. Ia mampu untuk berpikir secara normal walaupun mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menyampaikan pikirannya itu kepada orang lain.

Orang yang menguasai bahasa lebih dari satu (dwibahasawan atau multibahasawan) tidak pernah merasakan bahwa pikiran mereka terpengaruh oleh bahasa yang mereka kuasai. Orang Indonesia yang menguasai bahasa Inggris misalnya, tidak akan berpikir sebagai orang Inggris pula. Jadi, pembentukan pikiran sama sekali tidak berdasarkan kepada bahasa.

Dalam hubungan penggunaan bahasa dengan aspek pikiran, Steinberg (dalam Maksan, 1993:74) berpendapat bahwa terdapat tiga pokok pikiran yang penting, yaitu (a) bahasa untuk memperoleh sesuatu yang baru, (b) bahasa dapat digunakan untuk mengubah tata nilai, dan (c) bahasa dapat digunakan untuk membantu daya ingatan.

Dengan menguasai bahasa lain kemungkinan besar kita akan mengetahui ide-ide baru yang didengar atau dibaca melalui bahasa yang kita kuasai itu. Mengetahui suatu bahasa mungkin tidak akan mempengaruhi cara berpikir kita, melainkan hanya dapat menambah isi dari pikiran kita. Menurut Chaer (2009:51-62) ada delapan teori yang berkaitan dengan hubungan bahasa dengan pikiran. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.

1. Teori Wilhelm Von Humboldt

Wilhelm Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandanagan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat itu ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Dengan demikian, dia akan menganut cara berpikir (juga budaya) masyarakat bahasa lain itu (Chaer, 2009:51-52).

Menurut Chaer (2009:52) “Mengenai bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi dan bagian kedua berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau innereform.” Von Humboldt menyatakan bahwa bahasa merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).

Dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangakan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk itulah yang membelenggu manusia dan menetukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam (otak dan pemikiran) penutur bahasa itu. Manusia hidup dengan dunia seluruhnya sebagaimana bahasa menyuguhkannya atau memberikannya (Chaer, 2009:52).

2. Teori Sapir-Whorf

Chaer (2009:52) menyatakan Edward Sapir (1884--1939) adalah seorang linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir yang mengatakan bahwa manusia hidup dinuia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Sapir mengatakan telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Hal itulah yang menyebabkan tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.

Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jumlah masyarakat di dunia ini sama banyak dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas juga Sapir mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu.

Chaer (2009:52) menyatakan “Benjamin Lee Whorf (1897--1941) murid dari Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang beridiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semunya menyatakan rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian, semua bahasa itu merupakan cara-cara pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain.”

Sama halnya dengan Von Humblodt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menetukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, Whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunankan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek-lepas (after effect) pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalua terkena panas. Whorf menyatakan bahwa tampaknya jalan pikiran seseorang telah ditentukan oleh bahasanya (Chaer, 2009:53).

Menurut Whorf (dalam Chaer, 2009:53) “Selanjutnya sistem tata bahasa suatu bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu  berupa program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang.” Dengan kata lain, tata bahasalah yang menetukan jalan pikiran seseorang (Simanjuntak, 1987, dalam Chaer, 2009:53).

Setelah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat dengan mendalam. Whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang beragam itu. Tatabahasa suatu bahasa bukan merupakan alat untuk mengeluarkan ide-ide itu tetapi merupakan ide-ide itu. Tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran, bukan kata-kata.

Chaer (2009:53-54) menyatakan bahwa berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sebaliknya,  hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa dan Afrika berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal tersebut, Whorf membandingkan kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi diorganisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka bibit itu akan tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara masa menanam dan tumbuhnya bibit tidaklah penting yang penting adalah peristiwa menanam dan tumbuhnya bibit itu. Sebaliknya, bagi kebudayaan Eropa jangka waktu itulah yang paling penting. Menurut Whorf, itulah bukti bahwa bahasa mereka telah menggariskan realitas hidup dengan cara-cara yang berlainan.

Untuk menunjukan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran manuisa, Whorf menunjukan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa  Inggris mempunyai pola yang sama dengan kalimat see that house. Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorangpun yang melihat satu ombak. Hal yang terlihat sebenarnya suatu permukaan air yang terus menerus berubah dengan gerak naik-turun dan bukan apa yang dinamakan satu ombak. Jadi, disini seolah-olah kita melihat satu ombak karena bahasa yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini; dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita lebih dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditinggalkan.

3. Teori Jean Piaget

Chaer (2009:54) menyatakan bahwa berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, dan Sarjana Perancis, berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak akan ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa; bukan sebaliknya. Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget,1962) menyatakan jika seorang kanak-kanak dapat menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda dengan cara-cara  yang berlainan sebelum kanak-kanak itu dapat menggolongkan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.

Menurut teori pertumbuhan kognisi, seorang kanak-kanak mempelajari segala sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari perilakunya dan kemudian baru melalui bahasa. Tindakan-tindakan atau prlikau kanak-kanak itu merupakan manipulasi dunia pada satu waktu dan tempat tertentu; dan bahasa hanyalah satu alat yang memberikan kepada kanak-kanak itu satu kemampuan untuk beranjak lebih jauh dari waktu dan tempat tertentu itu. Namun, jelas gambaran benda-benda dan keadaan-keadaan dunia dan manipulasinya dalam otak kanak-kanak tidak memerlukan bahasa.

Chaer (2009:55) menyatakan bahwa mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran), Piaget mengemukakan dua hal penting berikut.

a. Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu sistem skema dikembangkan secara penuh dan membuat lebih dulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda (sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakian kembali.

b. Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambang pada umumnya. Fungsi lambang itu mempunyai beberapa aspek. Awal terjadinya fungsi lambang itu ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam perkembangannya. Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar sangat erat hubungannya dan terjadi serentak dengan permainan lambang, peniruan, dan bayangan-bayangan mental.

Chaer (2009:55) menyatakan bahwa Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya merupakan aksi atau perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegitan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Suatu yang perlu diingat bahwa dalam jangka waktu sensomotor itu kekekalan benda merupakan pemerolehan umum.

4. Teori L.S. Vygotsky

Chaer (2009:55) menyatakan bahwa Vygotsky adalah dari sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.

Menurut Vigotsky pikiran berbahasa berkembang melalui beberapa tahap. Mula-mula kanak-kanak harus mengucapkan kata-kata untuk dipahami. Kemudian bergerak kearah kemampuan mengertiatau berpikir tanpa mengucapkan kata-kata itu. Lalu dia dapat memisahkan kata-kata yang berarti dan yang tidak berarti.  

Selanjutnya Vygotsky menjelaskan bahwa hubungan antara pikiran dan bahasa bukanlah merupakan suastu benda, melainkan merupakan sutu proses, satu gerak yang terus-menerus dari pikiran ke kata dan dari kata ke pikiran. Pikiran itu tidak hanya disampaikan dengan kata-kata tetapi lahir dengan kata-kata itu. Tiap pikiran cenderung untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dan mendiirikan satu hubungan di antara benda-benda. Tiap pikiran bergerak, tumbuh, dan berkembang melaksanakan satu fungsi dan memecahkan satu masalah.

5. Teori Noam Chomsky

Chaer (2009:56-57) menyatakan bahwa mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori tersebut tidak secara langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran) manusia.

Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa dalam yang bersifat universal. Peralatan konsep itu tidak ada hubungannya dengan belajar atau pembelajaran, misalnya dengan aksi atau perilaku seperti yang dikatakan Piaget dan tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut kecerdasan. Bahasa dan pemikiran adalah dua buah sistem yang berasingan dan mempunyai otonomi masing-masing.

6. Teori Eric Lenneberg

Chaer (2009:58) menyatakan bahwa berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori yang disebut “Teori Kemampuan Bahasa Khusus” (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran.

Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut Leeneberg sebagai berikut.

a. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian otak tertentu yang mendasari bahasa.

b. Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak normal. Semua anak-anak dapat dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.

c. Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa anak-anak tersebut tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan.

d. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah diajar dengan cara-cara yang luar biasa.

e. Setiap bahasa tanpa kecuali didasarkan pada prinsip-prinsip semantik, sintaksis, dan fonologi yang universal.

Menurut Chaer (2009:59) menyatakan “Lenneberg telah menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai pandangan Piaget.”

7. Teori Bruner

Chaer (2009:59) menyatakan bahwa berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori tersebut bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis. Bruner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat sempurna. Lalu karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat serupa, maka keduanya dapat saling membantu. Bahasa dan pikiran adalah alat untuk berlakunya aksi.

Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistik dan kecakapan komunikasi, teori Bruner juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis tersebut akan dapat berkembang menjadi lebih baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan analisis itu hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan komunikasi yang baik.

8. Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf

Chaer (2009:60-61) menyatakan bahwa teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Teori pertama, dari Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya sistem bahasa dan adanya sistem universal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua, dari Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori ketiga, dari Piaget menyatakan bahwa struktur pikiran dibentuk oleh perilaku dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Teori keempat, dari Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi tetapi pada pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi; bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori kelima, dari Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah sistem yang bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat struktur-dalam bahasa-bahasa di dunia ini sama karena di dasari oleh sistem universal; tetapi pada tingkat struktur luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Teori keenam, dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang khusus untuk manusia dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa itu mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Teori ketujuh, dari Bruner menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan, dan mengembangkan pemikirannya itu.

Chaer (2009: 61) menyatakan bahwa di antara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf yang paling kontroversial. Hipotesis tersebut yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain.

B. HUBUNGAN BAHASA DENGAN INGATAN

Salah satu kemampuan mental yang dimiliki manusia untuk bermacam-macam tujuan adalah ingatan. Ingatan yang terutama merupakan faktor bawaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap proses belajar yang dilakukan oleh seseorang. Oleh karena ingatan merupakan syarat utama dalam berpikir maka kita perlu mengakajinya secara lebih mendalam. Apalagi menurut pandangan baru yang menyatakan bahwa proses belajar-mengajar merupakan proses penyimpanan informasi. Penyimpanan informasi merupakan sebagian dari kegiatan ingatan.

Astini Su’udi (dalam Maksan, 1993:75) menyatakan bahwa dalam struktur ingatan sebenarnya terdapat tiga kegiatan proses informasi, yaitu (a) proses penyandian, (b) proses penyimpanan ingatan, dan (c) proses mengingat kembali.

Penyandian adalah proses ditangkapnya sinyal-sinyal oleh panca indera kita. Sinyal itu ditafsirkan oleh mata ke dalam sandi-sandi yang akhirnya mata menyimpulkan benda apa yang dilihat. Materi informasi yang masuk melalui mata ini disebut dengan materi ikonik. Penyandian lain dilakukan oleh telinga. Telinga manusia menangkap sinyal-sinyal yang berupa getaran benda-benda, getaran itu ditafsirkan oleh telinga sebagai getaran dari suara manusia misalnya. Materi informasi yang masuk melalui telinga ini disebut ekhoik.

Materi informasi yang disandikan oleh alat-alat pancaindera itu tidak bertahan lama. Apabila tidak mendapat perhatian atau perlakuan khusus maka ingatan ini akan hilang dalam waktu yang cepat. Kalau kita ingin informasi itu dapat tahan lama maka ingatan yang disebut dengan ingatan jangka pendek itu haruslah mendapat perhatian yang khusus. Jika ingatan ini menerima perhatian khusus ia akan menjadi ingatan jangka panjang yang tersimpan selamanya.

Dalam hal hubungannya secara fisik dapat dikatakan bahwa apabila materi yang masuk itu barulah sampai ke daerah Wernicke saja dan tidak berlanjut terus ke daerah lain, maka ingatan itu dinamakan ingatan jangka pendek. Tetapi bila ingatan itu telah menetap di daerah Sistem Pusat Otak barulah dikatakan bahwa kita telah meletakkan ingatan itu sebagai ingatan jangka panjang (Maksan, 1993:77).

Ada tiga faktor yang mempengaruhi daya simpan seseorang yang dikemukakan oleh Astini Su’udi (dalam Maksan, 1993:77) yaitu (a) pribadi seseorang, (b) jenis informasi, dan (c) tingkat pembelajaran.

Faktor pribadi adalah faktor-faktor yang bersifat individual yang dibawa  sejak lahir. Setiap orang mempunyai kemampuan mengingat dalam kadar yang tidak sama. Ada orang yang mempunyai daya ingat yang tajam, ada orang yang sering lupa dengan apa-apa yang pernah dilihatnya. Namun ingatan sangat setia terhadap hal-hal yang pernah didengarnya.

Faktor kedua adalah jenis informasi itu sendiri. Ada informasi verbal ada pula nonverbal. Informasi nonverbal adalah informasi yang tidak dapat divisualisasikan dengan kata-kata sukar untuk divisualisasikan seperti suara jangkrik di tengah malam. Sedangkan informasi verbal adalah segala jenis informasi yang dapat disampaikan dengan menggunakan bahasa (lisan atau tulisan). Informasi verbal terbagi dua, yakni yang bermakna dan tidak bermakna. Informasi verbal yang bermakna adalah seluruh ujaran atau tulisan yang mempunyai makna yang ingin disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Lain halnya dengan informasi verbal tidak bermakna. Informasi ini dapat berbentuk lisan ataupun tulisan tidak ada maknanya sama sekali. Misalnya kata abracadabra, jelas tidak ada maknanya.

Faktor yang terakhir adalah tingkat pembelajaran orang itu. Pembelajaran di sini dimaksudkan sejak masuknya informasi melalui indera sampai dengan penyimpanan informasi itu. Kegiatan ini haruslah dilakukan dengan sadar, terarah dan terencana dengan baik.

Menurut Dardjowidjojo (2003:270), sampai dengan akhir abad ke 19 studi tentang memori kebanyakan dilakukan oleh para ahli filsafat. Akan tetapi, pada abad ke 20 secara gradual fokus penelitian beralih ke studi yang sifatnya eksperimental yang mula-mula dilakukan oleh para psikolog tetapi kemudian juga oleh para biolog. Sejak Socrates pertama-tama menyatakan bahwa manusia memiliki bekal kodrati waktu lahir, orang bertanya-tanya bagaimana informasi ini disimpan dalam memori. Para ahli menjawabnya dengan tiga cara: introspeksi, analisis yang logis, dan argumentasi. Masalah dengan metode ini adalah bahwa hasilnya bersifat spekulatif sehingga tidak membawa kita ke fakta yang dapat disetujui secara bersama.

Psikolog Amerika Serikat William James pada tahun 1890-an kemudian mengembangkannya lebih lanjut dengan lebih menajamkan perbedaan antara memori jangka pendek dengan memori jangka panjang. Memori jangka pendek hanya berlangsung beberapa detik atau menit sebaliknya memori jangka panjang berlangsung harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan bahkan bisa juga seumur hidup.

Pada awal abad ke 20 psikolog Rusia Ivan Pavlov mengajukan teorinya yang kemudian dikenal sebagai classical conditioning sementara Edward Thorndike dari Amerika mengajukan operant, atau experimental, conditioning yang kemudian lebih dikenal sebagai trial-and-error learning. Studi yang objektif dan eksperimental ini dikembangkan lebih lanjut di Amerika oleh John B. Watson yang dapat dianggap sebagai bapak dari aliran behaviorisme. Dalam aliran ini seorang psikolog hanya harus melihat apa yang kasad mata saja. Apa yang tidak dapat dilihat tidak layak untuk diterka.

Landasan seperti inilah yang kemudian memunculkan berbagai reaksi negatif karena aliran ini mengabaikan proses mental yang terjadi pada saat kita memperoleh suatu informasi dan menyimpannya. Psikolog Inggris Frederic C. Bartlett (dalam Dardjowidjojo, 2003:270) dapat dikatakan sebagai salah satu pelopor yang mula-mula menyatakan bahwa persepsi dan memori tergantung tidak hanya pada lingkungan yang kasad mata tetapi juga pada struktur mental dari orang yang mempersepsinya. Ide inilh yang kemudian melahirkan psikologi kognitif.

Pada pertengahan tahun 60-an, saat psikologi kognitif mulai muncul, muncul pula minat dari para biolog untuk menangani kognisi. Revolusi dalam bidang biologi ini mencakup dua komponen: (a) komponen molekular dan (b) komponen sistem. Orang seperti Gregor Mendel, Wlliam Bateson, dan Thomas H. Morgan menunjukkan bahwa ihwal herediter diturunkan dari orangtua ke anak melalui gen dan tiap gen berada pada suatu struktur berderet dari nukleus sel yang dinamakan kromosom. Penemuan ini kemudian membantu ilmuwan mempelajari representasi internal dari proses-proses kognitif yang kompleks pada otak manusia.

Penfield dan Roberts (1959 dalam Dardjowidjojo, 2003:274) menyebutkan adanya memori pngalaman, memori konseptual, dan memori kata. Memori pengalaman adalah memori yang berkaitan dengan ihwal-ihwal di masa lalu. Makin bermakna suatu pengalaman, makin lama memori itu disimpan dan diingat. Memori konseptual adalah memori yang dipakai untuk membangun suatu konsep berdasarkan fakta-fakta yang masuk. Memori kata adalah memori yang mengaitkan konsep dengan wujud bunyi dari konsep tersebut.

Sementara itu, ada pula yang membagi memori menjadi memori nondeklaratif dan deklaratif (Squire dan Kandel 1999). Memori nondeklaratif berasal dari pengalaman tetapi terwujud dalam bentuk perubahan perilaku, bukan rekoleksi terhadap peristiwa masa lau. Berbeda dengan memori deklaratif, memori nondeklaratif bersifat instingtif. Sementara memori deklaratif adalah memori untuk peristiwa, fakta, kata, muka, musik – segala bentuk pengetahuan yang telah kita peroleh dalam hidup. Diperoleh dengan beberapa faktor yaitu unsur keseringan, faktor relevansi, faktor signifikansi, faktor gladi kotor, faktor keteraturan.

William James membagi memori menjadi dua kelompok besar, yaitu memori pendek dan memori panjang. Memori pendek dibagi lagi menjadi dua sub-bagian yaitu, memori sejenak dan memori kerja. Sementara itu, Tuvling dan Lepage membagi memori menjadi dua kelompok yaitu, memori proskopik dan memori palinskopik. Pada memori proskopik pengalaman pada suatu waktu dimanfaatkan untuk menangani kasus di masa depan. Memori palinskopik merujuk tidak ke masa depan tetapi ke masa lalu bersifat individual.

Dari bukti-bukti linguistik, Chafe (1973) menganggap ada tiga macam memori, yaitu memori permukaan dan memori dalam. Kesdaran kita akan sesuatu tergantung pada empat macam input. Pertama, kita bisa sdar akan sesuatu karena ada persepsi sensori yang langsung kita alami. Kedua, kesadaran ini bisa kemudian ditampung dalam memori permukaan untuk beberapa saat setelah beberapa saat sebelum berada pada kesadaran kita. Ketiga, peristiwa ini bisa kemudian dipindahkan ke memori dangkal. Akhirnya memori ini bisa dikirim ke memori dalam untuk disimpan dalam jangka waktu panjang.

Pada masa lalu orang yang banyak memperbincangkan ihwal ini adalah para filosof. Namun di antara mereka sendiri, tidak ada kesepakatan. Sebagian berpandangan bahwa orang dapat berpikir tapa memakai bahasa, sementara sebagian yang lain berpandangan sealiknya. Filosof seperti Mueller (1887 dalam Dardjowidjojo, 2003:282) berpandangan bahwa bahasa dan pikiran tidak dapat dipisahkan. Manusia tidak mungkin berpikir tanpa bahasa. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pada saat anak tumbuh, berpikir yang terujuarkan menjadi makin kecil dan setelah dewasa berpikir tidak lagi dilakukan dengan mamakai kata yang terujarkan.

C. HUBUNGAN BAHASA DENGAN BUDAYA

Para ahli antropologi berpendapat bahwa kebudayaan bangsa tidak mungkin dapat dikaji tanpa mengkaji bahasa bangsa itu karena bahasa bangsa itu adalah bagian dari kebudayaan bangsa itu. para ahli linguistik berpendapat bahwa pengkajian bahasa suatu penduduk asli tidak mungkin dipisahkan dari kebudayaan penduduk itu, karena semantik suatu bahasa mencakup juga kebudayaan penduduk itu. Jadi, kalau antropologi berpendapat bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, maka linguistik menganggap kebudayaan sebagai salah satu dimensi bahasa.

Bahasa adalah dua bentuk hasil pemikiran manusia. Banyak ahli yang mengemukakan teorinya mengenai kaitan antara bahasa dan budaya, salah satunya Willem Von Humboldt, seorang filosof Jerman. Menurut Humboldt (Steinberg dalam Cahyo, 2012:2) language by its very nature respresents the spirit and national character of a people. Humboldt yakin setiap bahasa di dunia merupakan perwujudan budaya dari masyarakat penuturnya. Jadi, pandangan yang dimiliki oleh suatu masyarakat budaya tertentu akan tercermin atau terwujud dalam bahasanya. Pendapat Humboldt ini didukung oleh lingusi ternama seperti Edward Sapir (1929) dan Alfred Korzybski (1933).

Bahasa merupakan produk budaya. Bahasa adalah wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya. Koentjoroningrat (dalam Cahyo, 2012:2) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan berkembang dalam masyarakat. Bahasa dan budaya mempunyai hubungan yang koordinatif, yaitu hubungan sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Masinambow (dalam Cahyo, 2012:9) menjelaskan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Hubungan masyarakat dan kebudayaan erat sekali, bahkan sulit untuk mengidentifikasi hubungan antara keduanya karena saling mempengaruhi. Menurut Nababan (dalam Cahyo, 2012:10) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yaitu: (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya.

Bahasa suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya. Levi Strauss (Sibarani dalam Cahyo, 2012:10) mengemukakan bahwa bahasa adalah hasil kebudayaan. Bahasa merupakan refleksi dari seluruh kebudayaan dari sebuah masyarakat.

Kepustakaan:

Cahyo, Septian. 2012. Hubungan Bahasa dan Budaya (Artikel). diakses 02 April 2018.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik:Kajian Teoritik. Jakrta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik:Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:     Yayasan Obor Indonesia.

Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang:UNP Press.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini