Kamis, 13 Oktober 2022

PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PENDEKATAN POSITIVISTIK

 

 

PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
PENDEKATAN POSITIVISTIK

 

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.

 



 

Oleh:

Riska Mulyani (2208149)

Nelita Indah Islami (2208153)

 

 

 

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

TAHUN AJARAN 2022/2023

 

 

ABSTRAK

Filsafat merupakan usaha seseorang untuk mengetahui segala sesuatu yang berawal dari rasa ingin tahu dan sikap ragu. Rasa ingin tahu dan sikap ragu inilah yang kemudian memunculkan teori-teori ilmiah yang pada akhirnya akan berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia, sampailah pada pemikiran bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah alam yang realistis. Pengetahuan harus bersumber dari hal-hal faktual yang bersifat empiris. Aliran ini disebut dengan aliran filsafat positivisme. Positivisme merupakan aliran pemikiran yang menekankan validitas data secara empirik-verifikatif, sehingga pengetahuan inderawi dijadikan sebagai satu-satunya norma bagi kegiatan ilmiah. Meski banyak menuai kritik, tidak dapat dipungkiri bahwa aliran positivisme memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu-ilmu alam. Filsafat positivisme selain memaparkan tiga tahap perkembangan pemikiran manusia yaitu teologis, metafisis, dan positif, di sisi lain membagi ilmu pengetahuan menjadi enam golongan berdasarkan taraf positivisme dan tahap kompleksitas dari masing-masing ilmu pengetahuan. Aliran ini juga mendorong para filsuf untuk membedakan pengetahuan yang bersifat ilmiah dan non-ilmiah. Melalui aliran ini jugalah muncul paham falsifikasionisme yang menentang keras teori verifikasi aliran positivisme.

Kata Kunci: positivisme, verifikasi, falsifikasi

PENDAHULUAN

Filsafat merupakan sebuah aktivitas berfikir, yang melibatkan pemikiran kritis dan
komprehensif. Filsafat juga termasuk menghilangkan ketidaktahuan, memperkaya pemahaman,
memperluas wawasan, serta mengeksplorasi nilai-nilai dengan memperbaiki keyakinan dengan
penyelidikan yang rasional. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran umat manusia dari
pola fikir yang selalu tergantung pada dewa dan keyakinan pada hal-hal mitos lainnya diubah
pada pola fikir yang tergantung pada rasio.

Filsafat memegang peranan penting dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan manusia. Salah satunya dalam hal keilmuan. Problematika dalam keilmuan yang acap kali dihadapi adalah dalam menentukan garis demarkasi antara kebenaran. Hal ini telah memunculkan banyak teori dan konsep yang membahas mengenai batas-batas kebenaran ilmu pengetahuan. Salah satunya ialah aliran positivisme. Aliran ini berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah alam dan menyingkirkan hal yang berkenaan dengan metafisik. Sehingga, data empiris sangat diutamakan oleh aliran ini dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat dari metodologi berpikir positivisme ini memberi kontribusi yang sangat besar terhadap proses pendidikan. Pemikiran August Comte yang sangat menekan-kan pada aspek empiris ternyata dipakai dalam perjalanan pendidikan sampai sekarang.

A. ALIRAN FILSAFAT POSITIVISME

Filsafat positivisme dikenal sebagai bentuk baru dari ilmu pengetahuan yang meyakini bahwa realitas ada (exist) sejalan dengan hukum alam (natural laws). Filsafat positivisme dipelopori oleh sosiolog Auguste Comte pada awal abad ke-19. Dalam ilmu filsafat positivisme, filsafat digunakan sebagai sistem umum mengenai konsep pada manusia, sedangkan positif diyakini Comte sebagai teori untuk menyusun fakat-fakta yang diamati. Comte juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat melampau fakta sehingga dalam positivisme menolak adanya metafisika akan tetapi menerima adanya “das Ding an Sich” (objek yang tidak bisa diselediki oleh pengetahuan ilmiah) (Hardiman, 2004:197).

Sebagai bentuk aliran yang menolak adanya metafisik, aliran filsafat ini menolak segala sesuatu yang tidak faktual untuk dijadikan sebagai objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Fakta-fakta harus diperoleh menggunakan metode keilmuan, khusunya metode ilmu alam, data harus diukur secara kuantitatif, dan ilmu harus bersifat positivistik, termasuk ilmu sosial seperti sosiologi. Menurut Comte ilmu sosial bersifat positivistik, sehingga objek dalam ilmu sosial seperti manusia, masyarakat, dan kebudayaan dapat dideskripsikan secara matematis menggunakan angka-angka statistik.

Positivisme merupakan pembeharuan dalam sejarah pemikiran barat modern melalui rasionalisme dan empirisme. Dalam positivisme kedudukan pengetahuan diganti dengan metodologi, dan ilmu-ilmu pengetahuan yang terus berkembang secara terus menerus adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Sehingga positivism menempatkan metodologi ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi kajian epistemology, yaitu pengetahuan mengenai kenyaataan (Budi Hardiman, 2003: 54).

Secara jelas, dalam bukunya yang berjudul Discour sur lèsprit positif (1984), yang telah dikutip oleh Koento Wibisono, Comte menjelaskan mengenai pengertian “positif” adalah sebagai berikut: a) “Positif” merupakan lawan dari “khayal” artinya positif bersifat nyata, kemudian lebih lanjut menjelaskan bahwa objek filsafat positivisme adalah hal-hal yang dapat dijangkau akal. b) “Positif” lawan dari sesuatu yang “tidak bermanfaat”. Artinya positif dapat diartikan bahwa tujuan dari adanya pemikiran filsafat positivism tidak hanya didasari pada pemenuhan rasa keingintahuan manusia, akan tetapi segala pemikiran harus berlandaskan pada kemajuan ilmu pengetahuan umat manusia. c) “Positif” sebagai lawan dari “keraguan”, artinya positif adalah keyakinan, sehingga dapat diartikan sebagai hal-hal yang sudah pasti. d) “Positif” sebagai lawan “kabur”, maka positif disifati sebagai sesuatu yang jelas atau tepat. Artinya sifat filsafat ini harus dapat memberikan sesuatu yang jelas dan tepat atas apa yang dibutuhkan manusia. e) “Positif” sebagai lawan “negatif”, sehingga pemikiran ini mengarah pada penataan pola berpikir. (Wibisono, 1983:37).

Filsafat positivisme hadir dalam sejarah perkembangan cara berfikir manusia. Aliran ini berpendapat pada salah satu bidang ilmu yang popular hingga kini, yaitu matematika. Bahwasannya matematika bukanlah ilmu, melainkan alat berfikir logik. Comte juga membagi sejarah perkembangan berifikir manusia menjadi beberapa jenjang, yaitu: teologik, metaphisik, dan positif. Oleh sebab itu, baginya ketika seseroang telah mencapai cara berpikir positivisme maka ia telah berada di tahap cara berfikir modern dalam mencapai ilmu pengetahuan.

B. TEORI PERKEMBANGAN AUGUSTE COMTE DAN HIERARKI ILMU

1. Teori Perkembangan

Perkembangan merupakan proses berlangsungnya sejarah manusia dalam suatu gerak menuju kearah yang tingkatnya lebih maju (Nugroho, 2016:170). Hal itu juga terjadi pada akal budi manusia yang berevolusi atau berkembang dari tahap terendah menuju tahap modern. Proses perkembangan itulah yang diyakini Comte terjadi secara spontan dan otomatis, tak dapat dihindari dan berlaku universal (Veerger, 1985:20).

Perkembangan akal budi akan terjadi pada setiap manusia, hal itu dikarenakan setiap manusia memiliki struktur akal budi dan penginderaan yang sama, sehingga dapat menghasilkan persepsi yang sama pula. Persepsi yang sama itulah yang kemudian membentuk hukum universal pada semua tempat dan waktu. Hal itu sejalan dengan pernyataan Comte (Lubis, 2014:143) menganggap jika penginderaan dan akal budi yang sama di mana saja dan dikuasai oleh hukum universal (tahap-tahap) sama pula.

Selanjutnya Comte membagi proses perkembangan pada akal budi manusia ke dalam tiga tahap. Ketiga tahap ini  tejadi pada seluruh umat manusia. Berikut tahapan perkembangan pemikiran pada manusia.

a. Tahap Teologi

Tahap teologi, manusia belum memiliki akal kemampuan akal budi baik untuk menjelaskan objek yang ada pada dirinya maupun objek di luar dirinya.Tahap teologi, manusia memercayai kekuatan supranatarual, manusia menganggap bahwa yang terjadi di muka bumi ini sejalan dengan adanya kekuatan supranatural itu.Segala yang mengatur dirinya dan objek di luar dirinya adalah kekuatan yang mereka percayai.Kepercayaan teologi menurut Comte kemudian dibagi lagi menjadi tiga yaitu fetisisme/animisme yang memercayai kekuatan supranatural itu datang dari makhluk halus atau roh yang tentunya didasari oleh kepercayaannya sebelum manusia mengenal agama.

Menurut keyakinan ini, segala sesuatu di bumi yang memiliki fisik seperti gunung, pohon, sungai memiliki roh/jiwa sehingga ia memercayai bahwa segala bentuk fisik itu bertindak dan memiliki kekuatan kepada manusia. Oleh sebab itu, manusia memercayai kekuatan roh yang spade akhirnnya sebagai bentuk kecil pada sesuatu yang besar (roh), manusia melakukan sesembahan dan memberikan penghormatan dalam bentuk sesajen kepada roh-roh agar terus dapat dilindungi di muka bumi ini (Bakker, 1970:28).

Politeisme, pada kepercayaan ini manusia telah mampu mengelompokkan roh/jiwa dari benda-benda fisik sesuai dengan kesamaan.Sehingga pada keyakinan ini manusia memercayai keyakinan lebih dari satu, dan juga menyembah para dewa sesuai dengan bidang hasil abstraksinya. Monoteisme, merupakan perkembangan lebih lanjut dari politeisme yang beranggapan bahwa hanya ada satu tuhan yang bertahta di muka bumi. Segala yang terjadi di muka bumi adalah kekuatan mutlak sang Maha Pencipta yang kemudian mereka percayai sebagai Tuhan.

b. Tahap Metafisik

Pada tahap ini, kecenderungan manusia untuk berpikir secara animistis telah ditinggalkan.Sehingga berakhirnya masa monoteisme merupakan awal dari tahap metafisik.Manusia mulai dapat menggunakan akal budi untuk dapat menjawab pertanyaan mengenai gejala-gejala alam. Manusia pada tahap ini telah berhasil membuat konsep abstrak dari kejadian konkrit seperti “hukum alam”, “kodrat manusia”, “keharusan mutlak” yang kemudian dianggap sebagai penyebab. Penyebab terhadap gejala dikembalikan pada penyebab tadi (Veerger, 1985, hlm. 21).Pada tahap ini kekuatan para dewa diganti oleh entitas metafisik berupa (substansi esensi, roh, dan ide).Masa ini juga disebut sebagai masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa sehingga ketidakpercayaan seseorang terhadap kodrat mengharuskan menggunakan akal budi sebagai sumber untuk mencari kebenaran.

c. Tahap Positif

Pada tahap ini kemampuan akal budi telah menyentuh tahap paling tinggi.Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi dapat dijelaskan sesuai dengan akal budi.Tahap ini tercapao pada semua problema dapat dijawab secara permanen sebagai sesuatu yang berguna dan ilmu positif diterima sebagai gudang pengetahuan dari manusia itu (Zaprulkhan, 2018, hlm. 114).Kebenaran dalam menjelaskan dalam teori ini harus dibuktikan secara empiris.Pada tahap ini juga kekuatan agama telah diambil oleh ilmu pengetahuan secara empiris.

Comte berusaha mewujudkan kehidupan masyarakat bisa diatur oleh akal budi berdasarkan prikemanusiaan.Pada tahap ini juga memberikan sebuah teori bahwa pemikiran ilmiah harus melalui tahap observasi sebagai suatu yang sangat penting karena dalam tahap validasi tidak boleh sembarangan mengambil hipotesisnya.Tahap ini juga ditandai sebagai zaman rasionalitas, zaman modern sebagai manifestasi dari ilmu pengetahuan yang terus berkembang.

2. Hierarki Ilmu Menurut August Comte

Perkembangan pemikiran manusia menuju ke puncak kemajuan ilmu pengetahuan menurut Comte adalah untuk mencapai kekuasaan, selain itu tujuan ilmu pengetahuan juga harus dapat memberikan kebermanfaatan bagi manusia.Dalam mengukur kemajuan ilmu pengetahuan Comte mengklasifikasikan beberapa cabang sejalan dengan gejala-gejala pengetahuan yang hadir terlebih dahulu.

Berikut ini klasifikasi ilmu pengetahuan menurut August Comte. Pertama ilmu matematika atau sains karena dapat diterapkan untuk semua hal dan bersifat universal. Kedua astronomi yang didasari pada matematika terapan pada benda fisik di angkasa. Ketiga fisika yang berkaitan dengan unsur-unsur yang ditemukan di bumi dan dunia fisik yang lain. Keempat kimia yang lingkupnya tekah dibatasi akan tetapi dapat diterapkan di area yang sama dengan ilmu fisika. Kelima biologi yang menyelidiki dengan makhluk hidup. Keenam sosiologi, dikembangkan untuk menyelidiki perilaku manusia sebagai makhluk sosial.

a. Ilmu Matematika

Menurut pandangan filsafat positivisme terhadap ilmu pengetahuan bertujuan untuk menyelesaikan masalah sehingga ilmu pengetahuan bersifat pragmatik. Comte mengklasifikasikan ilmu matematika di urutan pertama karena ia meyakini bahwa ilmu pasti dapat menujukkan kuantitas gejala apapun, tentunya dengan metode yang benar. Hal inilah yang kemudian menjadikan ilmu matematika sebagai dasar ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak, tetap, dan pasti.

b. Ilmu Astronomi

Setiap ilmu tentunya saling berkaitan satu dengan yang lainnya, ilmu astronomi menggunakan dasar-dasar ilmu matemtika dalam menyusun benda-benda langit.Dapat dijelaskan pula bahwa ilmu perbintangan dapat dilakukan dengan pengamatan langsung sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bersifat nyata.

c. Ilmu Fisika

Ilmu fisika pun kaitan erat dengan kedua ilmu sebelumnya yaitu dengan ilmu matematika dan ilmu astronomi. Pengetahuan mengenai benda-benda langit merupakan dasar untuk memahami ilmu fisika, karena dalam ilmu fisika mempelajari gejala yang komplek yang tidak akan dapat dipahami kecuali setelah mempelajari ilmu mengenai astronomi. Ilmu fisik juga mempelajari mengenai eksperiman, berat benda, massa jenis yang kesemuannya memerlukan bekal ilmu matematika sehingga ilmu fisika tidak dapat terlepas dari keduanya.

d. Ilmu Kimia

Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari ilmu fisika tidak hanya melalui pengamatan dan percobaan namun juga dengan perbandingan sehingga gejala yang digunakan untuk meneliti ilmu kimia lebih komplek dari ilmu matemtika.Untuk itu harus keterikatan dengan ilmu biologi bahkan juga dengan sosiologi.

e. Ilmu Biologi

Mengenai ilmu ini, Comte berpendapat bahwa dalam perkembangannya masih belum sampai pada tahap ilmu positif karena pada penggolongan ilmu biologi telah berhadapan dengan unsur-unsur yang lebih kompleks disertai dengan adanta perubahan yang sedemikian rupa.

f. Ilmu Sosiologi

Dalam klasifikasinya, Comte mengklasifikasikan ilmu sosiologi pada kategori terakhir.Tentunya hal itu disebabkan ilmu ini berhadapan dengangejala yang paling kompleks dan kongkret yaitu hubungan antara manusia dan kelompok. Ilmu ini timbul karena adanya hubungan individu satu dengan individu lain.

Penggolongan ilmu pengetahuan yang telah dipaparkan Comte didasari oleh gejala yang bersifat sederhana dan umum serta secara bertingkat gejala menjadi kompleks dan khusus. Tentunya semakin kompleks dan khusus gejala tersebut semakin bermacam pada batasan dan panduan yang beragam (Koento, 1983, hlm. 25-32).

C. DEMARKASI PENGETAHUAN ILMIAH DAN NON-ILMIAH

Salah satu upaya untuk mencari batasan pengetahuan yang benar, dalam tradisi pemikiran di Barat bukan saja telah melahirkan berbagai asumsi dasar serta paradigma beragam, tetapi
juga telah melahirkan berbagai metodologi yang diyakini dapat
memberi jaminan bagi kebenaran pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bacon, pengetahuan yang benar atau ilmiah akan
diperoleh melalui penerapan metode induksi berdasarkan
eksperimen dan observasi (Muslih, 2005 : 90).

Bagi kaum positivisme, kebenaran suatu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; observable (teramati), repeatable (terulang), measurable (terukur), testable (teruji), dan predictable (terramalkan) (Muslih, 2005 : 79). Apa yang dilakukan oleh positivisme ini tidak lain untuk melanjutkan proses induksi yang digagas Bacon, serta para eksponen empirisme. Proses penerapan metode induksi inilah yang terlihat paling dominan dalam pengembangan ilmu lebih lanjut.

Di antara pandangan tentang kesahihan pengetahuan seperti di atas, pandangan kaum positivismelah yang paling dominan. Ia memiliki pengaruh sangat besar bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu-ilmu alam (Muslih, 2005 :
98). Perkembangan pandangan ini semakin pesat semenjak munculnya positivisme logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna Circle). Mereka terdiri atas para ahli filsafat dan saintis yang menunjukkan kecenderungan anti terhadap metafisik, anti spekulatif, realistis dan materialistis, kritis dan skeptis. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah Rudolf Carnap (1891-1970) (Bertens dalam Komarudin, 2014:446).

Bagi kaum positivisme logis, filsafat harus bertindak sebagai abdi bagi ilmu pengetahuan. Fungsi pokok filsafat menurut mereka adalah melakukan kajian tentang metodologi
ilmu pengetahuan dan melakukan penjernihan konsep-konsep
ilmiah (Adian, 2002 : 71). Terkait dengan hal ini, fokus perhatian dari para filosuf yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna
Circle) ini adalah berusaha mencari garis pemisah atau garis demarkasi antara pernyataan yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) dengan berdasarkan
prinsip kemungkinan untuk diverifikasi (Muslih, 2005 : 100). Artinya
jika suatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia bermakna, sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi berarti ia tidak bermakna. Prinsip verifikasi ini menegaskan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip ini, pandangan filsafat tradisional, termasuk teologi dan metafisika pada umumnya, harus ditolak karena ungkapan- ungkapannya melampaui pengalaman.

Keberadaan “keberhasilan” verifikasi melalui eksperimen dan observasi begitu penting bagi kaum positivism logis untuk menentukan kebermaknaan suatu proposisi atau penyataan yang kerap dipakai dalam membangun proposisi-proposisi keilmuan atau pengetahuan. Sejumlah besar verifikasi, baik melalui eksperimen atau observasi, dijadikan dasar oleh kaum positifisme logis (kaum induktifis) (Chalmers dalam Komarudin, 2014:447)) untuk menentukan keabsahan generalisasi serangkaian hasil observasi yang terbatas menjadi hukum yang bersifat umum atau universal. Dengan cara inilah, menurut mereka bangunan proposisi-proposisi keilmuan menjadi kokoh.

Namun dibalik kokohnya bangunan proposisi-proposisi keilmuan yang diformulasi kaum positivism seperti itu, ternyata tidak lepas dari kritik beberapa tokoh seperti Karl Raymond
Popper. Popper
terutama, menolak penerapan prinsip verifikasi, yakni pembuktian teori melalui fakta-fakta, yang dijadikan oleh kaum positifisme logis sebagai garis demarkasi antara pengetahuan dan non- pengetahuan (Adian, 2002 : 83).

Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali (non sense). Popper menolak identifikasi antara kriteria demarkasi dan logika induktif karena dapat mengaburkan kedua-duanya. Popper juga menolak identifikasi antara ilmu pengetahuan dengan pernyataan dasar empiris yang bercorak tangguh. Popper lantas mengusulkan kriteria demarkasi yang baru. Prinsip falsifikasi digunakan Popper dalam membedakan argumen ilmiah dan non ilmiah. Prinsip itu sendiri muncul dalam teori epistemologi yang dikembangkannya dalam filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of science).

D. VERIFIKASIONISME DAN FALSIFIKASIONISME

1. Verifikasionisme

Aliran positivisme ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna atau tidaknya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah. Tugas filsafat adalah melakukan analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah. Untuk maksud itu, mereka mengembangkan prinsip yang disebut verifikasi atau kriteria kebermaknaan.

Berikut ini adalah beberapa prinsip verifikasi sebagai elaborasi, yaitu :

a. Suatu proporsi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris.

b. Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan yang musti benar. Proposisi “Di rumah itu ada tiga orangg pencuri” adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “John tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan ketidakbenaranya secara empiris. Sebaliknya ungkapan “hari ini cuaca lebih baik daripada diluar” tidak bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat kontradiksi.

c. Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara empirik tidak dapat diverifikasi atau tidak dapat dianalisis secara empirik. Kalimat metafisik God Exist bukanlah kalimat yang secara faktual bermakna. Demikian pula halnya kalimat God does not exist.

Alfred Jules Ayer dengan karyanya yang terkenal Language, Truth, and Logic (1939), membedakan dua jenis verifikasi, yakni verifikasi keras dan verifikasi lunak. Suatu proposisi dapat dikatakan “verifiable” dalam arti yang keras, hanya jika kebenarannya dapat dibuktikan dalam pengalaman secara meyakinkan. Suatu proposisi “verifiable” dalam arti lunak adalah proposisi yang pengalaman hanya dapat menjadikannya “sangat mungkin (probable)” (Titus dkk., 1984 : 374).

2. Falsifikasionisme

Falsifikasi merupakan cara pandang terhadap sesuatu berdasarkan dari sisi kesalahan. Jika memandang suatu teori tersebut salah, maka berbagai upaya yang dilakukan untuk membuktikan teori tersebut memang salah, hingga akan dibuatkan teori baru untuk
menggantikannya.
Popper telah membuktikan falsifikasi (sebuah teori untuk membuktikan kesalahan suatu hal atau kejadian), hal ini bertolak belakang dengan konsep verifikasi (pembuktian kebenaran). Sebuah teori jika tidak pernah terbukti salah, maka ia akan mengalami
penguatan (koroborasi) namun akan tetap dapat dijatuhkan jika terdapat satu perbedaan data
yang dapat menjatuhkan teori tersebut (Bakhtiar dalam Riski, 2021: 264).

Popper memandang ilmu dari dua hal, yaitu: kriteria pemisah antara ilmu dan metafisika, dan deskripsi tentang hakikat metodologi ilmiah. Hal pertama berhubungan dengan isu status ilmu dalam spektrum luas dari pengetahuan khususnya dalam memandang ilmu-ilmu sosial. Unsur kedua berkaitan dengan isu tentang hakikat ilmu dan bagaimana kemajuan ilmu. Popper memandang metode ilmiah sebagai sebuah rancangan dari teori-teori mapun praduga (conjectures) dan penolakan-penolakan (refutations) teori-teori tersebut. Konsep falsifiability yang dihadirkan Popper merupakan suatu cara untuk membedakan teori ilmiah asli (genuine scientific theories) dari teori ilmiah-semu (pseudoscience). “Rasionalisme Kritis” (critical rationalism) merupakan istilah yang dipakai Popper untuk mendeskripsikan filsafatnya (Subekti, 2015:40).

Inti dari pemikiran Filsafat Ilmu Poper adalah pendapatnya tentang asimetri logis (logical asymmetry) antara verification dan falsifiability. Itu juga yang menginspirasi beliau untuk mengambil falsifiability sebagai kriteria demarkasi antara ilmiah asli, dan yang bukan: “satu teori harus dipandang ilmiah jika, dan hanya jika, ia dapat difalsifikasi”.  Falsifikisai merupakan suatu upaya untuk mencari data tandingan dari suatu teori melalui eksperimen ilmiah. Hal yang demikian tersebut merupakan inti dari “prinsip falsibilitas”. Suatu teori yang bekerja dengan cara mengekslusikan kemungkinan-kemungkinan yang ada demi mendapatkan teori baru yang dapat menentang atau menjatuhkan teori sebelumnya, menurut Popper suatu hal yang pasti tidak bersifat ilmiah (Muslih, 2005:123-125).

Popper mencoba merumuskan suatu  langkah untuk menguji sebuah teori, semua langkah tersebut harus dilakukan tahap demi tahapan, langkah-langkah yang dimaksud dijelaskan oleh Popper sebagai berikut.

a) Melakukan perbandingan-perbandingan secara logis dan ilmiah terhadap teori-teori yang
ada, sehingga diketahui konsistensi internal dari teori tersebut.

b) Selanjutnya melakukan penyelidikan atas valitas atau pun kesesuaian teori tersebut dengan
logika berfikir, sehingga akan diketahui apakah terdapat ciri empiris atau ilmiah dari teori
tersebut.
c) Melakukan perbandingan antara teori satu dengan teori yang lain untuk mengetahui apakah
teori tersebut telah tahan uji atau belum.

d) Langkah terakhir adalah penerapan empiris, setelah seluruh langkah sebelumnya telah
diterapkan.

Tahapan seperti yang dijabarkan di atas merupakan suatu usaha untuk mengetahui
sejauh mana berbagai konsekuensi-konsekuensi baru teori itu bertahan terhadap tuntutan-
tuntutan praktis, baik yang muncul karena eksperimen ilmiah, ataupun penerapan praktis dari
suatu teknologi. Sebuah kesimpulan tunggal (acceptable) atau terbukti (verivied) akan didapatkan
ketika telah dilakukan pengujian, sehingga teori tersebut dapat dikatakan lolos untuk sementara waktu. Namun demikian, jika nanti kesimpulan-kesimpulan tersebut dapat diuji kesalahannya (falsified) maka falsifikasinya juga memfalsifikasi teori yang dari sana ia disimpulkan secara logis.

Falsifikasi Popper adalah teori penyangkalan atas pembenaran dari suatu verifikasi
terhadap sebuah keilmuan atau teori. Singkatnya falsifikasi merupakan kebalikan dari verifiaksi.
Popper menyatakan bahwa suatu teori tidak mutlak kebenarannya hanya jika dapat diverifikasi
saja,
tetapi akan semakin kuat dan kokoh sebuah teori jika mampu bertahan dari penyangkalan
(falsifikasi). Popper berpendapat bahwa tidak ada yang namanya verifikasi, yang dapat diakui
keabsahannya hanyalah falsifikasi, artinya pencarian fakta yang memastikan bahwa sebuah
hipotesis tidak dapat dipertahankan. Pendekatan ini menyangkal bahwa pernyataan-pernyataan
tentang realitas alami lebih rasional dari pada pernyataan-pernyataan lain
(Suseno dalam Ulum,
2020
:76).

Popper juga berpendapat bahwa falsiability merupakan alasan pertama untuk mengetahui
hitam putihnya sebuah ilmu, hingga dapat menetapkan apakah ilmu tersebut ilmiah atau tidak
ilmiah. Jika sebuah ilmu tanpa melalui verifikasi tanpa melalui falsifikasi maka menjadi tidak
ilmiah. Suatu teori harus dapat dipastikan validitasnya, hingga tidak berada diantara persepsi
benar atau salah.

Berdasarkan gambaran dari siklus relative tersebut, sangat jelas bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salahnya. Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui uji-hipotesis sehingga bisa ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu itu akan dibuang atau diabaikan jika memang salah. Begitu seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru akan dilakukan uji-hipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan diabaikan dan diganti dengan teori yang baru.

Dengan demikian, pada dasarnya aktifitas keilmuan hanya bersifat mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang obyektif. Oleh karrena itu pengembangan ilmu dilakukan dengan merontokkan teori karena terbukti salahnya, untuk kemudian digantikan dengan teori baru. Untuk itu, falsifikasi menjadi alat penentu demarkasi, yakni pembeda, antara
genuine science (ilmu asli) dan pseudo science (ilmu tiruan). Jadi, kriteria keilmiahan sebuah ilmu atau
teori adalah ilmu atau teori itu harus bisa disalahkan (falsibility), bisa disangkal (refutability), dan bisa diuji (testability). Gagasannya seperti ini telah mengantarkannya dikenal sebagai seorang epistemology rasional-kritis dan empirisis modern.

KESIMPULAN

Aliran filsafat positivisme merupakan aliran yang digagas oleh August Comte.
Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah alam yang
realistis. Sehingga aliran ini sangat mengutamakan metode ilmiah dan aspek faktual
pengetahuan. Menurut Comte, ada tiga tahap perkembangan manusia, puncak tertingginya ialah tahap positif. Tahapan tersebut berupa tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik.

Aliran positivisme menggunakan prinsip verifikasi untuk memisahkan antara pernyataan bermakna atau tidak bermakna. Prinsip verifikasi ini menegaskan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Jika suatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia bermakna, sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi berarti ia tidak bermakna (sia-sia). Sebagai akibat dari prinsip ini, pandangan filsafat tradisional, termasuk teologi dan metafisika pada umumnya, harus ditolak karena ungkapan- ungkapannya melampaui pengalaman.

Kemudian Popper menawarkan gagasan falsifikasi sebagai penentu demarkasi antara proposisi atau teori yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurutnya, suatu proposisi atau teori empiris harus dilihat potensi kesalahannya. Selama suatu teori mampu bertahan dalam upaya falsifikasi, maka selama itu pula teori tersebut tetap dipandang kokoh, meski ciri kesementaraannya tetap tidak pernah hilang. Suatu teori bersifat ilmiah, jika terdapat kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Inilah yang dimaksud dengan prinsip falsifikasi menurut Popper. Sebaliknya, jika suatu proposisi atau teori secara prinsipil tidak menerima kemungkinan untuk menyatakan salahannya, maka proposisi atau teori tersebut tidak bersifat ilmiah.

Menurut Popper, kemajuan ilmu pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salahnya. Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui uji-hipotesis sehingga bisa ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu itu akan dibuang atau diabaikan jika memang salah. Begitu
seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru akan dilakukan uji-hipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan
diabaikan dan diganti dengan teori yang baru.

Dengan demikian, pada dasarnya aktifitas keilmuan hanya bersifat mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang obyektif. Oleh karena itu pengembangan ilmu dilakukan dengan merontokkan teori karena terbukti salahnya, untuk kemudian digantikan dengan teori baru.

KEPUSTAKAAN

Bakhtiar, A. (2014). Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada.

Bakker, Y.W.M. (1970). Indonesia 70. Majalah Impack. Jilid V. No. 11.

Hardiman, F. B. (2004).  Fislafat Modern Dari Machievelli Sampai Niestzshe. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Heribdp. (2021). Post-Modernism: Krusialitas Falsifikasi Karl Popper. Artikula.id.
https://artikula.id/heribdp/falsifikasi-karl-popper/#

Husaini, A. (2002). Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Depok: Gema Insani

Koento, W. (1983). Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Augustem Comte. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Komarudin, K. (2014). Falsifikasi Karl Raimund Popper dan Kemungkinan Penerapannya dalamnKeilmuan Islam. At-Taqaddum, 6(2), 444–465.

Lubis, Y. A. (2014). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Muslih, M. (2005). Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.

Nugroho, I. (2016). Positivisme Auguste Comte Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains.Cakrawala,11(2), 167-177.

Riski, M.A. (2021). “Teori Falsifikasi Karl Raimund Popper:Urgensi Pemikiranya dalam Dunia Akademik”. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(3), 261-272.

Subekti, S. (2015). Filsafat Ilmu Karl R. Popper Dan Thomas S. Kuhn Serta Implikasinya Dalam Pengajaran Ilmu. Humanika, 22(2), 39-46.

Ulum, B. (2020). Inklusifitas Pemikiran dan Pendidikan Islam terhadap Persfektif Karl R.
Popper
. Jurnal At-Tajdid: jurnal pendidikan dan pemikiran islam, 4(1), 75-84.

Veerger, K.J. (1985). Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia.    

Zaprulkhan.(2018). Filsafat Modern Barata Sebuah Kajian Tematik. Yogyakarta: IRCiSoD.

Cari Blog Ini