Minggu, 26 April 2020

KOLOM: ADA APA DENGAN HAJI?! Oleh: Riska Mulyani


 “Haji” kata yang sangat akrab di telinga kita.Secara kebahasaan, haji berarti menziarahi, mengunjungi. Jadi tepatnya istilah ini digunakan untuk orang yang mau beribadah haji, bukan untuk mereka yang telah selesai melaksanakannya. Ketika seseorang pulang dari ibadah haji, sebenarnya sematan haji bagi dirinya sudah tuntas, karena dia tidak lagi berada dalam proses berziarah.Sebaliknya di Indonesia,gelar tersebut masih tetap melekat. Orang-orang yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, mendapat gelar tambahan di depan namanya dan sering disingkat dengan “H.” dan Hajjah “Hj.” bagi para wanita.
Terkesan lucu memang, dari sekian banyak negara, hanya orang-orang Indonesia dan Malaysia saja yang menambahkan gelar haji di depan namanya. Namun jika kita melihatnya dari sudut pandang sejarah, terasa dapat dipahamilah mengapa orang-orang Indonesia mengenakan gelar haji di depan namanya. 
Dahulu di zaman penjajahan Belanda, Belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat izin dari pihak pemerintah Belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji. Bahkan untuk yang satu ini Belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan. 
Contohnya adalah Pangeran Diponegoro yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Imam Bonjol yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan pasukan Paderinya. Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam. Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Alasan lain pemakaian gelar haji bagi mereka yang kembali pulang adalah, karena susahnya menempuh perjalanan pulang pergi Indonesia-Makkah, sehingga agar kesan itu tidak hilang, maka dipakailah gelar haji sebagai tanda perjuangan ibadah. Penambahan gelar ini tentu sangat dapat dimaklumi.Tidak mudah untuk menyalahkan, apalagi memandangnya sebagai sesuatu yang bid’ah, karena harus didudukkan dulu posisinya, apakah penambahan gelar haji di depan nama itu merupakan suatu ibadah, ataukah hanya sekedar budaya?
Orang Islam Indonesia pada umumnya jika selesai menunaikan Ibadah Haji, maka sering di panggil Pak Haji atau Ibu Hajah, bahkan ada sebagian orang yang dengan sengaja menambahkan gelar Haji di depan namanya untuk penulisan dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan. Ada yang mengatakan bahwa penambahan gelar itu merupakan syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan ibadah haji. Ada pula yang beralasan bahwa ibadah haji adalah ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak memakai gelar Haji/Hajjah. Pada zaman dulu masih sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan ibadah haji, sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji. Oleh karena itu, jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan Haji dan di kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan Haji, dan jika di kampung/desa itu di sebutkan Pak Haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka orang sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang di maksud Pak Haji itu.
Ibadah Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang diwajibkan Allah. Ibadah Haji itu sama dengan ibadah-ibadah yang lain seperti : sahadat, salat, puasa dan zakat. Jika ada orang menunaikan Ibadah Haji lalu namanya harus di tambahkan Haji, semestinya hal itu juga diterapkan dalam ibadah-ibadah yang lain denga penyematan gelar sahadat, salat, puasa dan zakat itu (mengapa cuma haji yang dipakai sebagai gelar??.
Adakah Rasulullah memakai gelar Haji? Pernahkan anda dengar sahabat nabi menggunakan gelar haji juga, (misalnya, Haji Abu Bakar; Haji Umar Bin Khatab; Haji Usman Bin Afan; Haji Ali Bin Abithalib) padahal beliau beberapa kali menunaikan Ibadah Haji. Lalu bagaimana dengan seseorang yang dua atau tiga kali menunaikan Ibadah Haji,apakah H-nya diberi kuadrat atau kubik?
Menjadi seseorang dengan predikat Haji/Hajjah tidaklah mudah. Mau tidak mau moral haruslah diselaraskan dengan julukan atau gelar yang mereka sandang, karena yang dipertanggungjawabkan oleh seorang yang bergelar Haji/Hajjah tidak hanya kehidupan didunia melainkan di akhirat juga. Bagi masyarakat kita, mendapatkan gelar haji itu tidak semudah mendapatkan gelar dokter dan sarjana seperti dibangku pendidikan yang bisa didapatkan dalam jangka waktu 3-5tahun. Bisa dikatakan bahwa seorang yang menyandang gelar Haji/Hajjah, lebih dihargai dan dihormati dibanding mereka atau bahkan kita semua yang mendapat nilai cumlaude bangku kuliah.
Tidak semua orang yang bergelar Haji/Hajjah mampu menerapkan perilaku yang baik dan menjadi suri tauladan. Banyak dari mereka yang terpeleset dari amanah atau gelar yang mereka sandang. Oleh karena itu, bisa dikatakan menjadi seorang Haji/Hajjah yang amanah tidak cukup dengan bermodal uang 50juta saja lalu pergi ke Arab.Tapi bagaimana semua kepercayaan Tuhan yang diberikan kepada kita, bisa diaplikasikan dengan baik dan berdampak baik bagi semua mahluk hidup didunia ini bukan hanya kepada sesama manusia saja. 
Gelar haji telah menjadi suatu tradisi di Indonesia, tanpa dikehendaki si penyandang, kadang gelar itu disandangkan sendiri oleh masyarakat. Sebaliknya, ada juga orang yang merasa gelar itu semacam kehormatan, sehingga ketika orang lupa membubuhkan gelar haji di depan namanya, merajuk dan jengkellah hatinya. Haji/Hajjah itu bukan sebuah mata pencaharian atau profesi, tapi haji itu sebuah bentuk pengabdian seorang hamba kepada Tuhan dan kepada semua mahluk hidup yang ada disekelilingnya.

Cari Blog Ini