A. Identitas
Novel
Judul Novel :
Lingkar Tanah Lingkar Air
Pengarang :
Ahmad Tohari
Tebal Buku :
165 halaman
Penerbit :
Gramedia
Tahun Terbit :
2015
Edisi ke- :
Pertama
B. Sekilas
tentang Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari
Ahmad Tohari dikenal sebagai salah
satu novelis besar yang dimiliki Indonesia, bersanding dengan Pramoedya Ananta
Toer. Gaya bahasa yang khas, serta penggambaran latar pedesaan yang kuat
menjadi salah satu daya tarik buah pena miliknya, salah satunya adalah novel
yang bertema sejarah ini : Lingkar Tanah Lingkar Air.
Pada Maret 1946, Amid bersama
beberapa temannya, menjadi murid Kiai Ngumar, mereka belajar silat dan ilmu
agama. Pada suatu malam Amid dipanggil Kiai Ngumar, dia dan temannya diminta
untuk bersiap-siap berperang, karena ada fatwa yang mewajibkan untuk melawan
Belanda.
Sejak Kiai Ngumar meminta Kiram dan Amid untuk bersiap-siap tidak
terjadi perkembangan apa-apa, hingga tiga bulan sesudahnya Kiai Ngumar kembali
memanggil mereka berdua, mereka diminta untuk berangkat ke Purwokerto.
Sampai di Purwokerto mereka akan
mendapat latihan ketentaraan, tetapi kabar itu berubah dengan cepat. Mereka
harus membantu Pasukan Brotosewoyo yang sedang berusaha merintangi laju tentara
Belanda di daerah Bumiayu. Mereka kecewa sesampainya di sana mereka hanya
disuruh menebangi pohon sebagai penghalang jalan bukan untuk berperang dan
ternyata tentara Belanda juga tidak melewati jalur tersebut malah berputar
lewat Purbalingga, akhirnya para pemuda yang diperbantukan itu diminta untuk
pulang tetapi apabila mereka dibutuhkan mereka harus siap untuk membantu
tentara lagi.
Pada suatu hari Amid dan Kiram
diminta lagi untuk membantu tentara. Pagi-pagi mereka menuju jalan besar di
sebelah selatan, keempat tentara bersembunyi di balik rumpun pandan yang tumbuh
di sepanjang tepi jalan. Tak lama kemudian iring-iringan tentara Belanda
datang, kemudian terjadi ledakan hebat dan terjadi perang singkat dan banyak
tentara Belanda yang tewas. Dengan berani Kiram lari ke tengah jalan mengambil
sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya. Kemudian semuanya lari
ke arah utara. Amid, Kiram, dan keempat tentara sampai di rumah Kiai Ngumar.
Dari pencegatan hari itu tentara mendapat tambahan tiga senjata dan salah
satunya masih dibawa Kiram walau salah seorang tentara telah meminta Kiram
untuk menyerahkan senjata tersebut. Atas jaminan Kiai Ngumar kalau senjata itu
akan digunakan untuk membantu para tentara dan para tentara dapat menerima
mereka sepakat untuk membentuk kelompok perlawanan karena Jun, Jalal, dan Kang
Suyud sudah setuju untuk ikut bergabung.
Desember 1949, Belanda mengakui
kedaulatan Republik Indonesia secara resmi. Hizbullah tidak memiliki musuh
lagi, dari peristiwa ini muncul masalah mereka harus meleburkan diri ke dalam
tentara republik atau membubarkan diri, atas anjuran Kiai Ngumar mereka pergi
ke Kebumen untuk bergabung dengan tentara republik, banyak kelompok lain yang
melebur ke dalam tentara republic mereka akan diangkut dengan kereta api menuju
Purworejo untuk dilantik secara resmi.
Di stasiun Kebumen ketika mereka
bersiap-siap, tiba-tiba mereka diserang dan mereka membalas menembak dan
bertempur secara serempak tanpa mengetahui siapa lawan maupun kawan. Kereta api
benar-benar lumpuh dan Hizbullah bingung siapa sebenarnya yang menyerang mereka
dan yang pasti mereka merasa dikhianati. Dalam kebersamaan rasa itu seluruh
anggota Hizbullah yang pro maupun kontra terhadap peleburan pasukan
bersama-sama mengundurkan diri menuju Somalangu.
Tentara Republik menganggap
anak-anak Hizbullah sebagai pemberontak. Amid, Kiram, Jun, Jalal dan Kang Suyud
akhirnya bergabung dengan Darul Islam mereka bergerilya melawan Tentara
Republik. Kekuatan Darul Islam semakin lama semakin melemah.
Akhir Juni 1962, seorang DI yang
berpangkalan di wilayah Gunung Slamet datang ke tempat persembunyian Amid dan
Kiram, nama anggota DI tersebut adalah Toyib. Ia membawa berita bahwa
Kartosuwiryo, Klifah Darul Islam tertangkap Pasukan Republik, Toyib juga
membawa selebaran yang berisi seruan agar para anggota DI/TII meletakkan
senjata dan menyerahkan diri dengan jaminan pengampunan nasional yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Amid serta beberapa temannya
terkejut mendengar berita itu, rasa tidak percaya dan kebingungan melanda
mereka, perdebatan mulai timbul di antara mereka, tetapi mereka akhirnya
memutuskan untuk mematuhi seruan tersebut. Malam berikutnya mereka turun gunung
menuju Porwokerto. Di Purwokerto mereka diterima aparat keamanan, kemudian
diangkut ke dalam sebuah barak penampungan. Selama sebulan mereka mendapat
indoktrinasi dan kegiatankegiatan yang lain. Amid, Kiram dan Jun tidak begitu senang
ketika mereka diperbolehkan pulang, rasa canggung dan malu menghantui mereka.
Pada bulan pertama setelah Amid
pulang kegiatan orang-orang komunis semakin gencar, puncak kekacauan terjadi
ketika tersiar kabar terjadi perebutan kekuasaan di Jakarta, beberapa Jendral
di bunuh, tersiar bahwa yang menjadi dalang semua itu adalah orang-orang
komunis. Pada suatu hari ada mobil militer berhenti di depan rumah Kiai Ngumar
mobil itu menjemput Amid, Kiram dan Jun untuk memberi informasi mengenai
pasukan komunis yang berbasis disekitar hutan jati kepada komandan tentara
mereka bergantian memberi keterangan tentang apa yang mereka ketahui dan
komandan memerintahkan mereka untuk menjadi petunjuk jalan, tetapi Kiram
mengusulkan supaya mereka diberi kesempatan untuk ikut bertempur melawan
pasukan komunis itu.
Tepat pukul satu tengah malam tiga
truk penuh tentara meninggalkan markas, Amid, Kiram dan Jun ada bersama mereka.
Pukul tiga pagi, truk berhenti di hutan jati Cigobang, Kiram meminta izin
kepada komandan tentara untuk menjadi pendobrak pertahanan lawan, Amid dan Jun
mengikuti. Kiram bergerak di ujung pasukan, Amid beberapa kali menarik picu
senjata namun tak lama kemudian ia merasa pundak dan belikatnya panas, akhirnya
ia pingsan tak sadarkan diri.
Antara sadar dan tidak Amid
mendengar suara orang-orang yang tak dikenalnya, ia membuka mata pundak dan
punggungnya berdenyut sakit bukan main, Amid mendengar Kiai Ngumar, wajah Kiai
itu berlahan-lahan muncul dalam layar penglihatan Amid. Kiai Ngumar berucap
”Laa ilaaha illalah”. Amid tak kuasa dia merasa mulutnya bergerak ingin
meninggalkan wasiat untuk menjaga anak dan istrinya tapi dia tak kuasa dan Amid
akhirnya meninggal.
C.
Refleksi
Nilai-nilai Kemandirian dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air
1.
Refleksi
Pengidentifikasian Kemampuan dan Ketidakmampuan
Tokoh-Tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air merupakam manusia-manusia
lumrah, manusia bumi (Indonesia) yang hidup di tengah pergulatan sejarah Indonesia.
Lingkar Tanah Lingkar Air menceritakan tentang seorang lelaki yang
bernama Amid
sebagai tokoh utama. Amid tidak memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pergulatan sejarah yang caru marut, namun ia
memiliki semangat juang yang
tinggi. Semanagat juang, yang tentunya pada masa remaja merupakan hal yang
lumrah dan tidak terarah, itu berpangkal pada perumusan-perumusan jati diri
tentang siapa aku, mau kemana aku, dan harus kemana aku itu. Ketiga pertanyaan
mendasar itu, yang awalnya jelas tidak terformulasikan dengan gamblang sesuai
dengan kodratnya sebagai remaja, didasarkan atas pemahaman dan penerimaan
tentang apa yang mampu dan tidak mampu aku (Amid) lakukan.
Penggambaran tentang pemahaman dan penerimaan apa yang
mampu dan tidak mampu dilakukan para tokoh oleh Ahmad Tohari diungkapkan secara
muluk-muluk tetapi mengena. Dikatakan muluk-muluk karena diksi yang digunakan
untuk menggambarkan bathin para tokoh itu diksi orang dewasa, tetapi tetap
mampu menggambarkan pergulatan bathin yang dialami tokoh.
Cermatilah kutipan-kutipan berikut.
Pagi hari musim kemarau
di tengah belantara hutan jati adalah kelenganga yang tetap terasa purba.
Senyap yang selalu membuat aku merasa terpencil dan asing. Padahal ibarat ikan,
hutan jati dan semak belukar yang mengitarinya sudah bertahun-tahun menjadi
lubuk tempat aku dan teman-temanku hidup dan bertahan. (Tohari, 2015 : 7)
Pergulatan para tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air
dalam merumuskan tentang apa yang mampu dan tidak mampu dilakukan terus
berlanjut. Tohari tetap menungkapkan hal itu dengan cara yang bernas, meskipun
hal yang digambarkan itu merupakan sesuatau yang mengharukan tetapi tetap
manusiawi.
Dalam
kebisuan yang mencekam, aku dan Kiram mengurus mayat Kang Suyud. Semuanya
bersahaja. Sempat kubayangkan andai Kang Suyud meninggal di tengah suasana
normal di kampungnya, pasti ratusan orang akan mendoakannya dan mengiringkan
mayatnya sampai ke kubur. Tapi pagi ini ia kami kubur dalam tata cara seadanya,
bahkan hanya dengan doa yang masih bisa kami ingat. (Tohari, 2015 : 14)
2.
Refleksi
Keinginan-keinginan
Kemandirian
juga berkaitan dengan keinginan-keinginan. Keinginan-keinginan itu didasarkan atas pemahaman dan peneriamaan atas rumusan-rumusan tentang kemampuan dan ketidakmampuan diri. Hal itu juga digambarkan Ahmad Tohari secara jernih, menarik, lugas, manusiawi, dan jelas serta relevan dengan kondisi bangsa indonesia pada tahun 1940─1965-an,
bahkan masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia tahun 2015 sekarang.
Terus terang
lagi aku sudah jenuh. Aku suadah lelah karena suadah hampir sepuluh tahun aku
hidup selalu diburu seperti ini, .... Maka tolonglah dimengerti bila aku mulai
berpikir tentang hidup normal, hidupbiasa di desa, menjadi petani atau
pedagang. Istriku dan anak yang sedang dikandungnya tentu lebih menyukai hidup
yang wajar, hidup yang biasa saja. (Tohari, 2015 : 21)
Keesokan
hrinya aku melaksanakan keinginan yang sudah lama kupendam, menjenguk Umi di daerah Dayeuh
Luhur. (Tohari, 2015 : 113)
Tokoh-tokoh dalam Limgkar Tanah Lingkar Air
adalah tokoh-tokoh yang membangun keinginan-keinginannya secara beragam namun
manusiawi. Hal itu terlihat dari kutipan berikut.
“Mid aku
ingin menyandang senjata seperti mereka”
“Jangan
berisik mungkin kamu akan mereka beri senjata bila kamu sudah bisa
menggunakannya.” (Tohari, 2015 : 29)
“Baik,” ujar
Kiai Ngumar setelah lama terdiam. “Jadi kalian hendak membentuk barisan
Hizbullah.”
“Benar. Dan
kami hanya tinggal menunggu doa restu Kiai,” jawab Kiram. (Tohari, 2015 : 46)
3.
Refleksi
Penerimaan atas Kekurangan
dan Kelemahan Diri
Tokoh-tokoh
dalam Lingkar Tanah Lingkar Air digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang selalu
berusaha mengembangkan peemahamannya atas kekurangan dan kelemahan diri. Penerimaan
atas kekurangan dan kelemahan diri juga bersifat timbal-balik ketika seorang
tokoh memahami dan menerima kekurangan tokoh lain seperti Amid yang memahami
kekurangan dari sahabatnya Kiram.
Kiram tak
melanjutkan kata-katanya. Tetapi bagiku cukuplah aku sudah tahu apa yang ada
dalam hati temanku itu. Dan benar dugaanku, Kiram pun tetap seorang manusia
yang kenal rasa bosan dan rasa jenuh. (Tohari, 2015 : 22)
Tokoh utama, aku (Amid), juga digambarkan sebagai
tokoh yang selalu berusaha mengembangkan pemahamannya atas kekurangan dan
kelemahan diri. Meskipun demikian, tokoh ini juga sangat manusiawi dalam hal
memahami kekurangan dan kelemahan dirinya, bukan sebagai tokoh super yang
dibekali dengan kemampuan yang luar biasa.
Lalu terdengar
deru kendaraan dari
arah barat. Aku benar-benar takut. Kiram menekan
punggungku agar aku lebih rendah bertiarap, namun tindakannya malah
membuatku semakin takut.
Mataku berkunangkunang. Terasa
ada air hangat
mengucur dari
selangkanganku. Samar, karena
mataku makin
berkunang-kunang, dari balik
semak-semak aku melihat dua truk
mendekat. (Tohari, 2015 : 33)
Meskipun
dengan hati tak keruan, aku merasa tak bisa berbuat lain kecuali menuruti
perintah Kiai Ngumar. Dalam salat yang sama sekali tak khusuk itu,.... (Tohari,
2015 : 88)
Aku bergidik
melihat darah yang mengucur dari luka di kepala lawanku. Atau, aku bergididk
karena menyadari akan kepengecutanku sendiri. Entahlah. (Tohari, 2015: 95-96)
Tokoh yang paling super dalam Lingkar Tanah Lingkar
Air adalah Kiram. Tokoh aku (Amid) sangat mengagumi keberanian, keteguhan hati
Kiram. Kiram merupakan tokoh yang hidup dan bersikap dalam kepercayaan diri
yang tinggi dan keberanian yang tinggi, meski terkadang sulit untuk mengontrol
emosinya.
.... Ah, tapi aku melihat Kiram melompat di atas tubuhku, melesat ke tengah
jalan. Ya Tuhan. Kiram menyambar sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat
pemiliknya, seorang serdadu Belanda.... (Tohari, 2015 : 34)
4.
Refleksi atas Peran yang Mampu Dilakukan
Semenjak membentuk kelompok secara
alamiah dan manusiawi yang diawali raa senasib-sepenanggungan dan rasa cinta
tanah air. Tokoh-tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air mengembangkan
pemahamannya berkaitan dengan peran apa yang dapat diembannya. Pengertian peran
berkaitan dengan pemahaman atas apa yag dapat dilakukan, apa peran dan
fungsinya, serta bagaimana memelihara kekohesifan sekaligus kedinamisan
kelompok tersebut. Tentu saja, hal itu sangat dipengaruhi oleh guru Amid dimasa
mudanya dan keikutsertaan kelompok Hizbullah dalam perang melawan penjajah.
Pengungkapan perkembangan para tokoh memahami, menerima,
dan mengarahkan diri atas peran-peran yang dapat dilakukan juga sangat
manusiawi, wajar, dan sesuai dengan psikologis remaja-remaja pada masa
penjajahan.
“Ya, Dalam
rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwanya. Beliau bilaang,
berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru
merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam. Dan siapa yang mati dalam
peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid.” (Tohari, 2015 :
24)
Pemahaman, penerimaan, pengarahan
diri atas peran yang dapat diemban para tokoh juga sangat sesuai konteks
sejarah, yaitu remaja yang mempunyai tekad kuat untuk membela tanah airnya dan
menunaikan perintah agamanya untuk berjihad di medan perang pada tahun 1940-an.
Amid, misalnya, dalam mengemban peran yang dapat dilakukan tetap ditampilkan
sebagai tokoh yang terikat dengan kedua konteks tersebut.
Aku merasakan
kekuatan tarik-menarik, suatu pertentangan yang mulai mengembang dalam hatiku. Seorang lelaki,
militer yang baru
kubunuh itu,
agaknya ingin selalu
merasa dekat dengan
Tuhan. Dan ia
telah ku
habisi nyawanya. Sementara itu aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu ingin
diingatnya melalui tasbih Dn Quran-nya itu pastilah Tuhanku juga, yakni Tuhan
kepada siapa gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan khidmahnya. Hatiku terasa
terbelah oleh ironi yang terasa sulit kumengerti. (Tohari, 2015 : 19)
Dengan menggunakan citra bahasa orang dewasa, tokoh
aku (Amid) digambarkan secara manusiawi mengalami pasang-surut dalam memahami
dan mengarahkan peran yang dapat dilakukan. Ketika mengambil keputusan,
misalnya, tokoh aku selalu meminta pendapat Kiai Ngumar dan berusaha menyusun
pemahamannya atas peran yang dapat dilakukan.
Aku lega karena jelas sekali apa yang harus aku putuskan besok. Aku juga
sangat menghormati sikap Kiai Ngumar yang menaruh masalah kekompakan kami di
atas hal-hal lain, termasuk pemikiran Kiai sendiri. (Tohari, 2015 : 56)
Karena merasa tak
bisa memutuskan sendiri mengenai masalah
ini, aku mengambil
inisiatif mengumpulkan
teman-teman dirumah Kiai
Ngumar yang sudah kembali
dari pengungsian. Orangtua
itu terlihat letih setelah
hidup dalam kesulitan
selama berbulan-bulan. (Tohari, 2015 : 71)
5.
Refleksi
atas Pengembangan Potensi-potensi yang Terpendam
Tokoh-tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan
tokoh-tokoh yang sedang membangun dirinya sehingga kelak akan menjadi
orang-orang yang mandiri namun berguna bagi orang lain. Tokoh-tokoh tersebut
merupakan gambaran dinamika manusia-manusia muda Indonesia yang hidup dalam
masa penjajahan, terutama berkaitan dengan pergulatan batin remaja yang dituntut
untuk bisa berjuang membela tanah air dan membela agama. Dengan demikian,
sangat manusiawi, jika akhirnya tidak seluruh tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar
Air pada akhirnya mampu menggapai keinginannya menjadi manusia yang berguna
bagi bangsa dan agama. Selain itu, karena pengarang cenderung menggunakan sudut
pandang sebagai orang pertama (tokoh aku), maka dinamika dan laju perjuangan
menggali potensi-potensi diri tokoh aku ini lebih ditonjolkan dibandingkan tokoh-tokoh
lain.
.... Tetapi kini semuanya akan menjadi kenyataan, dan
aku bersama kiram dan jun, meski hanya sementara, menjadi bagian tentara
republik. Ya tak pernah kuduga, akhirnya aku mendapat peluang bertempur atas
nama negara. Keharuan kembali merebak dan air mataku jatuh lagi. (Tohari, 2015
: 162)
Tokoh lain, Kiram juga tidak menapak jalan mulus utuk
menggali potensi-potensi dirinya. Bahkan, sama halnya dengan anak-anak lain di
Indonesia pada masa penjajahan yang tidak beruntung hidup dalam lingkungan
keluarga yang mapan. Kiram sering terhambat menggali potensi dirinya. Belenggu
kemiskinan dan ketidakjayaan orang tua membuat Kiram tak bisa bersekolah dan
buta huruf, berbeda dengan tokoh aku. Meskipun demikian, perjuangan untuk
menggali dan menunjukkan potensi dirinya tidak pernah berhenti sehingga
akhirnya ia menjadi seorang wakil ketua dari kelompok Hizbullah karena
kecakapannya menggunakan senjata dan kelihaiannya menyusun strategi serangan.
Maka jadilah
Kiram, aku, dan Jun bergerak di ujung pasukan. Ah, Kiram masih seperti dulu:
berani, sangat cekatan, dan lugas. (Tohari, 2015 : 163)
Pengembangan potensi cenderung tidak membentuk grafik
garis yang selalu naik. Pengembangan potensi mengalami pasang-surut yang tidak
berirama. Bahkan dalam realitas kehidupan, ada yang terpaksa menyerah pada langkah
awal karena sandungan itu terlalu berat. Pengembangan potensi diri adalah
pemahaman atas apa yang sanggup diperjuangkan dan dicapai. Oleh karena itu,
berarti seseorang yang hendak mengembangkan potensi dirinya harus mampu
bercermin, barulah menapaki langkah perjuangan. Tidak jarang, pada langkah awal
seseorang mengembangkan suatu potensi, sering dipandang remeh orang lain karena
orang lain itu tidak yakin bahwa seseorang itu memiliki kemampuan dan
keasanggupan.
6.
Refleksi
tentang Pencarian Arti yang Sejati tentang Diri
Dalam kehidupan manusia, pencarian
arti sejati tentang diri merupakan proses yang panjang, bahkan memerlukan waktu
yang relatif tidak terbatas. Artinya, mungkin saja seseorang mencapai usia tua
namun tetap belum memiliki kejelasan arti tentang kesejatian dirinya. Lebih
tragis lagi, mungkin hingga seseorang itu meninggal dunia, orang itu belum
memahami kesejatian dirinya.
Kesejatian diri terkait dengan
kejelasan odentitas, baik identitas sosial, identitas kultural, maupun
identitas keinsanan. Identitas sosial adalah kejelasan seseorang berkaitan
dengan di mana ia hidup, dalam konteks sosial atau masyarakat apa, apa peran
yang dapat diembannya, dan apa tanggung jawabnya terhadap masyarakat sekitar.
Identitas kutural adalah kejelasan seseorang berkaitan dengan dalam budaya apa
ia hidupa, apa budaya yang ia anut, serta apa peran dan tanggung jawabnya
terhadap konteks kebudayaan tersebut. Identitas keinsanan berkaitan dengan
siapa dirinya, mau ke mana, dan apa yang harus diperbuatnya sehingga ia mampu
merasakan sebagai seseorang yang punya arti dalam kehidupannya.
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air
cenderung mengungkapkan dinamika sekelompok remaja dalam menemukan dan
mengembangkan dirinya. Meskipun pada akhir penceritaan dikemukakan masa-masa
dewasa para tokoh anggota Hizbullah, namun hal itu bukan merupakan fokus penceritaan.
Lebih dari itu, pengarang cenderung
mengungkapkan proses penemuan jati diri para tokoh, bukan hasilnya. Oleh karena
itu, kurang tergambar dengan gamblang bagaiman para tokoh Lingkar Tanah Lingkar
Air menemukan jati dirinya.
Pengungkapan tentang proses penemuan
jati diri para tokoh dalam Lingkar Tanah Lingkar Air tetap disajikan pengarang
dalam koridor yang jelas : dunia remaja menuju dewasa. Oleh karena itu,
penggambarannya pun khas, mengungkapkan ketidakstabilan emosi seorang remaja,
yang menyingkap dunia bathin remaja dengan segala persoalannya, kadang-kadang
baik, kadang-kadang tegar, dan sesekali terombang-ambing.
Hening.
Kulihat wajah Kiram keras. Jun masih menunduk dan dari sinar matanya aku
melihat kekecewaaan yang sangat mendalam. Aku sendiri jadi melamun. (Tohari,
2015 : 146)
Ya, sekarang
aku berada dalam sebuah perjalanan menuju pertempuran yang lain, sangat lain.
Kini aku akan berperang atas nama Republik, sesuatu yang pernah sangat
kurindukan dan gagal terlaksana. (Tohari, 2015 : 162)
D.
Keunggulan
Ada empat keunggulan utama novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari
ini. Keunggulan-keunggulan tersebut adalah
sebagai berikut ini.
Pertama,
permasalahan yang diangkat Ahmad Tohari adalah masalah yang menarik dan
realitas. Permasalahan krisis kepercayaan pada masa penjajahan sampai masa awal
kemerdekaan. Permasalahan krisis kepercayaan adalah sosial yang nyata dalam
kehidupan masayarakat Indonesia pada masa dulu dan sekarang.
Kedua,
pengarang (Ahmad Tohari) mampu
memformulasikan penguasaannya di bidang politik dan agama. Pembaca (terutama
yang sudah dewasa) seakan-akan dibawa
kembali menuju masa penjajahan di Indonesia di mana semua rasa bercampur
menjadi satu, rasa cinta tanah air, rasa tegang dalam perperangan, dan haru-biru
perasaan yang sangat menyedihkan. Permasalahan yang kompleks itu dikemas secara
sederhana tanpa menimbulkan kesan bahwa pengarang iu orang yang luar biasa yang
memiliki pengalaman yang luas di dalam maupun di luar negeri. Dengan kata lain,
permasalahan yang kompleks itu dikemas secara merakyat.
Ketiga, cara pengarang menggunakan
sudut pandang. Dalam cerita ini pengarang menggunakan sudut pandang orang
pertama. Dengan begitu, pengarang secara tidak langsung dapat mempertegas alur
cerita, membawa pembaca masuk kedalam ceritanya dan merasakan apa yang dialami
tokoh aku. Pengarang mampu menjabarkan alur cerita dan tidak keluar dari tokoh
aku (Amid).
Keempat, pengarang mampu memotret suasana perang dengan jujur tanpa pretensi dan
memaparkan pergolakan batin para tokoh dengan detil tanpa harus bertele-tele.
Ahmad Tohari, mengajak kita (pembaca) masuk ke dunia peperangan dan membuat
kita (pembaca) mengerti makna mendalam dari perang tanpa kesan menggurui. Ahmad
Tohari memiliki kemampuan yang tidak semua pengarang mempunyainya. Pengarang
menggunakan bahasa-bahasa ringan yang mudah dimengerti tanpa kehilangan
keindahan bahasa. Tetap sastra, namun tidak pop. Tidak berat, namun juga tidak
terlalu ringan. Komposisi yang pas untuk membuat sebuah bacaan yang menyenangkan.
E.
Kelemahan
Kelemahan
utama novel ini adalah cara pengarang (Ahmad Tohari) menggambarkan alur flashback, yang kadang
bertumpuk sehingga dapat menimbulkan kebingungan tentang latar waktu : yang
mana masa lalu, yang mana masa kini? Hal lain yang dapat menimbulkan
kebingungan adalah adanya beberapa kata-kata dalam Bahasa Arab tanpa
penjelasan. Novel ini mungkin agak sulit dimengerti oleh pelajar SMP atau pun pelajar SMA yang berusia kurang
dari tujuh belas tahun
karena diksi yang digunakan adalah diksi orang dewasa,
tapi tidak menutup kemungkinan bahwa pelajar tersebut juga bisa menikmati
cerita dalam novel ini.
F.
Simpulan
Penembangan nilai-nilai kemandirian
tidak mungkin dapat dilepaskan dari konteks geografis dan sosial masyarakat,
termasuk politik dan pemerintahan. Dari sudut pandang geografis, misalnya,
orang-orang yang hidup di lingkungan perbukitan akan memiliki orientasi yang
berbeda dalam membangun kemandirian dibandingkan dengan orang-orang yang hidup
di lingkungan pantai. Contoh lain dari sudut pandang sosial, orang yang hidup
dalam masyarakat mapan akan membangun kemandirian yang berbeda dengan
orang-orang yang hidup dalam masyarakat yang penuh dengan kesenjangan sosial.
Pada era 1945-1950-an pergolakan
perang untuk mempertahankan kemerdekaan RI menyeret banyak pemuda kampung dalam
kancah perjuangan senjata. Keinginana untuk mempertahankan RI atas nama cinta
tanah air dan agama bercampur membentuk tekad yang begitu kuat untuk membela yang
benar menurut pandangan mereka. Tekad itulah yang menyebabkan perperangan di
tanah sendiri dengan saudara sendiri. Kondisi itu mungkin juga masih berkembang
di berbagai daerah di Indonesia pada saat ini, terutama yang hidup jauh dari
pusat pemerintahan, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan provinsi. Satu
hal yang pasti, kebobrokan ini jelas sangat menghambat individu-individu untuk
menyusun, memahami, dan mengembangkan kemandiriannya.
G.
Kepustakaan
Tohari, Ahmad. 2015. Lingkar Tanah
Lingkar Air. Jakarta: Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar