Hanya
laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis
tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya,
meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan
rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di
pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan
Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi
berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula
bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang
bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok
yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir
ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami.
Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.
Aku mengatakannya
semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya berani
mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena
sesungguhnyalah aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang
barangkali abadi itu adalah takdir. Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling
mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang hanya seperti dan sekali lagi
hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami yang barangkali abadi
itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira bukanlah sesuatu
yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan
terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara,
tetap penuh pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap
terus-menerus menimbulkan tanda tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku?
Setiap kali kami
mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan mengusahakan
segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang
bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, namun
kami tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa
berkelebat seenak udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan
sebagai manusia kami tidak bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga
bayang-bayang kami yang selalu mengikuti, menempel seperti ketan, lengket bagai
benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi pasangan baru. Apabila kami
berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda agama pula-betapa
beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling mencintai,
terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan
kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi
orang lain, nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami,
bahkan kami pun bisa bingung sendiri.
Demikianlah cinta
kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu kembali,
ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah
menyerah karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi.
Memang begitu banyak godaan kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta
kekayaan, bisa berupa kursi kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona
cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh cinta. Sering kali ini sangat membingungkan-tetapi
selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati, kukira, hanyalah menjadi sejati jika
tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta yang dahsyat itu,
dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan dan
mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu
bertemu kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan luka-luka cinta di
sana-sini karena ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.
Apabila kami
bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali,
meski perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah
berarti. Itulah yang terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan
kekasihku lahir sebagai putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai
perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap sebagai perempuan. Suatu kali
bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun
sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud,
dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka
kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah
masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa
mencintaikekasihku, jikakekasihku itutelah menjadi komodo?
Hanya laut. Hanya
kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak
bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali
ini? Tanda-tanda alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan
kembali dalam wujud seekor komodo, yang sekarang berada di Pulau Komodo.
Sebagai seekor komodo, kekasihku menimbulkan masalah besar, karena telah
memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Perburuan liar telah
mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo, sehingga kekasihku dengan
kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan seorang anak gadis
berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka kekasihku tidak
dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga dihuni
komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing
yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan
menyeberangi laut untuk kembali ke Pulau Komodo-dan kini aku datang ke pulau
itu untuk mencarinya.
Dalam sejarah
percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan
berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu
lahir kembali sebagai manusia-kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku,
dan aku tidak mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Apakah ia
masih akan mengenaliku dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo?
Kalaulah aku masih mempunyai kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya
ia akan mengenaliku-dan apa yang akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini
dan membawanya sebagai seekor komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti
Supermie tidak akan pula mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih
bisa kulakukan untukmu kekasihku?
Ketika akhirnya
kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku terasa
kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan
sejumlah komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini
sebagai kekasihku. Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.
Karena aku turun
di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman Nasional
biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal.
Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan
sejumlah komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis
itu.
Kami bertemu pada
suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat ia merayap ke
arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal dari
kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan
pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan
mata yang kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku
lagi-apakah masih sahih jika aku berusaha tetap mempertahankan cinta? Dalam
keadaan seperti ini, aku menjadi ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya
memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada dan dipercaya begitu rupa sehingga
mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata mengenal wujud-meskipun
komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku sangat mencintainya, aku
bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya seperti aku mencintai kekasihku….
Aku terpeleset
dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang
menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya,
langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang
itu-apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan
cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu
sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan perasaan menyatu.
Kalau aku tidak keliru.
Labuan Bajo, Juli
2003
* Judul ini
mengacu kepada judul sajak Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau (1946).
1. Ingatan
terbalik atas sajak Afterthought : cintakah kau padanya / cintakah kau padanya
dalam Toeti Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995), hal 75.
2. Reptil bernama
resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter dan berat
150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan jumlah
sekitar 1.650 ekor (1994). Ternyata, terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak
1.000 ekor; dan suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sempat dihitung.
Sisa makhluk purbakala itu baru ditemukan secara resmi pada 1911 oleh tentara
Hindia Belanda dan diberi nama pada 1912 oleh PA Ouwens, kurator Museum Zoologi
Bogor. Baca Linda Hoffman, “Introduction” dan “Enter the Dragon: Visiting the
Island of Dinosaurs” dalam Kal Muller, East of Bali: from Lombok to Timor
(1997), hal 111-114.
3. Bagian kisah
ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada 1987,
namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam
Muller, ibid., hal 111-2.
4. Kampung
Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pulau itu,
mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora.
Lebih jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya
(1987), terjemahan A Ikram.
5. Korban
terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84
tahun, pada 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo-yang tertinggal hanyalah
tripod-nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op. cit., hal 112.
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Langganan:
Postingan (Atom)