Jumat, 21 Januari 2022

Apresiasi Puisi Dan Analisis Puisi Menyesal Karya Ali Hasjmi Oleh Riska Mulyani



Menyesal
                                    oleh: Ali Hasjmi

Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Kini petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di pagi hari
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
Ah apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di pagi hari
Menuju arah padang bakti

A. Mengapresiasi Puisi Menyesal Karya Ali Hasjmi
Tahap I: Membaca puisi berulang kali
Tahap II: Melakukan pemenggalan
            Menyesal
                        oleh: Ali Hasjmi
Pagiku hilang/ sudah melayang//
Hari mudaku/ sudah pergi//
Kini petang/ datang membayang//
Batang usiaku/ sudah tinggi//

Aku lalai/ di pagi hari//
Beta lengah/ di masa muda//
Kini hidup/ meracun hati/
Miskin ilmu,/ miskin harta//
Ah// apa guna kusesalkan//
Menyesal tua/ tiada berguna//
Hanya menambah/ luka sukma//

Kepada yang muda/ kuharapkan/
Atur barisan/ di pagi hari/
Menuju arah/ padang bakti//
Tahap III: Melakukan Parafrase
            Menyesal
                        oleh: Ali Hasjmi

Pagiku hilang/ sudah melayang//
Hari mudaku/ sudah pergi//
Kini petang/ datang membayang//
Batang usiaku/ sudah tinggi//
(dulu) Aku (telah) lalai/ di pagi hari//
(karena)Beta (telah)  lengah/ di masa muda//
Kini hidup (-ku sengsara)/ meracun hati/
(aku) Miskin ilmu,/ (juga) miskin harta//
Ah// apa guna kusesalkan//
Menyesal (di masa) tua/ tiada berguna (lagi)//
Hanya menambah/ luka sukma//
Kepada yang muda/ kuharapkan//
Atur barisan(-mu)/ di pagi hari//
Menuju arah/ padang bakti//

Tahap IV: Menentukan Makna Konotatif Kata Atau Kalimat
a. Pagiku  hilang sudah memiliki makna masa muda yang telah berlalu yang tak bisa diulang kembali.
b. Kini petang sudah membayang memiliki makna masa tua telah datang
c. Aku lalai di pagi hari memiliki makna si aku telah lalai di masa mudanya
d. Beta lengah di masa muda memiliki makna  tidak memperhatikan masa mudanya dan tidak  memikirkan masa tuanya
e. Meracun hati memiliki makna penuh derita
f. Luka sukma memiliki makna sakit hati
g. Atur barisan di pagi hari memiliki makna rencanakan masa depan dengan sebaiknya di masa muda
h. Menuju arah padang bakti memiliki makna menuju masa depan

Tahap V: Menceritakan Kembali Isi Puisi
            Secara keseluruhan puisi ini menceritakan tentang sebuah penyesalan penyair di masa tuanya. Penyair menceritakan keadaan dirinya di masa tua yang penuh kesedihan dan derita. Karena pada masa mudanya ia lalai dan lengah, maka saat tua ia hidup sengsara kekurangan ilmu dan kekurangan harta. Penyair merasa bahwa penyesalan di masa tua hanya menambah derita dan sakit hati. Karena penyair tidak ingin para pemuda menyesal di masa tuanya, penyair menyuruh para pemuda untuk merencanakan masa depannya sebaik mungkin agar dapat berguna bagi bangsa dan negara.

B. Analisis Puisi Menyesal Karya Ali Hasjmi
1. Struktur Fisik Puisi
a. Diksi:
Pemilihan kata pada puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmi ini banyak menggunakan kata bermakna konotatif. Karena banyak menggunakan makna konotatif, maka terjadilah penyimpangan bahasa dalam puisi ini. Penyimpangan tersebut adalah penyimpangan semantis dan penyimpangan sintaksis.
1) Penyimpangan semantis, yaitu menunjuk makna ganda. Contonya pada kata pagiku, petang datang, dan padang bakti. Bagi penyair pagiku adalah masa muda, petang datang adalah umur yang sudah tua, dan padang bakti adalah masa depan cerah. Bukan seperti kata sehari-hari yang bermakna waktu dan nama suatu tempat.
2) Penyimpangan sintaksis, seperti pada kalimat menyesal tua tiada guna, padahal menurut kaidah yang benar adalah tidak ada gunanya menyesal di hari tua.

b. Imaji
Di dalam puisi ini terdapat beberapa pengimajian, di antaranya pengimajian penglihatan terdapat pada kutipan berikut ini.
Kini petang datang membayang
(bait pertama baris ketiga)
Selain pengimajian penglihatan, dalam puisi karya Ali Hasjmi ini juga terdapat pengimajian perasaan. Hal itu dapat dilihta dari kutipan berikut ini.
Ah apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
(bait ketiga)

c. Kata konkret
            Pada puisi ini ditemukan kata-kata konkret yang dapat membangkitkan citraan seperti penglihatan, dan perasaan. Kata konkret yang di temukan dalam puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmi ini seperti melayang, membayang, batang, barisan dan padang bakti.

d. Majas
            Majas yang terdapat dalam puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmi adalah majas repetisi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
Miskin ilmu, miskin harta
(bait kedua baris keempat)
Selain majas repetisi juga terdapat majas metafora, berikut kutipannya.
                        Batang usiaku sudah tinggi
                        (bait pertama baris keempat)
Dalam puisi ini juga terdapat majas paralelisme, berikut kutipanya.
pagiku hilang sudah melayang
hari mudaku sudah pergi
(baris 1-2 bait pertama)
aku lalai di hari pagi
beta lengah di masa muda
(baris 1-2 bait kedua
e. Rima/Ritme
Terdapat dua macam rima yang digunakan pada puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmi ini. Pertama rima silang yang terdapat pada bait pertama dan kedua. Kedua rima bebas yang terdapat pada bait ketiga dan keempat.

f. Tipografi
Puisi karya Ali Hasjmi ini memiliki terdiri atas 4 bait dimana bait 1-2 terdiri atas 4 baris dan bait 3-4 terdiri atas 3 baris. Tipografi puisi ini termasuk tipografi puisi konvensional.

2. Struktur Batin Puisi
a. Tema
            Puisi yang berjudul “Menyesal” karangan Ali Hasjmi ini memiliki tema penyesalan. Dalam puisi ini tergambar sebuah penyesalan yang datang di masa tua, karena pada masa mudanya ia telah lalai dan lengah sehingga di masa tua ia hidup sengsara dalam sebuah penyesalan yang dalam. Hal itu dapat  dilihat dari salah satu bait berikut ini.
Ah apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
(bait ketiga)
Dari kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa tema dari puisi karangan Ali Hasjmi ini adalah penyesalan.

b. Rasa
Puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmi merupakan ungkapan rasa penyesalan yang teramat sangat. Dimana dalam puisi tersebut ia menjelaskan bahwa penyesalan di masa tua itu sangat tidak mengenakkan dan sangat pedih. Oleh karena itu penyair tak ingin generasi muda saat ini merasakan penyesalan yang sama dengannya. Sehingga penyair menyuruh generasi muda agar mempergunakan masa mudanya sebaik-baiknya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
Aku lalai di pagi hari
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
(bait kedua) 

Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di pagi hari
Menuju arah padang bakti
(bait keempat)

c. Nada dan Suasana
1) Nada
Dalam puisi tersebut penulis menggambarkan nada-nada sedih, kecewa dan penyesalan dalam penyampaian puisi ini, karena anyak bait-bait puisi tersebut yang mengandung kata penyesalan. Berikut kutipannya.
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Kini petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi

Aku lalai di pagi hari
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta

Ah apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
(bait kesatu-ketiga)
Selain itu, tergambar juga nada-nada yang tegas. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di pagi hari
Menuju arah padang bakti
(bait keempat)
2) Suasana
            Suasana yang dibangun Ali Hasjmi dalam puisi “Menyesal” ini adalah suasana yang penuh kesedihan, penderitaan dan penyesalan. Namun, di bait terakhir penyair membangun suasana tegas dimana penyair menyuruh para pemuda untuk menata masa mudanya dengan sebaiknya.

d. Amanat
            Amanat dalam puisi “Menyesal” karya Ali Hasjmi yang dapat saya simpulkan adalah sebagai berikut. Pertama, manfaatkanlah masa mudamu sebaik mungkin agar tidak menyesal di hari tua. Kedua, penyesalan di kemudian hari (masa tua) tidak berguna oleh karena itu lakukan yang terbaik di masa mudamu. Terakhir, penyesalan di masa tua hanya akan menambah beban dan penderitaan pada diri sendiri.

REFLEKSI NILAI-NILAI KEMANDIRIAN DALAM NOVEL LINGKAR TANAH LINGKAR AIR KARYA AHMAD TOHARI Oleh : Riska Mulyani



A.  Identitas Novel
Judul Novel     : Lingkar Tanah Lingkar Air
Pengarang       : Ahmad Tohari
Tebal Buku      : 165 halaman
Penerbit           : Gramedia
Tahun Terbit    : 2015
Edisi ke-          : Pertama

B.  Sekilas tentang Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari
Ahmad Tohari dikenal sebagai salah satu novelis besar yang dimiliki Indonesia, bersanding dengan Pramoedya Ananta Toer. Gaya bahasa yang khas, serta penggambaran latar pedesaan yang kuat menjadi salah satu daya tarik buah pena miliknya, salah satunya adalah novel yang bertema sejarah ini : Lingkar Tanah Lingkar Air.
Pada Maret 1946, Amid bersama beberapa temannya, menjadi murid Kiai Ngumar, mereka belajar silat dan ilmu agama. Pada suatu malam Amid dipanggil Kiai Ngumar, dia dan temannya diminta untuk bersiap-siap berperang, karena ada fatwa yang mewajibkan untuk melawan Belanda. Sejak Kiai Ngumar meminta Kiram dan Amid untuk bersiap-siap tidak terjadi perkembangan apa-apa, hingga tiga bulan sesudahnya Kiai Ngumar kembali memanggil mereka berdua, mereka diminta untuk berangkat ke Purwokerto.
Sampai di Purwokerto mereka akan mendapat latihan ketentaraan, tetapi kabar itu berubah dengan cepat. Mereka harus membantu Pasukan Brotosewoyo yang sedang berusaha merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Mereka kecewa sesampainya di sana mereka hanya disuruh menebangi pohon sebagai penghalang jalan bukan untuk berperang dan ternyata tentara Belanda juga tidak melewati jalur tersebut malah berputar lewat Purbalingga, akhirnya para pemuda yang diperbantukan itu diminta untuk pulang tetapi apabila mereka dibutuhkan mereka harus siap untuk membantu tentara lagi.
Pada suatu hari Amid dan Kiram diminta lagi untuk membantu tentara. Pagi-pagi mereka menuju jalan besar di sebelah selatan, keempat tentara bersembunyi di balik rumpun pandan yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Tak lama kemudian iring-iringan tentara Belanda datang, kemudian terjadi ledakan hebat dan terjadi perang singkat dan banyak tentara Belanda yang tewas. Dengan berani Kiram lari ke tengah jalan mengambil sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya. Kemudian semuanya lari ke arah utara. Amid, Kiram, dan keempat tentara sampai di rumah Kiai Ngumar. Dari pencegatan hari itu tentara mendapat tambahan tiga senjata dan salah satunya masih dibawa Kiram walau salah seorang tentara telah meminta Kiram untuk menyerahkan senjata tersebut. Atas jaminan Kiai Ngumar kalau senjata itu akan digunakan untuk membantu para tentara dan para tentara dapat menerima mereka sepakat untuk membentuk kelompok perlawanan karena Jun, Jalal, dan Kang Suyud sudah setuju untuk ikut bergabung.
Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara resmi. Hizbullah tidak memiliki musuh lagi, dari peristiwa ini muncul masalah mereka harus meleburkan diri ke dalam tentara republik atau membubarkan diri, atas anjuran Kiai Ngumar mereka pergi ke Kebumen untuk bergabung dengan tentara republik, banyak kelompok lain yang melebur ke dalam tentara republic mereka akan diangkut dengan kereta api menuju Purworejo untuk dilantik secara resmi.
Di stasiun Kebumen ketika mereka bersiap-siap, tiba-tiba mereka diserang dan mereka membalas menembak dan bertempur secara serempak tanpa mengetahui siapa lawan maupun kawan. Kereta api benar-benar lumpuh dan Hizbullah bingung siapa sebenarnya yang menyerang mereka dan yang pasti mereka merasa dikhianati. Dalam kebersamaan rasa itu seluruh anggota Hizbullah yang pro maupun kontra terhadap peleburan pasukan bersama-sama mengundurkan diri menuju Somalangu.
Tentara Republik menganggap anak-anak Hizbullah sebagai pemberontak. Amid, Kiram, Jun, Jalal dan Kang Suyud akhirnya bergabung dengan Darul Islam mereka bergerilya melawan Tentara Republik. Kekuatan Darul Islam semakin lama semakin melemah.
Akhir Juni 1962, seorang DI yang berpangkalan di wilayah Gunung Slamet datang ke tempat persembunyian Amid dan Kiram, nama anggota DI tersebut adalah Toyib. Ia membawa berita bahwa Kartosuwiryo, Klifah Darul Islam tertangkap Pasukan Republik, Toyib juga membawa selebaran yang berisi seruan agar para anggota DI/TII meletakkan senjata dan menyerahkan diri dengan jaminan pengampunan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Amid serta beberapa temannya terkejut mendengar berita itu, rasa tidak percaya dan kebingungan melanda mereka, perdebatan mulai timbul di antara mereka, tetapi mereka akhirnya memutuskan untuk mematuhi seruan tersebut. Malam berikutnya mereka turun gunung menuju Porwokerto. Di Purwokerto mereka diterima aparat keamanan, kemudian diangkut ke dalam sebuah barak penampungan. Selama sebulan mereka mendapat indoktrinasi dan kegiatankegiatan yang lain. Amid, Kiram dan Jun tidak begitu senang ketika mereka diperbolehkan pulang, rasa canggung dan malu menghantui mereka.
Pada bulan pertama setelah Amid pulang kegiatan orang-orang komunis semakin gencar, puncak kekacauan terjadi ketika tersiar kabar terjadi perebutan kekuasaan di Jakarta, beberapa Jendral di bunuh, tersiar bahwa yang menjadi dalang semua itu adalah orang-orang komunis. Pada suatu hari ada mobil militer berhenti di depan rumah Kiai Ngumar mobil itu menjemput Amid, Kiram dan Jun untuk memberi informasi mengenai pasukan komunis yang berbasis disekitar hutan jati kepada komandan tentara mereka bergantian memberi keterangan tentang apa yang mereka ketahui dan komandan memerintahkan mereka untuk menjadi petunjuk jalan, tetapi Kiram mengusulkan supaya mereka diberi kesempatan untuk ikut bertempur melawan pasukan komunis itu.
Tepat pukul satu tengah malam tiga truk penuh tentara meninggalkan markas, Amid, Kiram dan Jun ada bersama mereka. Pukul tiga pagi, truk berhenti di hutan jati Cigobang, Kiram meminta izin kepada komandan tentara untuk menjadi pendobrak pertahanan lawan, Amid dan Jun mengikuti. Kiram bergerak di ujung pasukan, Amid beberapa kali menarik picu senjata namun tak lama kemudian ia merasa pundak dan belikatnya panas, akhirnya ia pingsan tak sadarkan diri.
Antara sadar dan tidak Amid mendengar suara orang-orang yang tak dikenalnya, ia membuka mata pundak dan punggungnya berdenyut sakit bukan main, Amid mendengar Kiai Ngumar, wajah Kiai itu berlahan-lahan muncul dalam layar penglihatan Amid. Kiai Ngumar berucap ”Laa ilaaha illalah”. Amid tak kuasa dia merasa mulutnya bergerak ingin meninggalkan wasiat untuk menjaga anak dan istrinya tapi dia tak kuasa dan Amid akhirnya meninggal.
C.  Refleksi Nilai-nilai Kemandirian dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air
1.         Refleksi Pengidentifikasian Kemampuan dan Ketidakmampuan
Tokoh-Tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air merupakam manusia-manusia lumrah, manusia bumi (Indonesia) yang hidup di tengah pergulatan sejarah Indonesia. Lingkar Tanah Lingkar Air menceritakan tentang seorang lelaki yang bernama Amid sebagai tokoh utama. Amid tidak memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pergulatan sejarah yang caru marut, namun ia memiliki semangat juang yang tinggi. Semanagat juang, yang tentunya pada masa remaja merupakan hal yang lumrah dan tidak terarah, itu berpangkal pada perumusan-perumusan jati diri tentang siapa aku, mau kemana aku, dan harus kemana aku itu. Ketiga pertanyaan mendasar itu, yang awalnya jelas tidak terformulasikan dengan gamblang sesuai dengan kodratnya sebagai remaja, didasarkan atas pemahaman dan penerimaan tentang apa yang mampu dan tidak mampu aku (Amid) lakukan.
Penggambaran tentang pemahaman dan penerimaan apa yang mampu dan tidak mampu dilakukan para tokoh oleh Ahmad Tohari diungkapkan secara muluk-muluk tetapi mengena. Dikatakan muluk-muluk karena diksi yang digunakan untuk menggambarkan bathin para tokoh itu diksi orang dewasa, tetapi tetap mampu menggambarkan pergulatan bathin yang dialami tokoh.
Cermatilah kutipan-kutipan berikut.
Pagi hari musim kemarau di tengah belantara hutan jati adalah kelenganga yang tetap terasa purba. Senyap yang selalu membuat aku merasa terpencil dan asing. Padahal ibarat ikan, hutan jati dan semak belukar yang mengitarinya sudah bertahun-tahun menjadi lubuk tempat aku dan teman-temanku hidup dan bertahan. (Tohari, 2015 : 7)
Pergulatan para tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air dalam merumuskan tentang apa yang mampu dan tidak mampu dilakukan terus berlanjut. Tohari tetap menungkapkan hal itu dengan cara yang bernas, meskipun hal yang digambarkan itu merupakan sesuatau yang mengharukan tetapi tetap manusiawi.
Dalam kebisuan yang mencekam, aku dan Kiram mengurus mayat Kang Suyud. Semuanya bersahaja. Sempat kubayangkan andai Kang Suyud meninggal di tengah suasana normal di kampungnya, pasti ratusan orang akan mendoakannya dan mengiringkan mayatnya sampai ke kubur. Tapi pagi ini ia kami kubur dalam tata cara seadanya, bahkan hanya dengan doa yang masih bisa kami ingat. (Tohari, 2015 : 14)


2.      Refleksi Keinginan-keinginan
Kemandirian juga berkaitan dengan keinginan-keinginan. Keinginan-keinginan itu didasarkan atas pemahaman dan peneriamaan atas rumusan-rumusan tentang kemampuan dan ketidakmampuan diri. Hal itu juga digambarkan Ahmad Tohari secara jernih, menarik, lugas, manusiawi, dan jelas serta relevan dengan kondisi bangsa indonesia pada tahun 1940─1965-an, bahkan masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia tahun 2015 sekarang.
Terus terang lagi aku sudah jenuh. Aku suadah lelah karena suadah hampir sepuluh tahun aku hidup selalu diburu seperti ini, .... Maka tolonglah dimengerti bila aku mulai berpikir tentang hidup normal, hidupbiasa di desa, menjadi petani atau pedagang. Istriku dan anak yang sedang dikandungnya tentu lebih menyukai hidup yang wajar, hidup yang biasa saja. (Tohari, 2015 : 21)

Keesokan hrinya aku melaksanakan keinginan yang sudah lama  kupendam, menjenguk Umi di daerah Dayeuh Luhur. (Tohari, 2015 : 113)

Tokoh-tokoh dalam Limgkar Tanah Lingkar Air adalah tokoh-tokoh yang membangun keinginan-keinginannya secara beragam namun manusiawi. Hal itu terlihat dari kutipan berikut.
“Mid aku ingin menyandang senjata seperti mereka”
“Jangan berisik mungkin kamu akan mereka beri senjata bila kamu sudah bisa menggunakannya.” (Tohari, 2015 : 29)

“Baik,” ujar Kiai Ngumar setelah lama terdiam. “Jadi kalian hendak membentuk barisan Hizbullah.”
“Benar. Dan kami hanya tinggal menunggu doa restu Kiai,” jawab Kiram. (Tohari, 2015 : 46)

3.      Refleksi Penerimaan atas Kekurangan dan Kelemahan Diri
Tokoh-tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang selalu berusaha mengembangkan peemahamannya atas kekurangan dan kelemahan diri. Penerimaan atas kekurangan dan kelemahan diri juga bersifat timbal-balik ketika seorang tokoh memahami dan menerima kekurangan tokoh lain seperti Amid yang memahami kekurangan dari sahabatnya Kiram.
Kiram tak melanjutkan kata-katanya. Tetapi bagiku cukuplah aku sudah tahu apa yang ada dalam hati temanku itu. Dan benar dugaanku, Kiram pun tetap seorang manusia yang kenal rasa bosan dan rasa jenuh. (Tohari, 2015 : 22)

Tokoh utama, aku (Amid), juga digambarkan sebagai tokoh yang selalu berusaha mengembangkan pemahamannya atas kekurangan dan kelemahan diri. Meskipun demikian, tokoh ini juga sangat manusiawi dalam hal memahami kekurangan dan kelemahan dirinya, bukan sebagai tokoh super yang dibekali dengan kemampuan yang luar biasa.
Lalu  terdengar  deru  kendaraan  dari  arah  barat.  Aku benar-benar takut. Kiram menekan punggungku agar aku lebih rendah bertiarap, namun tindakannya malah membuatku  semakin  takut.  Mataku  berkunangkunang.  Terasa  ada  air  hangat  mengucur  dari selangkanganku.  Samar,  karena  mataku  makin berkunang-kunang,  dari  balik  semak-semak  aku melihat dua truk mendekat. (Tohari, 2015 : 33)

Meskipun dengan hati tak keruan, aku merasa tak bisa berbuat lain kecuali menuruti perintah Kiai Ngumar. Dalam salat yang sama sekali tak khusuk itu,.... (Tohari, 2015 : 88)

Aku bergidik melihat darah yang mengucur dari luka di kepala lawanku. Atau, aku bergididk karena menyadari akan kepengecutanku sendiri. Entahlah. (Tohari, 2015: 95-96)

Tokoh yang paling super dalam Lingkar Tanah Lingkar Air adalah Kiram. Tokoh aku (Amid) sangat mengagumi keberanian, keteguhan hati Kiram. Kiram merupakan tokoh yang hidup dan bersikap dalam kepercayaan diri yang tinggi dan keberanian yang tinggi, meski terkadang sulit untuk mengontrol emosinya.
.... Ah, tapi aku melihat Kiram melompat di atas tubuhku, melesat ke tengah jalan. Ya Tuhan. Kiram menyambar sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya, seorang serdadu Belanda.... (Tohari, 2015 : 34)

4.      Refleksi atas Peran yang Mampu Dilakukan
Semenjak membentuk kelompok secara alamiah dan manusiawi yang diawali raa senasib-sepenanggungan dan rasa cinta tanah air. Tokoh-tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air mengembangkan pemahamannya berkaitan dengan peran apa yang dapat diembannya. Pengertian peran berkaitan dengan pemahaman atas apa yag dapat dilakukan, apa peran dan fungsinya, serta bagaimana memelihara kekohesifan sekaligus kedinamisan kelompok tersebut. Tentu saja, hal itu sangat dipengaruhi oleh guru Amid dimasa mudanya dan keikutsertaan kelompok Hizbullah dalam perang melawan penjajah.
Pengungkapan perkembangan para tokoh memahami, menerima, dan mengarahkan diri atas peran-peran yang dapat dilakukan juga sangat manusiawi, wajar, dan sesuai dengan psikologis remaja-remaja pada masa penjajahan.
“Ya, Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwanya. Beliau bilaang, berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam. Dan siapa yang mati dalam peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid.” (Tohari, 2015 : 24)
Pemahaman, penerimaan, pengarahan diri atas peran yang dapat diemban para tokoh juga sangat sesuai konteks sejarah, yaitu remaja yang mempunyai tekad kuat untuk membela tanah airnya dan menunaikan perintah agamanya untuk berjihad di medan perang pada tahun 1940-an. Amid, misalnya, dalam mengemban peran yang dapat dilakukan tetap ditampilkan sebagai tokoh yang terikat dengan kedua konteks tersebut.
Aku  merasakan  kekuatan  tarik-menarik,  suatu pertentangan yang mulai  mengembang dalam hatiku. Seorang  lelaki,  militer  yang  baru  kubunuh  itu,
agaknya  ingin selalu  merasa  dekat  dengan  Tuhan.  Dan  ia
telah ku habisi nyawanya. Sementara itu aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu ingin diingatnya melalui tasbih Dn Quran-nya itu pastilah Tuhanku juga, yakni Tuhan kepada siapa gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan khidmahnya. Hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit kumengerti. (Tohari, 2015 : 19)

Dengan menggunakan citra bahasa orang dewasa, tokoh aku (Amid) digambarkan secara manusiawi mengalami pasang-surut dalam memahami dan mengarahkan peran yang dapat dilakukan. Ketika mengambil keputusan, misalnya, tokoh aku selalu meminta pendapat Kiai Ngumar dan berusaha menyusun pemahamannya atas peran yang dapat dilakukan.
Aku lega karena jelas sekali apa yang harus aku putuskan besok. Aku juga sangat menghormati sikap Kiai Ngumar yang menaruh masalah kekompakan kami di atas hal-hal lain, termasuk pemikiran Kiai sendiri. (Tohari, 2015 : 56)

Karena  merasa  tak  bisa  memutuskan  sendiri mengenai  masalah  ini,  aku  mengambil  inisiatif mengumpulkan  teman-teman  dirumah  Kiai  Ngumar yang  sudah  kembali  dari  pengungsian.  Orangtua  itu terlihat  letih  setelah  hidup  dalam  kesulitan  selama berbulan-bulan. (Tohari, 2015 : 71)

5.      Refleksi atas Pengembangan Potensi-potensi yang Terpendam
Tokoh-tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan tokoh-tokoh yang sedang membangun dirinya sehingga kelak akan menjadi orang-orang yang mandiri namun berguna bagi orang lain. Tokoh-tokoh tersebut merupakan gambaran dinamika manusia-manusia muda Indonesia yang hidup dalam masa penjajahan, terutama berkaitan dengan pergulatan batin remaja yang dituntut untuk bisa berjuang membela tanah air dan membela agama. Dengan demikian, sangat manusiawi, jika akhirnya tidak seluruh tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air pada akhirnya mampu menggapai keinginannya menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan agama. Selain itu, karena pengarang cenderung menggunakan sudut pandang sebagai orang pertama (tokoh aku), maka dinamika dan laju perjuangan menggali potensi-potensi diri tokoh aku ini lebih ditonjolkan dibandingkan tokoh-tokoh lain.
.... Tetapi kini semuanya akan menjadi kenyataan, dan aku bersama kiram dan jun, meski hanya sementara, menjadi bagian tentara republik. Ya tak pernah kuduga, akhirnya aku mendapat peluang bertempur atas nama negara. Keharuan kembali merebak dan air mataku jatuh lagi. (Tohari, 2015 : 162)

Tokoh lain, Kiram juga tidak menapak jalan mulus utuk menggali potensi-potensi dirinya. Bahkan, sama halnya dengan anak-anak lain di Indonesia pada masa penjajahan yang tidak beruntung hidup dalam lingkungan keluarga yang mapan. Kiram sering terhambat menggali potensi dirinya. Belenggu kemiskinan dan ketidakjayaan orang tua membuat Kiram tak bisa bersekolah dan buta huruf, berbeda dengan tokoh aku. Meskipun demikian, perjuangan untuk menggali dan menunjukkan potensi dirinya tidak pernah berhenti sehingga akhirnya ia menjadi seorang wakil ketua dari kelompok Hizbullah karena kecakapannya menggunakan senjata dan kelihaiannya menyusun strategi serangan.
Maka jadilah Kiram, aku, dan Jun bergerak di ujung pasukan. Ah, Kiram masih seperti dulu: berani, sangat cekatan, dan lugas. (Tohari, 2015 : 163)

Pengembangan potensi cenderung tidak membentuk grafik garis yang selalu naik. Pengembangan potensi mengalami pasang-surut yang tidak berirama. Bahkan dalam realitas kehidupan, ada yang terpaksa menyerah pada langkah awal karena sandungan itu terlalu berat. Pengembangan potensi diri adalah pemahaman atas apa yang sanggup diperjuangkan dan dicapai. Oleh karena itu, berarti seseorang yang hendak mengembangkan potensi dirinya harus mampu bercermin, barulah menapaki langkah perjuangan. Tidak jarang, pada langkah awal seseorang mengembangkan suatu potensi, sering dipandang remeh orang lain karena orang lain itu tidak yakin bahwa seseorang itu memiliki kemampuan dan keasanggupan.

6.      Refleksi tentang Pencarian Arti yang Sejati tentang Diri
Dalam kehidupan manusia, pencarian arti sejati tentang diri merupakan proses yang panjang, bahkan memerlukan waktu yang relatif tidak terbatas. Artinya, mungkin saja seseorang mencapai usia tua namun tetap belum memiliki kejelasan arti tentang kesejatian dirinya. Lebih tragis lagi, mungkin hingga seseorang itu meninggal dunia, orang itu belum memahami kesejatian dirinya.
Kesejatian diri terkait dengan kejelasan odentitas, baik identitas sosial, identitas kultural, maupun identitas keinsanan. Identitas sosial adalah kejelasan seseorang berkaitan dengan di mana ia hidup, dalam konteks sosial atau masyarakat apa, apa peran yang dapat diembannya, dan apa tanggung jawabnya terhadap masyarakat sekitar. Identitas kutural adalah kejelasan seseorang berkaitan dengan dalam budaya apa ia hidupa, apa budaya yang ia anut, serta apa peran dan tanggung jawabnya terhadap konteks kebudayaan tersebut. Identitas keinsanan berkaitan dengan siapa dirinya, mau ke mana, dan apa yang harus diperbuatnya sehingga ia mampu merasakan sebagai seseorang yang punya arti dalam kehidupannya.
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air cenderung mengungkapkan dinamika sekelompok remaja dalam menemukan dan mengembangkan dirinya. Meskipun pada akhir penceritaan dikemukakan masa-masa dewasa para tokoh anggota Hizbullah, namun hal itu bukan merupakan fokus penceritaan. Lebih dari  itu, pengarang cenderung mengungkapkan proses penemuan jati diri para tokoh, bukan hasilnya. Oleh karena itu, kurang tergambar dengan gamblang bagaiman para tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air menemukan jati dirinya.
Pengungkapan tentang proses penemuan jati diri para tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air tetap disajikan pengarang dalam koridor yang jelas : dunia remaja menuju dewasa. Oleh karena itu, penggambarannya pun khas, mengungkapkan ketidakstabilan emosi seorang remaja, yang menyingkap dunia bathin remaja dengan segala persoalannya, kadang-kadang baik, kadang-kadang tegar, dan sesekali terombang-ambing.
Hening. Kulihat wajah Kiram keras. Jun masih menunduk dan dari sinar matanya aku melihat kekecewaaan yang sangat mendalam. Aku sendiri jadi melamun. (Tohari, 2015 : 146)

Ya, sekarang aku berada dalam sebuah perjalanan menuju pertempuran yang lain, sangat lain. Kini aku akan berperang atas nama Republik, sesuatu yang pernah sangat kurindukan dan gagal terlaksana. (Tohari, 2015 : 162)

D.  Keunggulan
Ada empat keunggulan utama novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari ini. Keunggulan-keunggulan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, permasalahan yang diangkat Ahmad Tohari adalah masalah yang menarik dan realitas. Permasalahan krisis kepercayaan pada masa penjajahan sampai masa awal kemerdekaan. Permasalahan krisis kepercayaan adalah sosial yang nyata dalam kehidupan masayarakat Indonesia pada masa dulu dan sekarang.
Kedua, pengarang (Ahmad Tohari) mampu memformulasikan penguasaannya di bidang politik dan agama. Pembaca (terutama yang sudah  dewasa) seakan-akan dibawa kembali menuju masa penjajahan di Indonesia di mana semua rasa bercampur menjadi satu, rasa cinta tanah air, rasa tegang dalam perperangan, dan haru-biru perasaan yang sangat menyedihkan. Permasalahan yang kompleks itu dikemas secara sederhana tanpa menimbulkan kesan bahwa pengarang iu orang yang luar biasa yang memiliki pengalaman yang luas di dalam maupun di luar negeri. Dengan kata lain, permasalahan yang kompleks itu dikemas secara merakyat.
Ketiga, cara pengarang menggunakan sudut pandang. Dalam cerita ini pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Dengan begitu, pengarang secara tidak langsung dapat mempertegas alur cerita, membawa pembaca masuk kedalam ceritanya dan merasakan apa yang dialami tokoh aku. Pengarang mampu menjabarkan alur cerita dan tidak keluar dari tokoh aku (Amid).
Keempat, pengarang mampu memotret suasana perang dengan jujur tanpa pretensi dan memaparkan pergolakan batin para tokoh dengan detil tanpa harus bertele-tele. Ahmad Tohari, mengajak kita (pembaca) masuk ke dunia peperangan dan membuat kita (pembaca) mengerti makna mendalam dari perang tanpa kesan menggurui. Ahmad Tohari memiliki kemampuan yang tidak semua pengarang mempunyainya. Pengarang menggunakan bahasa-bahasa ringan yang mudah dimengerti tanpa kehilangan keindahan bahasa. Tetap sastra, namun tidak pop. Tidak berat, namun juga tidak terlalu ringan. Komposisi yang pas untuk membuat sebuah bacaan yang menyenangkan.

E.     Kelemahan
Kelemahan utama novel ini adalah cara pengarang (Ahmad Tohari) menggambarkan alur flashback, yang kadang bertumpuk sehingga dapat menimbulkan kebingungan tentang latar waktu : yang mana masa lalu, yang mana masa kini? Hal lain yang dapat menimbulkan kebingungan adalah adanya beberapa kata-kata dalam Bahasa Arab tanpa penjelasan. Novel ini mungkin agak sulit dimengerti oleh pelajar  SMP atau pun pelajar SMA yang berusia kurang dari tujuh belas tahun karena diksi yang digunakan adalah diksi orang dewasa, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa pelajar tersebut juga bisa menikmati cerita dalam novel ini.

F.      Simpulan
Penembangan nilai-nilai kemandirian tidak mungkin dapat dilepaskan dari konteks geografis dan sosial masyarakat, termasuk politik dan pemerintahan. Dari sudut pandang geografis, misalnya, orang-orang yang hidup di lingkungan perbukitan akan memiliki orientasi yang berbeda dalam membangun kemandirian dibandingkan dengan orang-orang yang hidup di lingkungan pantai. Contoh lain dari sudut pandang sosial, orang yang hidup dalam masyarakat mapan akan membangun kemandirian yang berbeda dengan orang-orang yang hidup dalam masyarakat yang penuh dengan kesenjangan sosial.
Pada era 1945-1950-an pergolakan perang untuk mempertahankan kemerdekaan RI menyeret banyak pemuda kampung dalam kancah perjuangan senjata. Keinginana untuk mempertahankan RI atas nama cinta tanah air dan agama bercampur membentuk tekad yang begitu kuat untuk membela yang benar menurut pandangan mereka. Tekad itulah yang menyebabkan perperangan di tanah sendiri dengan saudara sendiri. Kondisi itu mungkin juga masih berkembang di berbagai daerah di Indonesia pada saat ini, terutama yang hidup jauh dari pusat pemerintahan, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan provinsi. Satu hal yang pasti, kebobrokan ini jelas sangat menghambat individu-individu untuk menyusun, memahami, dan mengembangkan kemandiriannya.

G.    Kepustakaan
Tohari, Ahmad. 2015. Lingkar Tanah Lingkar Air. Jakarta: Gramedia

Cari Blog Ini